Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Di kalangan sosialita, Luna Suwira selalu dikenal sebagai perempuan paling suci. Julukan itu sudah beredar selama enam tahun. Alasannya sederhana, dia sudah menikah dengan Charlie Sinatriya, si "pangeran dingin" dari dunia hukum selama tiga tahun, namun sampai sekarang masih belum pernah disentuh. Charlie punya masalah kebersihan yang parah, sampai level yang membuat orang tercengang. Selama tiga tahun pacaran dan tiga tahun menikah, dia menolak semua bentuk kedekatan fisik. Tidak memeluk, tidak mencium, apalagi tidur bersama. Luna dulu tidak percaya begitu saja. Dia tetap nekat mencoba, seribu kali menggoda, dan seribu kali pula gagal. Dia sempat mengira begitulah diri Charlie. Dingin, berwibawa, tak tersentuh oleh dunia. Sampai hari ini, barulah dia tahu. Sosok mulia yang sulit dijangkau itu ternyata bisa juga turun ke dunia biasa, bahkan obsesinya pada kebersihan bisa berubah demi orang tertentu. ... Di restoran mewah itu, jari-jari Luna yang menggenggam gelas bergetar pelan. Dari balik jendela kaca, dia melihat jelas Charlie sedang berlutut dengan satu kaki, memijat pergelangan kaki wanita di hadapannya. Jari-jari panjang itu memegang pergelangan kaki yang putih dan halus, gerakannya lembut seperti sedang menyentuh harta yang berharga, tanpa sedikit pun rasa jijik atau tidak nyaman. Benarkah itu orang yang sama, yang bahkan jika tanpa sengaja menyentuh tangannya, harus menyemprotkan disinfektan sampai tiga kali? Luna gemetar sambil memotret pemandangan itu, lalu mengirimkannya pada sahabat terdekat Charlie. [Siapa dia?] Sang sahabat segera membalas. [Kok kamu tahu tentang Nadya Mulyadi?] Nadya ... Luna menatap nama itu erat-erat. [Jadi, siapa dia?] Sahabat itu ragu sejenak, lalu akhirnya menjawab jujur. [Cinta pertama Charlie.] [Dulu, Charlie melepaskan hak waris keluarga dan beralih menjadi pengacara, demi dia. Dia juga sampai berkelahi dengan preman dan dirawat di rumah sakit, dan hampir kehilangan nyawa. Setelah mereka putus, Charlie terpuruk selama dua tahun baru pulih ... ] Luna mendengarkan semuanya dalam diam, pikirannya seketika kosong. Sahabat itu mencoba menghiburnya. [Tapi semua itu sudah berlalu. Sekarang dia sudah menikah denganmu, pasti kamu yang dia cintai sekarang.] Benarkah begitu? Luna tersenyum, tapi air matanya ikut jatuh. Dia masih ingat, di tahun kedua kuliahnya, pertama kali melihat Charlie di gerbang Fakultas Hukum Universitas Jinggara. Kemeja putihnya tertiup angin, sosoknya dingin, tak mudah didekati. Sebagai putri Keluarga Suwira, Luna tumbuh cantik dan percaya diri, terbiasa mendapatkan apa saja yang diinginkan sejak kecil. Tapi hari itu, ketika dia meminta kontak Charlie dan langsung ditolak, barulah dia sadar, ternyata ada juga hal di dunia ini yang tak bisa dia dapatkan. Maka dia memulai pengejaran itu selama dua tahun. Setiap pagi dia menunggu hanya untuk mengantarkan sarapan, yang kemudian selalu dibuang Charlie ke tempat sampah. Hadiah-hadiah yang sudah dia siapkan dengan hati-hati, bahkan tidak dilirik, dan langsung diberikan pada anjing liar di jalan. Bahkan ujung baju yang dia sentuh pun akan langsung dilepas dan dibuang saat itu juga. Namun, Luna justru makin bersemangat dan tak mau menyerah. Akhirnya, pada suatu malam berhujan, ketika dia basah kuyup di pintu perpustakaan, Charlie tiba-tiba mengulurkan sebuah payung. "Coba pakai ini," katanya dengan suara sedingin es. Saat itu, dia pikir dirinya telah menang. Bagaimanapun, akhirnya dia akan menjadi pacar Charlie, lalu menjadi istrinya. Namun selama tiga tahun berpacaran dan tiga tahun menikah, setiap kali tanpa sengaja Luna menyentuh tangannya, pria itu akan mencucinya dengan disinfektan berkali-kali. Saat dia ingin memeluk, pria itu mundur ... Saat Luna ingin mencium, dia menghindar. Malam pertama setelah menikah, Charlie tidur di ruang kerja. Semua orang berkata, "Charlie memang begitu, obsesinya pada kebersihan sangat parah." Perlahan Luna menerima alasan itu. Lagi pula, bukankah dia memperlakukan semua orang seperti itu? Sampai hari ini, ketika dia melihat lelaki itu berlutut memijat pergelangan kaki wanita lain, sambil menatap wanita itu dengan kelembutan yang tak pernah Luna lihat. Justru membuatnya sadar bahwa ternyata ada orang yang mendapat tempat khusus di hati Charlie. Betapa ironis. Luna cantik, bertubuh indah, dan pria yang mengejarnya bisa berbaris dari selatan kota sampai ke utara. Namun, demi pria yang tidak mencintainya, dia merendahkan diri selama delapan tahun penuh. Kalau Charlie tak mau menyentuhnya, masih banyak orang yang bersedia menyentuh. Kalau Charlie tak mencintainya, masih banyak orang yang mau mencintai. Kalau begitu, dia akan bercerai saja, dan sepenuhnya merelakan lelaki itu kembali pada cinta pertamanya. Setelah keputusan itu bulat, Luna menyeka air mata dan mengambil tasnya, kemudian melangkah cepat meninggalkan restoran. Dia berjalan tergesa, dan tepat di pintu, tanpa sengaja dia menabrak Nadya yang hendak pergi. Saat keduanya saling menatap, papan nama di atas kepala mereka tiba-tiba longgar dan jatuh menghantam ke arah mereka. Luna spontan mendorong Nadya menjauh, sementara dirinya terkena hantaman di punggung. Darah langsung mengalir deras. Rasa sakit itu membuatnya berlutut, dan dengan pandangan yang mulai kabur, dia melihat Charlie berlari dari area parkir. Dia segera membantu Nadya berdiri, memeriksa kondisinya dengan cemas. Setelan mahalnya kotor oleh debu, tapi dia sama sekali tak peduli. Setelah memastikan Nadya baik-baik saja, barulah dia melihat Luna yang terbaring dalam genangan darah. "Kenapa kamu di sini?" Charlie berdiri melindungi Nadya, tatapannya dingin dan tajam. "Aku hanya bertemu teman, dan kamu masih harus mengikutiku?" Luna terlalu sakit untuk berbicara, dadanya jauh lebih nyeri daripada lukanya. "Bukan begitu, barusan papan reklamenya jatuh, dan dia menyelamatkanku ... " Nadya akhirnya tersadar dan buru-buru menjelaskan. Charlie tertegun sejenak, lalu menoleh ke arah Luna. "Kalian ... saling kenal?" Nadya bertanya hati-hati. Luna ingin bicara, tapi tak sanggup. Dia hanya bisa menatap perubahan raut wajah Charlie. "Ya. Dia ... salah satu wanita yang mengejarku," kata Charlie datar, menatap wajah Luna yang pucat. "Dia sudah mengganggu cukup lama." Kata-kata itu menusuk jantung Luna seperti sebilah pisau. Dia mendadak tertawa, air matanya bercampur dengan darah yang mengalir. Delapan tahun hubungan, dan di mulut pria itu dia hanyalah seorang "pengagum"? Melihat darah yang terus mengalir dari tubuh Luna, Nadya berkata dengan cemas, "Charlie, gendong dia ke rumah sakit. Lukanya sangat parah." Namun, Charlie tetap berdiri diam, suaranya dingin, "Tubuhnya penuh darah. Kotor." "Aku punya obsesi kebersihan. Aku nggak bisa menyentuhnya." "Panggil ambulans saja." Luna terbaring di lantai dingin, darah terus mengalir dari kening, membuat wajahnya kian pucat. Mendengar kata-kata Charlie, hatinya seolah diremas hingga nyaris tak bisa bernapas. Kemudian terdengar suara sirene ambulans mendekat. Paramedis bergegas datang dan hendak mengangkat Luna ke tandu ketika Nadya tiba-tiba goyah, wajahnya memucat. "Charlie, aku ... " Sebelum kalimatnya selesai, tubuhnya limbung dan terjatuh. "Nadya!" Charlie melesat dan menangkapnya dengan sigap. Suara yang biasanya sedingin batu kini dipenuhi kepanikan. Dia menoleh tajam pada petugas medis. "Turunkan dia, bawa Nadya dulu ke rumah sakit!" Perawat tampak ragu. "Tapi Nona Luna sudah kehilangan banyak darah dan sudah hampir nggak sadar. Kalau menunggu ambulans berikutnya, mungkin nyawanya terancam ... " "Aku yang memanggil ambulans ini," potong Charlie dengan suara dingin. Dia meletakkan Nadya ke tandu dan berkata tanpa bisa dibantah, "Aku yang menentukan siapa yang boleh naik!" Setelah itu, dia naik ke ambulans tanpa sekalipun menoleh pada Luna. Luna menatap ambulans yang menjauh, hatinya mati rasa, lalu akhirnya dia pingsan. ... Saat Luna sadar, cahaya putih yang menyilaukan membuat matanya memicing karena tidak nyaman. "Akhirnya Anda sadar!" Perawat itu lega. "Ada orang baik hati yang membawa Anda ke rumah sakit. Anda perlu menghubungi keluarga supaya ada yang menjaga." Luna menggeleng pelan, suaranya lemah. "Nggak usah, aku memang sendirian." Perawat itu terkejut. "Tapi data menunjukkan Anda sudah menikah tiga tahun, dan belum punya anak." "Sebentar lagi bercerai." Suaranya lirih namun tegas. Sesaat setelah dia mengatakan itu, pintu kamar rawat terbuka ... "Bercerai?" Charlie masuk dengan wajah dingin. "Siapa yang mau bercerai?"
Bab Sebelumnya
1/22Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.