Bab 395
Dia hanya bisa menerima kartu ATM itu, lalu dengan hati-hati menganggukkan kepala.
"Aku akan pergi .... Aku akan pergi jauh!"
Dekta menghela napas, tidak yakin apakah dia masih memiliki kesempatan untuk kembali.
Tepat setelah Dekta pergi, Marco akhirnya bisa bernapas lega.
Dia segera kembali ke studio, tetapi mendapati situasi yang sangat menegangkan di depannya.
"Ada apa? Kak Liana, apa yang terjadi?"
Marco buru-buru mendekat dengan ekspresi yang sedikit gugup.
"Bajingan ini tadi berani mengancamku!"
Liana berteriak marah sambil menunjuk Devan dengan jari telunjuknya yang ramping.
"Mengancam?"
Marco sedikit tertegun, lalu tanpa sadar menatap Devan.
"Benar, aku memang mengancamnya!"
"Sekarang, pergi jauh-jauh atau bertarunglah denganku!"
"Nggak peduli kamu atau aku yang mati, aku siap bertaruh nyawa!"
Devan menggenggam besi di tangannya dengan erat sambil menatap Marco dengan tatapan penuh amarah.
Meskipun tangannya sedikit gemetar, tekadnya sangat bulat.
Dia tidak bisa menoleransi siapa pun yang mencoba menyakiti keluarganya.
Di kehidupan sebelumnya, dia mengalami kematian yang begitu tragis.
Kali ini, bagaimana mungkin dia akan membiarkan orang-orang ini menindasnya lagi?
"Aku ...."
Marco tanpa sadar menelan ludah, jantungnya berdetak kencang karena gugup.
Keringat dingin kembali muncul di dahinya.
Dia tampak sangat ketakutan.
Marco sama sekali tidak menyangka Devan bisa seberani ini sekarang.
Sebelumnya, dia tidak pernah menunjukkan sisi seperti ini!
"Kak Liana, lebih baik kita pergi saja!"
"Masalah yang aku takutkan sebelumnya sudah selesai, nggak perlu lagi berurusan dengannya di masa depan!"
"Lagi pula, kita punya kehidupan yang baik. Kenapa harus bertaruh nyawa?"
Marco mencoba membujuknya dengan sabar.
Kata-katanya terdengar masuk akal.
Liana mengangguk setuju, bersiap untuk pergi.
Tiba-tiba, dia teringat sesuatu.
"Di mana orang itu sekarang?"
Liana bertanya.
"Dia ... dia lari terlalu cepat, aku nggak bisa mengejarnya. Dia sudah kabur."
Marco hanya bisa membuat alasan.
Jika dia mengungkapkan kebenarannya, apakah dia masih bisa selamat?
"Apa? Kamu berani membiarkan dia kabur?"
Liana yang terkejut memandang Marco dengan penuh amarah.
"Kak Liana, ini sudah takdir."
"Hanya dengan dia melarikan diri, nama baik Keluarga Atmaja nggak akan tercemar!"
"Lagi pula, kamu sudah memukul dan memarahinya tadi. Nggak perlu terus mengungkit masalah ini."
"Semuanya demi kebaikan Keluarga Atmaja!"
Marco sekali lagi berusaha membujuk agar Liana merelakan hal itu.
"Kamu!"
Liana hanya bisa menghela napas berat. Ekspresi putus asa tampak di wajahnya.
Tak disangka, masalah ini akhirnya selesai begitu saja tanpa hasil yang memuaskan.
"Baiklah!"
Liana hanya bisa menganggukkan kepala menyetujui.
"Kalau begitu, apa kita akan melanjutkan syuting?"
Marco berkata dengan hati-hati sambil menunjuk pakaian lainnya.
"Syuting?"
Liana langsung memelototinya, ekspresi wajahnya berubah drastis.
Dia menggertakkan giginya, menahan amarah yang hampir meledak.
Di saat seperti ini, dia masih saja memikirkan syuting?
"Ikut aku pulang!"
Liana berbicara dengan suara dingin.
"Baiklah ...."
Marco hanya bisa menundukkan kepala dengan pasrah, menerima nasibnya.
Sepertinya, kali ini dia benar-benar kehilangan kesempatan untuk melihat Liana mengenakan pakaian tradisional.
Akhirnya, Liana membawa Marco pergi.
Makin banyak orang pergi meninggalkan lokasi, hampir tidak ada penonton lagi.
"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan!"
Devan menghela napas lega, melemparkan batang besi di tangannya, lalu menatap orang-orang dari perusahaannya.