Bab 8
Pada hari Chivonia keluar dari rumah sakit, bangsal itu kosong.
Chivonia tahu Stevino telah pergi menemui Scarlet lagi.
Dalam tiga tahun pernikahan, jumlah hari Stevino berada di sisinya bisa dihitung dengan satu tangan.
Chivonia sudah terbiasa dan hanya menunggu dalam diam hingga dokumen imigrasi selesai.
Selama ini, status IG Scarlet selalu aktif ....
Ski di Negara Ruis, Menara Raffles serta pemandangan matahari terbenam di atas pulau ... sorot mata Stevino dalam foto-foto itu begitu lembut dan memesona.
Dalam foto-foto terbaru di kaki gunung bersalju, jari-jari ramping Stevino mengencangkan syal Scarlet sambil menunduk. Scarlet bersandar di lengan pria itu dengan senyuman tersungging di wajahnya. Keterangan di foto itu berbunyi: [Dia bilang akan mengajakku keliling dunia.]
Chivonia menelusuri foto-foto dengan tenang seolah membaca kabar terbaru dari orang asing.
Tiga hari kemudian, akhirnya kantor imigrasi mengabari kalau dokumen telah selesai.
Chivonia segera naik taksi. Setelah mendapatkan paspor dan visa, dia pergi ke firma hukum untuk mengambil surat perjanjian perceraian serta surat pemutusan hubungan orang tua.
Semuanya sudah siap, akhirnya dia bisa meninggalkan tempat ini untuk selamanya.
Chivonia melipat surat perjanjian perceraian dan surat pernyataan putus hubungan dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke dalam bagian tas terdalam.
Begitu menutup tas, ponselnya tiba-tiba menyala.
Scarlet: [Kak, ayo bicara.]
Chivonia: [Apa?]
Scarlet: [Kamu sudah menjadi istri Stevino selama tiga tahun. Sudah saatnya kembalikan padaku, 'kan?]
Chivonia menyeringai dan langsung menjawab: [Sudah kukembalikan.]
Dia memasukkan ponsel ke dalam tas dan pulang tanpa ragu.
Saat membuka pintu, lampu sensor di lorong tidak menyala.
Chivonia mengerutkan kening dan meraba-raba sakelar di dinding ketika rasa sakit yang tajam tiba-tiba menyerang bagian belakang kepala ....
Sebelum pingsan, dia mendengar suara Scarlet berbicara dengan seorang pria ....
...
Saat terbangun kembali, angin dingin yang menusuk menerpa wajahnya. Chivonia membuka mata dan menemukan dirinya tergantung di tepi tebing.
Tali rami kasar itu mengiris pergelangan tangannya dan jurang tak berdasar terbentang di bawah.
Dia menoleh dengan susah payah, melihat Scarlet tergantung tidak jauh darinya. Wajah wanita itu pucat dan tubuhnya menggigil.
"Sudah bangun?" Si penculik berdiri di dekat dengan sebatang rokok di mulut dan menyeringai, "Tenang saja, pacar kalian akan segera tiba."
Begitu mengatakan ini, deru mesin terdengar di kejauhan.
Beberapa SUV hitam melaju kencang ke arah mereka, berhenti mendadak di tepi tebing.
Pintu terbuka dan Stevino mendekat.
Dia mengenakan jaket hitam, raut wajahnya tegas dan udara di sekitarnya terasa sangat dingin.
"Ini uangnya, bebaskan dia." Suaranya rendah dan sangat tegas.
Si penculik itu menyeringai. "Pak Stevino memang hebat, mudah diajak bicara."
Dia mengambil kotak itu dari pengawal, memastikan jumlahnya sebelum melambaikan tangan. "Orangnya sudah kuserahkan. Pak Stevino, silakan selamatkan sendiri."
Setelah itu, si penculik dan anak buahnya melesat pergi.
Chivonia bergelantungan di udara, talinya mulai mengendur, menyebabkan puing-puing berjatuhan di tepi tebing.
Dia menggertakkan gigi dan memaksa diri untuk tetap tenang.
"Stev! Aku takut sekali!" Scarlet menangis tersedu-sedu, "Tolong aku ...."
Pengawal itu segera memeriksa talinya dengan wajah muram. "Pak Stevino, talinya nggak akan kuat lebih lama lagi. Kita cuma bisa menyelamatkan satu orang dulu."
Stevino langsung berjalan ke arah Scarlet tanpa ragu.
Pada saat yang sama, mobil Pak Sofyan dan Bu Madeline tiba.
Saat keluar dari mobil dan melihat adegan di tepi tebing, mereka berteriak, "Scarlet!"
"Selamatkan Scarlet dulu! Cepat! Dia lemah dan nggak sanggup menahan rasa takut!" Suara Bu Madeline melengking, hampir pecah.
Pak Sofyan juga bergegas membantu dan mereka bertiga langsung menarik Scarlet ke atas.
Di sisi Chivonia, talinya putus karena beban berat.
"Krak!"
Chivonia jatuh terjerembap, puing-puing berjatuhan di tepi tebing dan dia menghilang ke dalam kegelapan tanpa dasar.
"Bu Chivonia!"
Pengawal itu bergegas maju dan mencengkeram tali erat-erat.
Tali rami yang kasar itu melukai telapak tangannya hingga darah menetes dari jari-jari saat akhirnya menarik orang itu keluar.
Chivonia tumbang ke lantai, pergelangan tangannya berlumuran darah. Dia mendongak ....
Stevino menggendong Scarlet, ujung jari pria itu menyeka air mata di wajah wanita itu dengan lembut dan suaranya terdengar penuh kasih sayang. "Jangan takut, aku di sini."
Pak Sofyan sibuk mengenakan jaket pada putri angkatnya, sementara Bu Madeline menyentuh wajah Scarlet, memeriksa sisi kiri dan kanan. "Sayang, kamu membuatku takut setengah mati ...."
Ironis sekali. Suami maupun orang tua tidak peduli, orang luar malah mengkhawatirkannya.
Sekelompok orang mengantar Scarlet ke mobil, tidak ada yang peduli apakah Chivonia masih hidup atau mati.
"Bu ...." Pengawal itu bertanya itu dengan ragu, "Kamu baik-baik saja?"
Chivonia perlahan berdiri, membersihkan debu di tubuh dan tiba-tiba tersenyum.
"Terima kasih sudah menyelamatkanku," bisiknya, "Bisakah kamu membantuku sekali lagi?"
Chivonia mengeluarkan dokumen yang telah lama dia siapkan, yaitu perjanjian perceraian dan pelepasan hak orang tua dari tas, lalu menyerahkannya kepada pengawal itu.
"Tolong bawakan dua hadiah ini untuk orang tuaku dan Stevino."
Pengawal itu tidak memeriksa atau bertanya apa pun, hanya mengangguk dan menerimanya. "Oke, akan kuberikan sekarang juga."
Chivonia berdiri di tempat sambil memperhatikan pengawal itu berjalan ke arah Stevino.
Stevino tidak mendongak, hanya berkata dengan dingin, "Situasi sudah begini, untuk apa aku melihat hadiahnya? Lempar saja ke mobil."
Pak Sofyan dan Bu Madeline juga tidak peduli, hanya berusaha menghibur Scarlet. "Kamu takut, 'kan? Ibu akan mengantarmu pulang ...."
Pengawal terpaksa memasukkan dokumen-dokumen itu ke dalam mobil.
Chivonia yang melihat ini tiba-tiba tersenyum, sorot matanya membara.
Tidak masalah. Cepat atau lambat, mereka akan melihatnya.
Chivonia berbalik, berjalan menuju jalan tanpa menoleh ke belakang dan memanggil taksi.
"Ke bandara, terima kasih."
Pintu mobil tertutup dan mesin menyala.
Di kaca spion, Stevino menggendong Scarlet masuk ke dalam mobil bersama kedua orang tua. Tidak ada yang menoleh ke belakang.
Chivonia mengalihkan pandangan, melihat pemandangan yang semakin menjauh di luar jendela dan memejamkan mata perlahan.
Tidak masalah. Kelak orang-orang ini tidak akan ada lagi dalam hidupnya.
Taksi itu melesat pergi, membawanya menuju kehidupan baru.