Bab 8
Theo menatap lurus ke Kezia, kebencian di matanya membuat hati Kezia bergetar.
Apa kakaknya ini mau membunuhnya demi Raina?
Kezia tanpa sadar melangkah mundur.
Melihat keanehan Kezia, mata Theo menyipit.
"Seperti yang kuduga, kamu cuma asal jawab."
Kezia mengernyit, lalu melihat Theo seperti melihat seorang idiot.
Theo tiba-tiba mencengkeram dagu Kezia dengan sangat kuat.
Ukh ....
Sakit sekali!
Seketika mata Kezia basah oleh air mata.
Theo refleks ingin melepas tangannya, tapi teringat Kezia adalah pelaku yang membuat Raina hamil di luar nikah, dia ingin sekali membunuh Kezia.
Di matanya penuh dengan kekecewaan.
"Kezia, kenapa kamu nggak bisa jadi anak baik seperti Raina?"
"Hehe ...."
Kezia berusaha menahan air matanya.
Memangnya dia tidak cukup baik?
Ting ....
Pintu lift terbuka, perasaan aneh di hati Theo yang baru saja muncul seketika menghilang.
Ada orang yang masuk, Theo pun kembali menjadi pria yang sopan.
Namun, setelah keluar dari lift, Theo menarik pergelangan tangan Kezia. Tidak peduli apakah Kezia bisa mengikuti langkah kakinya, dia menarik Kezia ke mobil lalu menyalakan mobilnya.
Melihat mereka sudah menyetir keluar dari kota, Kezia semakin tegang.
Dia melihat Theo dan bertanya, "Apa yang kamu lakukan?"
Jangan-jangan dia mau menguburnya hidup-hidup?
Theo melihatnya, menyadari ketakutan di mata Kezia, dia pun agak kesal.
"Kenapa? Kamu pikir aku bakal membunuhmu?"
Memangnya bukan?
Kezia mengangkat alisnya, matanya penuh dengan kecurigaan.
Melihat ini, Theo pun mencibir.
"Tenang saja, aku nggak mungkin melanggar hukum demi pembawa bencana sepertimu. Terhadap orang seperti ini, langit juga nggak mungkin diam saja, nggak perlu aku yang turun tangan."
Merasakan kebencian kakaknya yang terang-terangan, Kezia refleks mengepalkan tangannya.
Meski dia sudah tidak peduli dengan mereka, tapi kata-kata Theo tetap berhasil menyakitinya.
Dia tertawa pahit dan berkata, "Benar katamu, orang sepertiku nggak perlu kamu yang turun tangan."
Dalam tiga bulan, dia akan pergi menemui ibunya.
Menyadari air mata yang membasahi mata Kezia, kembali muncul perasaan aneh di hati Theo.
Dia bisa-bisanya peduli dengan pembawa bencana ini?
"Sialan!"
Theo memukul setirnya sekuat tenaga.
Kemudian, dia menginjak gas sampai habis.
Di sisi lainnya.
Pintu kantor Reynald dibuka, seorang pria yang memakai kemeja kota-kotak, anting di telinganya, dan rambutnya dicat merah berjalan masuk dengan gaya sombong.
Pria itu langsung menghampiri Reynald, lalu duduk di depannya. Kemudian, kedua kakinya diangkat ke atas meja.
Setelah itu, dia melempar sebuah amplop dokumen.
"Nih, informasi yang kamu mau."
Reynald mengambilnya lalu membukanya.
Namun, dia langsung mengernyit, matanya jadi sangat menakutkan.
Menyadari perubahannya, pria itu langsung berdiri tegak.
Reynald mengangguk, tatapannya yang sedingin es tertuju pada pria itu.
"Gavin, kamu yakin ini laporan Kezia?"
Gavin, salah satu teman baik Reynald, juga adalah pewaris rumah sakit swasta terbesar dalam negeri.
Gavin memutar bola matanya.
"Bos, kamu boleh meragukan ketampananmu, tapi kamu nggak boleh meragukan kemampuan keluargaku. Tapi kulihat kamu nggak senang, apa lagi yang dilakukan si Kezia itu?"
Sambil berbicara, Gavin mengulurkan lehernya ingin melihat laporan itu.
Selama ini, Reynald selalu sangat rahasia saat menangani masalah Kezia. Selain itu, Gavin juga tidak berani menggosip tentang urusan Reynald.
Reynald mencengkeram erat amplop di tangannya, tatapannya seperti ingin membunuhnya.
"Beneran nggak salah?"
Mendengar pertanyaannya, Gavin langsung mengangkat tangannya.
"Bos besar, rumah sakit kami itu rumah sakit terbaik di sini. Semua dokter terbaik berkumpul di sini, mana mungkin salah."
"Nggak mungkin salah diagnosa?"
Gavin lagi-lagi memutar bola matanya.
"Kalau berani salah diagnosa, kami berani langsung memecat dokter itu, lalu memberikan kompensasi sepuluh kali lipat kerugian pasien."
Melihat sikap Reynald yang tidak biasa, Gavin lagi-lagi tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
"Coba kamu bilang, apa yang Kezia lakukan?"
Reynald merapikan dokumen itu, lalu melirik ke arah pintu.
"Sudah jam segini, kamu sudah boleh keluar."
Melihat Reynald tidak menyambutnya, Gavin memainkan poninya.
"Ya sudah kalau nggak mau bilang, lagian aku juga nggak mau tahu."
Gavin lagi-lagi mendengus sebelum akhirnya berbalik pergi.
Setelah berjalan beberapa langkah, Reynald masih tetap tidak memanggilnya.
Dia menoleh ke belakang dan melihat Reynald kembali melihat dokumen itu, Gavin semakin penasaran.
Dia benar-benar ingin tahu ada apa dengan Kezia.
Dilihat dari tatapan Reynald, seakan-akan Kezia melakukan sesuatu yang sangat mengejutkan.
...
Kezia dibawa ke sebuah vila.
Vila ini sepertinya hadiah dari Kak Joseph ke Theo sebagai hadiah ulang tahun ke-18.
Saat itu, dia pernah memohon Theo untuk membawanya ke sini, tapi Theo menolak. Sekarang dia sudah mau mati, harapan bodoh ini malah terkabulkan?
Dia menertawai dirinya sendiri, lalu kembali datar.
"Pak Theo membawaku ke sini untuk mengurungku?"
Theo berjalan melewati Kezia. Setelah melihat sekeliling, dia kembali melihat Kezia.
"Aku nggak percaya kamu akan cerai begitu saja dengan Reynald, kamu pasti punya tujuan lain. Sebelum kamu dan Reynald resmi menikah, kamu harus tinggal di sini, nggak boleh ke mana-mana."
"Oke." Kezia menyetujuinya secara langsung. Namun, dia teringat sesuatu lalu mengingatkan Theo, "Kalau begitu, kamu harus ingatkan Reynald untuk tanda tangan sesegera mungkin."
Theo memiringkan kepalanya, lalu melihat Kezia dengan kaget.
Kenapa rasanya justru anak ini yang lebih ingin bercerai dengan Reynald?
Menyadari Theo sedang melamun, Kezia melambaikan tangannya di depan mata Theo, lalu jadi curiga padanya.
"Pak Theo, kamu dengar, nggak?"
Theo pun memasang wajah serius.
"Tanpa kamu ingatkan, aku juga bakal menyuruh Reynald bercerai denganmu. Kamu diam saja di sini, jangan macam-macam."
"Tenang saja."
Dia tersenyum, lalu melihat ke pengurus rumah di samping, Pak Thomas.
"Kamarku di mana?"
Pak Thomas baru pertama kalinya melihat Kezia, dia refleks melihat ke Theo.
Meski sebelumnya dia tidak pernah melihat Kezia, dia tahu situasi keluarga majikannya. Seluruh Keluarga Hartono tidak suka dengan anak perempuan kandung ini.
Mereka justru sangat menyayangi dan melindungi anak miskin yang didanai mereka.
Hari ini bertemu dengan Kezia, Pak Thomas merasa kasihan padanya.
Anak ini sangat kurus, seperti boneka yang gampang pecah, harus dijaga baik-baik.
Sangat rapuh.
"Pak Thomas, bawa dia ke atas, perhatikan dia setiap saat, jangan biarkan dia keluar satu langkah pun dari sini."
Pak Thomas langsung sadar kembali lalu mengangguk.
"Baik, Pak Theo."
Theo lagi-lagi melihat Kezia dan berkata, "Jangan macam-macam, kalau nggak, aku punya banyak cara untuk memusnahkanmu!"
Setelah itu, Theo berbalik pergi meninggalkan vila ini.
Dia tidak boleh meninggalkan Raina terlalu lama, dia pasti takut sendirian di rumah sakit.
Kezia sama sekali tidak peduli dengan kepergian Theo, dia justru sangat puas dengan vila ini.
Mulai sekarang, seharusnya tidak akan ada orang yang mengganggunya lagi. Sebelum dia meninggal, dia mau menggambar semua idenya, dia mau meninggalkan perhiasan yang menakjubkan dunia ini.