Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 14

Setelah selesai wawancara, Clara langsung mencari Poppy. Dia baru tahu bahwa Poppy dan adiknya Julie hendak menikahkan Julie dengan seorang pria tua, demi 600 miliar. Melihat Victor lama tidak merespons, Clara memperkeruh masalah. "Aku dengar dari Tante Poppy, Julie yang minta mahar 600 miliar. Aku tak menyangka dia seperti itu ...." "Katanya, karena masa tenang kalian belum lewat. Mereka tak bisa menikah dulu, jadi mereka mengadakan pesta pernikahan dulu." ... Julie sama sekali tidak tahu bahwa ibu dan adiknya masih sibuk menyiapkan pernikahan barunya. Mereka tidak menganggap serius perkataannya. Poppy yakin, Julie tidak akan berani mati. Dia juga tidak akan mati. Karena sejak kecil, Julie sudah banyak menderita, tetapi dia tidak pernah memilih pergi. Kali ini pasti sama. Samuel, adiknya, bahkan sudah meminta Lindra mentransfer 600 miliar mahar dulu. Kemudian, dia mulai mendirikan perusahaan baru. Dia tidak merasa bersalah pada Julie sama sekali. Sampai suatu hari, Julie menerima pesan dari Poppy, [Lindra sudah pilih tanggalnya, kebetulan tanggal 15 bulan ini.] [Masih empat hari lagi, kamu harus bersiap jadi pengantin. Kali ini, kamu harus bisa merebut hati suamimu, tahu?] Julie menatap dua pesan itu, hatinya terasa getir. Tanggal 15 .... Bagi orang lain, itu hari bahagia yang penuh suka cita .... Namun, baginya, justru hari itu adalah dia dan Victor sepakat bercerai .... Hari itu juga hari di mana dia dipaksa menikah .... Juga hari ketika dia memutuskan pergi untuk selamanya .... Julie takut dirinya lupa, jadi dia menuliskan semuanya di buku catatan. Setelah selesai menulis. Dia mulai menulis surat wasiat. Saat pena sudah di tangan, dia tidak tahu harus menulis apa. Akhirnya, dia hanya menuliskan pesan untuk Marry dan satunya lagi untuk Jonas. Selesai menulis, dia menyelipkan surat wasiat itu di bawah bantal. Tiga hari kemudian. Tanggal 14, hujan turun deras sekali. Ponsel di meja terus berdering. Semua itu telepon dari Poppy. Dia bertanya di mana Julie. Besok, pernikahan akan berlangsung. Poppy menyuruhnya pulang dan bersiap menikah dengan Lindra. Julie tidak menjawab. Hari itu, dia mengenakan gaun merah muda baru, lalu merias wajahnya dengan cantik. Sebenarnya, wajahnya cukup cantik. Hanya saja, dia terlalu kurus dan wajahnya sangat pucat. Julie menatap bayangannya di cermin yang cantik dan anggun. Dia seakan kembali ke hari sebelum menikah dengan Victor. Dia naik taksi menuju pemakaman. Dia turun dari mobil dengan payung di tangannya, lalu berjalan pelan ke nisan ayahnya. Kemudian, dia meletakkan seikat bunga aster putih. "Ayah." Angin dingin menderu, Julie hanya mendengar suara tetesan hujan yang jatuh di atas payung. "Maaf ... awalnya aku tak berniat ke sini, tapi aku benar-benar tak punya tempat lain untuk pergi." "Aku akui, aku pengecut. Aku takut sendirian berjalan menuju akhir .... Jadi, aku memilih datang padamu ...." "Kalau Ayah mau marah, marahlah." Julie berbisik pelan, lalu duduk di samping nisan sambil memeluk tubuhnya sendiri. Dia membuka ponselnya, lalu membaca pesan-pesan keji dari Poppy yang masuk bertubi-tubi. [Julie! Kamu pikir bisa lari begitu saja?] [Adikmu sudah ambil uang itu. Lindra orang yang berkuasa. Mana mungkin dia melepaskanmu?] Pikir baik-baik. Besok menikah baik-baik lebih bagus daripada ditangkap paksa dan dipaksa menikah!] [Kalau tahu diri ....] Julie membaca semua pesan itu dalam diam. Julie membalas singkat, [Aku nggak mau pulang. Besok, jemput aku di pemakaman Ayah di pinggiran barat. Aku akan menunggu di sana." Poppy menerima balasan itu tanpa curiga. Dia mengira Julie sudah pasrah. Dia pun berhenti menelepon. Julie merasakan ketenangan sejenak. Dia duduk di sana seharian penuh. Saat malam tiba, dia mengeluarkan boneka kayu kecil yang diukir sendiri oleh ayahnya dulu, lalu memeluknya erat-erat. Dia melindungi boneka itu dari kegelapan dan derasnya hujan. Waktu terus berjalan. Jam dua belas malam berdentang di kejauhan. Tanggal 15 pun tiba. Julie mendongak ke langit yang gelap tanpa batas. Tenggorokannya penuh rasa getir. Pukul tiga dini hari. Saat mengeluarkan obat dari tasnya, tangannya bergetar .... Saat ini. Vila Glendale. Victor kembali ke rumah. Dia duduk di sofa ruang tamu tanpa menyalakan lampu. Dia menekan pelipisnya yang lelah. Victor sempat terlelap sebentar, lalu terbangun lagi. Aneh sekali! Dia bermimpi buruk lagi. Mimpi itu masih tentang Julie. Dia bermimpi Julie meninggal. Mimpi itu begitu nyata .... Saat melihat ponselnya, baru pukul empat pagi. Victor teringat, hari ini masa tenang berakhir. Mereka sudah sepakat akan mengurus perceraian bersama. Dia tidak bisa menahan diri untuk mengirim pesan pada Julie, [Jangan lupa, hari ini urus perceraian.] Saat menerima pesan itu, kesadaran Julie sudah mulai kabur. Dia memaksa membalas Victor. [Maaf ... mungkin aku tidak bisa datang.] [Tapi, tenang saja, kita pasti bisa bercerai ....] Jika dia mati, pernikahan ini tentu saja akan berakhir. Victor mendengar pesan suara Julie, entah kenapa hatinya merasa lega. Dia berpikir, mana mungkin Julie akan mati? Menurutnya, Julie tidak akan rela mati. Dia juga tidak rela benar-benar berpisah darinya. Victor pun menelepon balik. Beberapa tahun ini. Julie jarang sekali menerima telepon dari Victor. Victor selalu singkat dan padat. Biasanya, hanya lewat pesan. Victor hampir tidak pernah meneleponnya. Julie menekan tombol terima. Belum sempat bicara, suara dingin Victor terdengar. "Julie, kesabaranku ada batasnya. Bukankah dulu kamu sendiri yang bilang mau cerai?" "Kenapa sekarang mau tarik kata-katamu? Karena aku tak memberimu uang?" "Kamu menikah lagi dengan orang lain, 600 miliar masih kurang, ya?" Tenggorokan Julie tercekat. Tiba-tiba, telinganya tidak mendengar apa-apa. Menjelang kematian, dia tidak ingin mengakui sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Dengan sisa tenaganya, dia berkata ke telepon. "Victor ... aku menikah denganmu ... bukan karena uangmu!" "Sekarang, ingin bercerai ... juga bukan demi uang ...." "Kamu mungkin tak percaya, tapi tetap ingin kukatakan .... Soal ibu dan adikku yang melanggar kontrak dulu, aku benar-benar ... tak tahu ...." "Sekarang, aku juga tak akan ... demi 600 miliar ... menikah dengan siapa pun ...." Ucapannya terbata-bata. Victor mendengar suara angin dan hujan yang kencang dari seberang sana. "Kamu di mana sekarang?" Julie tidak mendengar suaranya. Dia hanya memeluk erat ponsel itu, lalu menjelaskan berulang kali. "Kalau ... aku tahu apa yang ibu dan adikku lakukan, aku pasti ... pasti tak akan memilih menikah denganmu ...." "Kalau aku tahu ... hatimu selalu ada untuk Clara .... Aku juga tak akan menikah denganmu ...." "Kalau aku tahu, ayahku akan kecelakaan di hari pernikahanku, aku juga ... tak akan menikah denganmu." Tidak akan menikah! Tidak akan menikah! Tidak akan menikah! Dari ucapan Julie, Victor bisa merasakan betapa besarnya keengganannya selama ini. Dan juga mendengar jelas, betapa dia menyesal telah menikah dengannya .... Tiba-tiba, tenggorokannya seperti tersumbat kapas hingga dia sulit bernapas. "Kamu punya hak apa untuk menyesal? Bukankah kamu yang menangis ingin menikah denganku dulu?" Suara rendah Victor bahkan terdengar serak. Sementara suara Julie makin lama makin kecil, hingga Victor hampir tidak bisa mendengarnya lagi. "Julie! Kamu ada di mana sekarang?" Victor tidak mendapat jawaban. Dia hanya mendengar kalimat terakhir dari Julie. "Sebenarnya ... aku selalu berharap kamu bisa ... bahagia." "Bang!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.