Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Tepat satu jam sebelum, kakak lelaki kedua Kezia, Theo Hartono, melihat Raina yang muntah-muntah dan langsung menebak dia hamil. Sementara Raina yang terus mengelak, tidak mau menjawab jujur membuat Theo semakin curiga kalau dia hamil. Dia mendesak Raina terus dan akhirnya Raina mengaku. Dia memang hamil. Saat tahu adik perempuan kesayangannya hamil, Theo tertegun sekian lama baru bertanya dengan mata merah. "Anak siapa itu? Bajingan mana yang berani menindas adikku!" Begitu berpikir adiknya diambil pria lain, Theo mengepal tangannya. Akhirnya dia tidak bisa menahan emosinya, dan tinjunya tertuju pada dinding di samping Raina. Theo menghirup napas dalam-dalam, lalu kembali tenang. "Raina, kamu masih kecil, bajingan mana yang menindasmu? Kamu bilang saja, Kak Theo bakal bantu kamu balas dendam!" Raina menggigit bibirnya, tidak bersuara sekian lama. Melihatnya tidak bersedia menjawab, Theo menghela napas tak berdaya. Dia mengangkat dagu Raina, suaranya juga berubah lembut. "Raina, aku ini kakakmu, kamu tenang saja, Kakak cuma mau tahu siapa orangnya." Setelah itu, Theo berhenti sejenak, matanya berubah dingin, begitu juga dengan suaranya. "Atau orang ini nggak boleh disebut?" Seakan-akan menyadari perubahannya, atau karena tebakannya benar, mata Raina memerah, lalu air mata pun menggenang. "Maaf, aku bakal menggugurkan anak ini." Dia mendongak dan melihat Theo dengan sedih. Theo yang tidak menyangka Raina akan menangis semakin panik. Dia segera menyeka air mata Raina lalu memeluknya sambil mengelus punggung Raina. "Kakak bukannya mau memarahimu. Anak ini punya Reynald, 'kan?" Tubuh Raina langsung membeku. Merasakan perubahan ini, Theo semakin yakin kalau tebakannya benar. Dia melepaskan Raina, lalu mengangkat wajah Raina sambil tersenyum lembut. "Ini anakmu bersama Reynald, seharusnya dia juga sangat menginginkan anak ini lahir. Kakak akan membantumu agar kamu bisa jadi istrinya Reynald." Setelah itu, Theo segera keluar dari kamar mandi. Theo kembali ke ruang tamu dan mengambil ponselnya menelepon Kezia. Namun, setelah mencoba beberapa kali, tetap tidak diangkat. Theo mengernyit, matanya penuh dengan kekesalan. "Si pembawa bencana ini beraninya nggak angkat telepon." Setelah menggumam, Theo berencana menelepon Reynald. Tepat ketika dia hendak menekan tombol telepon, Raina refleks merampas ponselnya. Theo melihat Raina dengan tatapan bingung. "Raina, kamu nggak mau Reynald tahu?" Raina menggeleng lalu berkata, "Kak Theo, ini masalahku sendiri. Aku nggak mau Kak Kezia marah, anak ini memang seharusnya nggak ada di dunia ini, lebih baik gugurkan saja." "Nggak boleh!" Theo menolak tanpa ragu. Melihat Raina yang sedih, Theo semakin kasihan padanya. Dia memeluk Raina sambil mengelus rambutnya. "Kamu dan Reynald saling mencintai. Kalau bukan karena si pembawa bencana itu menggunakan trik liciknya merebut Reynald, sekarang yang jadi istrinya itu kamu. Aku cuma mengembalikan semuanya ke tempat semula." Lagi pula, memang Kezia yang salah, kenapa dia tidak bisa pengertian sedikit dan mengalah pada adiknya? Namun, Theo lupa kalau Kezia cuma lebih besar beberapa bulan dari Raina. Raina mendongak melihat kebencian Theo terhadap Kezia, dia pun tersenyum sinis. Tiba-tiba, dia memegang perutnya dengan ekspresi kesakitan. Theo juga ikut panik, dia segera menyuruh sopir menyiapkan mobil ke rumah sakit. Kebetulan sekali, waktu sampai di rumah sakit, mereka mendengar seorang dokter meminta seorang perawat untuk memperhatikan Kezia Hartono. Theo bahkan sengaja menyuruh sopirnya pergi mencari tahu. Setelah memastikan kalau Kezia memang dirawat di sini, muncullah adegan saat ini. Kezia berusaha keras menahan rasa sakitnya untuk mengambil surat perjanjian perceraian itu. Kemudian, dia mencibir. "Dua miliar?" Mendengar kata-katanya, kebencian di mata Theo semakin jelas. "Dua miliar saja sudah kebanyakan. Kalau tahu diri, cepat tanda tangan dan cerai sama Reynald. Kamu sudah cukup lama menempati posisi sebagai istrinya." Kezia mencibir. Dia ingin tertawa, tapi rasa sakit di lambungnya membuatnya bahkan tidak punya tenaga untuk tertawa. Dia mencengkeram seprai, menggertakkan giginya agar tidak mengeluarkan erangan kesakitan. Namun, Theo malah mengira dia sedang menolak. Theo pun mencibir. "Sudah kubilang, yang bukan milikmu, cepat atau lambat pasti harus kamu kembalikan." Mendengar ini, Kezia mendongak sambil tersenyum tipis. Setelah itu, dia mengulurkan tangannya ke arah Theo. Theo langsung mundur dengan ekspresi jijik. "Kamu mau apa? Aku nggak bakal kasih kamu uang." Kezia memutar bola matanya. Namun, teringat kelakuan ini kurang anggun, dia tertawa lagi. "Pak Theo, kamu minta aku tanda tangan, mana pulpennya?" Theo tertegun, lalu melihat Kezia dengan kaget. "Kamu benar-benar mau tanda tangan?" Raina tersenyum sambil mengangguk. "Benar kata Pak Theo, yang bukan milikku, suatu saat harus kukembalikan. Sekarang aku bakal mengembalikan semuanya ke pemilik aslinya." Baik Keluarga Hartono, maupun Reynald Geraldi, dia sudah tidak menginginkannya. Theo menatap Kezia sekian lama baru akhirnya menyerahkan sebuah pulpen. "Untung kamu tahu diri." Kezia segera menandatangani surat perjanjian perceraian itu, lalu menyerahkannya pada Theo. "Tolong Pak Theo bertindak lebih cepat. Aku juga agak kesal Reynald nggak mau cerai denganku." Mendengar ini, Theo mencibir. "Kamu itu cuma pintar ngomong. Kalau Reynald tahu kamu akhirnya bersedia cerai dengannya, dia mungkin bakal merayakannya dengan kembang api." Theo menyimpan surat perjanjian itu lalu berbalik pergi. Melihat dia sudah pergi, Kezia menghirup napas dalam-dalam, lalu perlahan-lahan turun dari kasur. Sekarang dia sudah menandatangani surat perjanjian perceraian, dia juga tidak ingin punya hubungan apa pun lagi dengan Keluarga Hartono. Sebaiknya dia meninggalkan tempat ini sekarang juga. Setelah ganti baju, waktu Kezia hendak keluar dari kamar, pintunya kembali terbuka. Theo kembali lagi. Melihatnya, Kezia langsung merasa kesal. "Ngapain lagi kamu ke sini?" Mendengar kekesalan di suaranya, Theo kaget dan bahkan sedikit panik. Kezia tidak pernah berbicara dengannya dengan nada seperti itu. Setiap kali melihatnya, Kezia selalu senang. Namun sekarang .... Tidak, Kezia pasti sedang main tarik ulur dengannya. Otak Theo berputar, lalu waktu melihat Kezia lagi, ekspresinya kembali serius. "Nggak bisa, sekarang kamu harus ikut aku." "Apa?" Kezia mundur selangkah dan melihat Theo dengan tatapan kaget. Tadi otaknya bermasalah? Theo langsung menggenggam pergelangan tangan Kezia dan menariknya keluar. Setelah masuk lift, Theo baru menunjukkan kejijikan. "Kamu pasti pura-pura menuruti kataku di depanku. Sekarang kamu tanda tangan secepat ini, pasti setelah itu menyesal, 'kan?" Kezia tidak bisa berkata-kata. Dia tidak mengerti, sekarang dia tidak menginginkan semuanya lagi, orang-orang ini kenapa malah selalu menebak aksinya ke arah yang negatif? Rasa pahit di hatinya membuatnya tidak nyaman, Kezia pun menunduk sambil menertawai dirinya. Setelah selesai tertawa, dia mendongak lagi untuk melihat Theo. "Jadi Pak Theo maunya gimana?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.