Bab 6
Mereka segera melambaikan tangan mereka. "Pak Carlo, hal ini nggak ada hubungannya dengan kami! Kami cuma bicara beberapa patah kata dengannya, tapi dia tiba-tiba muntah darah!"
Saat melihat darah di lantai dan wajah Brianna yang sepucat kertas, Carlo mengerutkan keningnya dan tanpa sadar melangkah maju.
Firlia segera menghentikannya, lalu berkata dengan cemas, "Carlo, jangan percaya! Dia pasti sedang berakting, entah dari mana dia dapat kantong darah sebanyak itu! Dia pura-pura terlihat menyedihkan untuk mendapatkan simpatimu, ambil kembali kalung itu dan rusak pesta ulang tahunku!"
Carlo langsung menghentikan langkahnya.
Pria itu menatap Brianna dengan tatapan yang tidak bisa ditebak, lalu pada akhirnya digantikan oleh tatapan jijik dan curiga.
Carlo terdiam selama beberapa detik, lalu berkata dengan dingin, "Karena dia sangat suka berakting dan cari perhatian, kalau begitu gantung dia terbalik di pohon ceri itu sehari semalam."
Pohon ceri itu ditanam secara pribadi oleh Carlo karena Brianna sangat suka memakan ceri sebelum ini.
Carlo mengatakan jika dia akan memetik buah ceri untuknya setiap tahun.
Pengawal ragu-ragu sejenak. "Pak Carlo, kalau digantung terbalik selama dua jam, otak manusia akan tersumbat dan nyawanya akan terancam .... Kalau digantung selama sehari semalam ...."
Tatapan Carlo sangat dingin dan tegas. "Biarkan saja kalau dia mati."
Brianna diseret ke pohon dengan kasar, pergelangan kakinya diikat oleh tali dengan erat, lalu seluruh tubuhnya ditarik ke atas dan digantung terbalik di udara.
Darah langsung mengalir ke kepalanya. Pelipis Brianna terus berdenyut, bola matanya juga terlihat seperti akan meledak.
Pandangannya langsung berubah menjadi perjamuan yang berwarna merah darah, terbalik dan ramai. Carlo dan Firlia yang saling berpelukan, serta pohon ceri yang pernah menjadi bukti sebuah cinta ....
Rasa sakit yang kuat dan perasaan tercekik menyiksa setiap sarafnya.
Waktu berlalu sangat lambat.
Setelah satu hari dan satu malam berlalu, Brianna sudah sekarat saat diturunkan. Dia dilempar ke dalam kamar bagaikan kain lap.
Selama beberapa hari berikutnya, rasa sakit di tubuh Brianna semakin menguat, dia juga semakin sering muntah darah.
Kesadaran Brianna perlahan-lahan mengabur, rasa sakit juga membuatnya berhalusinasi.
Setelah merasakan rasa sakit yang menusuk, Brianna mengira jika saat ini masih merupakan 5 tahun yang lalu di mana mereka masih saling mencintai. Brianna tanpa sadar mengetik nomor yang dia hafal dengan baik, suaranya terisak dan penuh dengan ketergantungan. Brianna bahkan bersikap dengan manja seperti yang pernah dia lakukan beberapa kali sebelum ini. "Carlo ... aku sangat sekali ...."
Pihak lain terdiam untuk waktu yang lama, sangat lama sampai Brianna mengira panggilan ini sudah diputuskan.
Kemudian dia mendengar suara Carlo yang tertahan dan rumit. "Mana yang sakit?"
Suara familier ini yang terdengar sedikit khawatir, bagaikan seember air dingin yang langsung menyadarkan pikiran Brianna.
Brianna tiba-tiba terbangun, jantungnya seperti diremas dengan kuat saat menyadari kenyataan saat ini.
Dia segera memutuskan panggilan, lalu menutupi dirinya dengan selimut dan menangis tanpa suara.
Pada akhirnya, Brianna menelan banyak obat penghilang rasa sakit dengan tangan yang gemetar, lalu tertidur karena pengaruh obat.
Entah sudah berapa saat berlalu, dia terbangun setelah disiram oleh seember air yang dingin.
Firlia berdiri di depan tempat tidur dengan penuh amarah. "Brianna! Nggak disangka kamu akan menelepon di waktu yang tepat! Beraninya kamu menelepon saat kami hendak melakukannya! Kamu bahkan menggunakan nada bicara yang menjijikkan seperti itu! Apakah kamu lupa kalau Carlo sudah nggak menginginkanmu lagi? Kenapa kamu masih pura-pura?!"
Dia berkata dengan marah untuk waktu yang lama, kemudian mencibir. "Karena kamu kekurangan pria, aku akan kasih pria padamu!"
Firlia menepuk tangannya, lalu seorang pria asing yang terlihat mesum berjalan masuk sambil menatap Brianna dengan tatapan cabul.
"Ja ... jangan!"
Brianna meronta dengan keras dan mengeluarkan seluruh tenaga yang tersisa. Dia mendorong pria itu, lalu berlari keluar dari kamar tanpa mengenakan alas kaki!
Hanya saja dia tiba-tiba menabrak sebuah dada yang keras dan hangat.
Begitu mendongak, Brianna bertatapan dengan bola mata hitam tidak berdasar Carlo yang datang setelah mendengar keributan.
"Apa yang terjadi?" Carlo mengerutkan keningnya saat melihat Brianna yang ketakutan dan pakaiannya yang berantakan.
Brianna membuka mulutnya untuk menjelaskan hal ini.
Hanya saja Firlia segera berlari keluar, lalu menangis di dalam pelukan Carlo. "Carlo, tadi ... tadi aku lihat dia dan pria itu sedang bersama di dalam kamar .... Kenapa dia bisa melakukan hal ini padamu!"