Bab 394
Di mata Liana hanya ada Erica.
Ini adalah musuh bebuyutannya.
Ketika Liana mengira dirinya bisa segera menampar Erica.
Sebuah bayangan tiba-tiba muncul.
Itu adalah Devan.
Devan mengangkat tangannya untuk menangkis, langsung menghentikan tangan Liana.
Plak!
Liana merasa seperti memukul batu yang sangat keras.
Suaranya juga terdengar begitu nyaring.
Pikirannya berubah kosong sejenak. Kemudian, rasa sakit menyeruak hingga tangannya mulai berkedut.
Ternyata dia telah memukul lengan Devan.
"Kamu!"
Mata Liana dipenuhi air mata kesal ketika menatap Devan dengan penuh amarah.
Dia merasa dirinya telah ditindas, sepenuhnya tenggelam dalam kemarahan.
"Pertama, dia nggak mengatakan hal yang salah. Semua itu adalah kata-katamu sendiri!"
"Kedua, dia adalah adikku. Kalau kamu berani menyentuhnya, aku nggak akan melepaskanmu begitu saja!"
"Ini peringatan. Kalau kamu berani main tangan lagi, aku nggak akan menghentikanmu saja, tapi aku akan memukulmu!"
Tatapan Devan berubah sedingin es, dengan wajah muram menatap Liana.
Jelas sekali kalau dia tidak sedang bercanda.
Saat itu.
Liana benar-benar merasa terkejut.
Dia memandangi Devan dengan tatapan linglung. Meski merasa marah, dia tidak tahu harus berkata apa.
Dia hanyalah seorang wanita. Mana mungkin dia bisa melawan Devan?
Sekarang ... di mana adiknya?
"Marco, kenapa kamu belum kembali juga?" pikir Liana.
Di saat yang sama.
Marco menarik Dekta keluar dari lokasi studio.
Gerakannya terlihat sangat misterius dan mencurigakan.
Dia mencari tempat yang sepi, lalu berkata dengan suara pelan, "Cepat pergi dari kota ini. Kamu bawa uang ini, lalu kembali beberapa tahun lagi!"
Setelah mengatakan itu, dia mengeluarkan kartu ATM sambil menatap Dekta dengan tatapan dingin.
Sikapnya lebih mirip ancaman.
"Tapi ... tapi kameraku ...."
Dekta terlihat muram, wajahnya penuh kesedihan saat menatap Marco.
Kamera itu harganya sangat mahal!
Bisa dibilang, kamera itu adalah harta paling berharga dalam hidup Dekta.
Mengingat hal itu, Dekta merasa seolah hatinya berdarah.
"Dasar sialan!"
Ketika mendengar itu, Marco langsung naik pitam.
Dia mencengkeram kerah baju Dekta, menatapnya dengan penuh amarah.
"Kamu masih berani menyebutkan tentang hal itu? Kemampuan payahmu itu yang membuatmu ketahuan ketika mengintip. Apa kamu nggak punya otak?"
Marco meluapkan amarahnya.
Jika bukan karena masalah ini, dia pasti sudah memenangkan hati Liana.
Selain itu, dia juga bisa melihat isi foto-foto itu.
Namun, semuanya dihancurkan oleh Devan.
"Aku ... aku nggak menyangka wanita itu bisa menyadari keberadaanku!"
"Aku nggak pernah gagal sebelumnya!"
Dekta tersenyum pahit, mencoba menjelaskan.
"Diam! Ini uang 600 juta, cukup untuk membeli beberapa kamera baru!"
"Gunakan sisanya untuk menjalani hidup di tempat lain. Tunggu sampai situasi tenang baru kembali!"
"Setidaknya tunggu sampai keluargaku pindah ke Kota Andalus. Saat itu, kamu akan aman!"
Marco melepaskan cengkeraman tangannya, lalu berbicara dengan nada dingin.
"Tapi aku nggak mau pergi. Ini adalah rumahku, semua yang aku miliki ada di sini!"
"Kalau aku pergi, orang tuaku pasti akan khawatir. Aku juga masih bergantung pada mereka!"
"Kalau nggak, siapa lagi yang akan memasak untukku? Siapa yang akan membelikanku baju dan makanan ringan?"
Wajah Dekta terlihat kaku saat dia berbicara dengan gugup kepada Marco.
Ketika mendengar itu, Marco langsung menutupi wajahnya dengan tangan, tampak sangat tidak berdaya.
Orang ini ... benar-benar aneh!
Dia bukan hanya seorang pecundang, tetapi juga seorang pengangguran yang hanya mengandalkan orang tuanya!
"Cepat pergi! Kalau bukan polisi yang menangkapmu, aku yang akan menyuruh orang mencarimu!"
"Kalau itu sampai terjadi, keluargamu juga akan terancam. Aku ingin lihat apa yang bisa kamu lakukan nanti!"
Tatapan Marco berubah dingin, mengancam dengan suara keras.
"Aku ...."
Dekta langsung merasa ketakutan, tubuhnya bergetar hebat.
Dia tidak menyangka orang di hadapannya ini bisa bertindak sekejam ini.
Namun, dia tidak punya pilihan. Karena kelemahannya telah diketahui orang lain.