Bab 7
Perawat itu ragu sejenak, lalu pergi dalam diam.
Bangsal baru saja hening ketika ponselnya berdering.
Chivonia langsung menjawab. Sebuah suara rendah namun kuat terdengar dari ujung sana.
"Nak, ini Kakek."
Chivonia terkejut.
Dalam buku harian itu, sepertinya pria tua dari Keluarga Pardis adalah satu-satunya tetua yang memperlakukannya dengan baik.
"Nak, aku tahu semua yang terjadi belakangan ini." Suara ramah dan penuh kesedihan Kakek Benson terdengar dari ujung lain, "Kamu sudah sangat menderita. Karena Stev sudah menikah denganmu, dia harus memperlakukanmu dengan baik. Tenang saja, Kakek akan membelamu."
Ini pertama kalinya Chivonia merasakan perhatian dan kasih sayang yang tulus sejak hilang ingatan.
Hidungnya terasa perih dan dia hampir menangis. "Nggak perlu, Kakek, aku baik-baik saja."
"Kamu anak yang sangat malang," desah Kakek Benson. "Jelas-jelas putri sulung dan sudah sangat menderita sejak diculik. Bukannya merasa kasihan padamu, orang tuamu malah memperlakukan putri angkat mereka lebih baik daripada kamu. Stev itu juga ...."
"Kamu sudah begitu setia selama bertahun-tahun, dia malah nggak pernah puas. Kamu berusaha keras menguasai serangkaian teknik pijat yang lengkap, juga bepergian ke belasan kota untuk mencari set teh langka yang dia sukai. Saat Stevino dirawat di rumah sakit karena pendarahan lambung, kamu menjaganya selama tiga hari tiga malam tanpa tidur. Saat ibunya meninggal, kamu mengurus pemakaman sendirian ... Stevino malah memperlakukanmu dengan begitu ketus tanpa ada ketulusan sedikit pun. Anak itu pasti akan menyesal!"
Chivonia menatap langit-langit putih dengan linglung. Dia tidak ingat semua itu, tetapi mendengar ini saja sudah membuat hatinya sakit.
"Oke, Kakek mau melakukan pemeriksaan," kata pria tua itu, "Ingat, kelak beri tahu Kakek kalau butuh bantuan."
Tidak lama setelah panggilan telepon berakhir, pintu bangsal dibuka dengan kasar.
Stevino berdiri di ambang pintu dengan setelan jas terjahit rapi dan tatapannya dingin.
"Tadi ingin bunuh diri dengan alergi, lalu tiba-tiba minta bantuan Kakek. Chivonia, nggak ada trik lain selain bunuh diri dan minta bantuan Kakek demi melihatku?"
Chivonia ingin menjelaskan, tetapi melihat tatapan sinis pria itu, dia pun berkata dengan suara pelan, "Aku nggak ada niat untuk bunuh diri. Aku cuma lupa kalau aku alergi kacang."
"Lupa kalau kamu alergi kacang?" Stevino mencibir, "Kok nggak bilang saja kamu lupa siapa dirimu?"
Chivonia menatapnya dengan tenang.
Benar, dia benar-benar lupa siapa dirinya.
Dia telah melupakan Chivonia yang merendahkan diri demi cinta, melupakan tahun-tahun keputusasaan yang memilukan dan terlebih lagi, melupakan cinta yang pernah dia miliki untuk Stevino yang terpatri dalam di dirinya.
Namun Chivonia tidak mengatakan apa pun tentang semua ini.
Mungkin kakek yang memaksa Stevino untuk tetap tinggal dan "menjaganya". Bilangnya menjaga, tetapi ini tidak ada bedanya dengan penyiksaan lain.
Stevino mengabaikan darah yang mengalir kembali melalui selang infus, tetap cuek ketika air panas menyiram tangan Chivonia. Saat Chivonia kesulitan bernapas dan berteriak minta tolong, pria itu sibuk menelepon asistennya. "Perban di tangan Scarlet sudah diganti? Ya, tolong kirimkan krim bekas luka terbaik."
Yang paling ironis adalah meskipun jelas sudah tidak mencintainya, Chivonia masih merasa sesak.
Chivonia tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya yang dulu begitu mencintai Stevino mampu bertahan dari segala siksaan siang dan malam selama bertahun-tahun.
Saat daun-daun berguguran di luar jendela, Chivonia tiba-tiba teringat tulisan di halaman terakhir buku hariannya.
[Kalau suatu hari nanti aku nggak lagi mencintaimu, itu pasti karena hatiku sudah mati.]
Sekarang kalau dipikirkan lagi, mungkin Chivonia yang menulis ini telah lama meninggal, terabaikan dalam malam yang gelap.