Bab 9
Dalam sekejap, dua hari berlalu. Theo yang tidak mendapat kabar apa pun tentang Kezia kembali mengunjungi vilanya.
Saat tahu Kezia terus diam di vila, Theo memasang ekspresi curiga.
Thomas tidak tahu harus tertawa atau menangis.
"Pak Theo, Nona Kezia diam di kamar terus. Dia makan sangat sedikit, saya khawatir ...."
Theo mencibir.
"Pak Thomas, kamu nggak tahu selicik apa dia itu. Semua ini cuma aktingnya dia saja biar kita kasihan padanya. Kamu jujur saja, dia kasih kamu uang biar kamu bantu dia bicara ya?"
Seketika, Thomas tidak tahu harus mengatakan apa.
Namun, dia juga bisa melihat kalau Theo benar-benar membenci Kezia.
Tanpa menunggu jawaban Pak Thomas, Theo sudah naik ke lantai atas.
Dia mau melihat apa lagi yang direncanakan si Kezia hari ini.
Begitu buka pintu, dia melihat Kezia melamun sambil mengelus perutnya.
Theo bersandar ke kusen pintu dengan tatapan merendahkan.
"Sudah kuduga, kamu lagi-lagi memikirkan yang aneh-aneh, 'kan? Kamu iri Raina hamil dengan anak Reynald, kamu lagi-lagi mau berbuat jahat!"
Kelembutan di mata Kezia yang tadinya sedang berada di dunianya sendiri langsung menghilang begitu mendengar suara Theo.
Dia mendongak, di wajah kecilnya yang baru sebesar kepalan tangan tidak terlihat ekspresi apa pun. Waktu dia melihat Theo, sama sekali tidak ada perasaan di matanya.
Kemudian, Kezia tertawa.
"Pak Theo hari ini kemari, untuk mengantarkan surat perjanjian perceraian?"
Theo seketika membeku.
Kemudian, dia marah.
"Kezia! Jangan pikir dengan berpura-pura nggak peduli, aku bakal tertipu. Aku datang untuk kasih tahu kamu, kami akan menyiapkan pesta pernikahan yang mewah untuk Raina dan Reynald, sedangkan kamu ...."
Theo lagi-lagi mencibir.
"Aku nggak punya adik kayak kamu. Setelah kamu dan Reynald resmi bercerai, kamu sudah boleh ke luar negeri, jangan pulang lagi selamanya."
Melihat kebencian di matanya serta kesenangan di wajah Theo saat mengungkit mau mengirimnya ke luar negeri,
Kezia tanpa sadar tersenyum pahit.
Jelas-jelas dialah adik kandung Theo, sebelum Raina datang, dia juga adik yang disayangi dan dimanja kakaknya. Namun sekarang ....
Dalam sekejap, Kezia menyembunyikan perasaannya lagi, kembali berpura-pura tidak peduli.
"Pak Theo, daripada menghabiskan waktu denganku di sini, lebih baik kamu pikirkan baik-baik bagaimana caranya agar Reynald segera cerai denganku."
Mendengar ini, Theo merasa ada yang aneh.
Kenapa rasanya seperti Reynald yang tidak mau bercerai?
Tidak mungkin!
Pasti Kezia sengaja membuatnya salah paham.
Setelah berpikir demikian, Theo menatap Kezia dengan tatapan merendahkan.
Dia berkata, "Jangan asal bicara, Reynald cuma lagi sibuk saja. Setelah itu dia pasti akan cerai denganmu."
"Oh ya?"
Sibuk?
Kezia menatapnya dengan penuh makna.
Theo mengartikan tatapan ini sebagai Kezia meremehkannya.
Sial, Kezia mana berhak meremehkannya!
Semakin dipikirkan, Theo semakin kesal. Dia mengepalkan tangannya lalu memperingatkan Kezia,
"Kamu harus berjanji padaku, setelah cerai dengan Reynald, kamu nggak akan mengganggunya dan Raina lagi, juga nggak boleh menyakiti Raina, apalagi memberi tahu orang lain hubunganmu dengan Keluarga Hartono."
Kezia mengangguk sambil tersenyum.
"Oke."
Kebetulan, ini juga keinginannya.
Theo yang tidak menyangka Raina akan setuju semudah itu merasa aneh.
Apalagi saat dia melihat di mata Kezia sama sekali tidak ada perasaan terhadapnya.
Teringat sesuatu, Theo melihat ke arah meja di belakang Kezia.
Di meja sepertinya ada beberapa kertas sketsa?
Waktu dia maju mendekat, Kezia tiba-tiba menghalanginya.
"Kamu mau apa?"
Kezia panik?
Theo langsung memasang ekspresi serius dan mendorong Kezia ke samping.
"Harusnya aku yang tanya begitu. Apa lagi yang kamu rencanakan?"
Setelah itu, dia mengambil kertas sketsa itu.
Melihat gambar sehelai daun yang bentuknya agak aneh di kertas itu, Theo langsung meremas kertas itu dan membuangnya ke tong sampah.
"Aku pikir ada apa. Bukannya sudah kubilang nggak boleh menggambar lagi? Raina nggak mengerti gambarmu ini, dia bakal sedih, kamu nggak boleh menggambar lagi."
Kezia melirik tong sampah lalu mengalihkan pandangannya.
Kemudian, dia mengangguk.
"Benar katamu, aku memang nggak seharusnya menggambar."
Gambar itu sebenarnya hadiah perpisahan darinya untuk Theo. Sekarang kelihatannya sudah tidak perlu.
Kalau Theo melihat dengan lebih saksama, pasti akan menyadari tanda tangan di atas adalah tanda tangan desainer kesukaannya.
Apalagi daun itu adalah daun pohon zaitun, jenis pohon yang paling disukainya.
Sayangnya gambar ini karya Kezia. Sebagus apa pun gambarnya, Theo tetap akan membencinya karena Raina.
Melihat ekspresi Kezia yang berubah aneh, Theo entah kenapa agak panik.
Dia menghindari tatapan Kezia lalu berbalik pergi.
"Bagus kalau kamu tahu, aku bakal menyuruh orang mengantarmu pergi."
Setelah itu, dia pergi meninggalkan sosok yang terburu-buru.
Setelah melihat Theo pergi jauh, Kezia mengambil gambar yang diremas Theo tadi lalu membakarnya.
Theo yang terburu-buru pergi tadi menuju ke rumah sakit.
Sejak tahu kalau Raina hamil, Theo menyuruhnya tinggal di rumah sakit, takut dia kehilangan satu helai rambut pun.
Namun, setelah tiba di rumah sakit, Theo terus melamun.
Setelah mengobrol sekian lama dengannya tapi tidak mendapat jawaban, muncul kilatan kebencian di mata Raina.
Baru pergi sekali ke vila itu, Theo sudah jadi seperti ini. Memangnya si Kezia sialan itu begitu memesona?
"Kak Theo." Raina tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya.
Theo membeku sejenak lalu refleks mendorong Raina.
Baru saja dia mendorongnya, Theo tiba-tiba menyadari siapa yang dia dorong dan segera meminta maaf.
"Maaf, Raina, Kakak pikir kamu Kezia si pembawa bencana itu."
Mendengar itu, wajah Raina memucat.
Dia berusaha untuk tersenyum lalu menggeleng lemah.
"Memang pada dasarnya aku yang salah. Kak Theo, kalau nggak anak ini lebih baik digugurkan saja. Aku nggak mau Kak Kezia bercerai dengan Reynald."
"Nggak boleh!"
Theo langsung melarang.
Dia menggenggam erat tangan Raina, matanya penuh dengan amarah.
"Si pembawa bencana itu bisa-bisanya bilang mau Reynald tanda tangan secepatnya, seakan-akan Reynald nggak mau cerai dengannya. Aku mau tunjukkan padanya kalau Reynald nggak sabaran mau cerai dengannya."
"Apa? Reynald nggak mau cerai dengan Kezia?"
Untuk sesaat, Raina lepas kendali, suaranya juga agak keras.
Melihat emosi Raina bergejolak, Theo bingung sesaat, tapi dia langsung meyakinkan dirinya.
Pasti karena Raina terlalu mencintai Reynald.
Theo mengelus rambut Raina dengan lembut sambil menenangkannya.
"Aku cari Reynald sekarang juga, dia harus tanggung jawab."
"Jangan ...."
Tanpa menunggu Raina menghentikannya, Theo sudah keluar.
Melihat sosok Theo yang menjauh, muncul amarah di mata Raina.
Si bodoh ini benar-benar tidak bisa diandalkan, sama sekali tidak ada otak!
Namun, kalau Theo bisa membuat Reynald dan Kezia cerai, tujuannya akan tercapai.
Oleh karena itu, Raina juga tidak menghentikannya. Dia menunggu Theo datang membawa kabar baik.