Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

"Itu, temanku yang mau bercerai." Luna berbohong tanpa perubahan ekspresi, ujung jarinya diam-diam mencengkeram ujung selimut. Charlie mengangguk datar. "Suruh dia datang padaku. Aku bantu urus perkaranya gratis." "Nggak perlu repot begitu." Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum dengan tidak tulus. "Keduanya memang ingin bercerai. Kamu cukup bantu membuatkan draf perjanjiannya." Charlie tidak curiga, dia mengangkat tangan memberi isyarat pada asistennya untuk bersiap. Setelah pintu ruang rawat tertutup, suasana mendadak hening hingga terasa menekan. "Kemarin aku dan Nadya hanya makan bersama sebagai teman lama," kata Charlie tiba-tiba. "Jangan salah paham, dan jangan cari masalah dengannya." Luna tiba-tiba tertawa. Dia manja dan keras kepala, namun bukan tipe yang membuat keributan tanpa alasan. Seandainya dulu dia tahu ada orang lain di hati Charlie, dia tak akan mengejar pria itu bertahun-tahun. Dadanya kembali terasa perih. Dia menahan emosinya dan menatap Charlie. "Kamu datang hanya untuk mengatakan ini?" "Masih ada satu hal lagi ... " Nada suaranya sedikit melunak. "Terima kasih sudah menyelamatkan Nadya. Dia punya gangguan pembekuan darah. Kalau terluka, urusannya akan rumit." "Sebagai kompensasi, kamu boleh minta apa saja." Luna menatapnya lama. "Kamu begitu mencintainya? Sampai harus memberi kompensasi pada istrimu demi dia?" Charlie tidak mendengar dengan jelas, keningnya berkerut. "Apa?" Tepat saat itu, asisten mendorong pintu dan masuk, menyerahkan surat perjanjian cerai kepada Luna. Luna menerimanya dalam diam, langsung membuka halaman tanda tangan pihak pria, lalu mendorongnya ke hadapan Charlie. "Tanda tangan." "Salah." Jari panjangnya berhenti di atas kertas. "Ini kolom tanda tangan pihak pria. Aku pengacara, aku harus tanda tangan di halaman saksi." Dia baru hendak membalik halaman ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Nama "Nadya" yang terpampang di layar terlihat begitu menyakitkan. "Balik ke halaman berikutnya." Dia memberi isyarat pada Luna, lalu berbalik menerima telepon, suaranya seketika berubah lembut. "Ada apa?" Luna tidak bergerak, ujung penanya masih menempel di tempat semula. "Baik, aku segera ke sana." Setelah menutup telepon, Charlie menandatangani tanpa melihat. Saat ujung pena menyentuh kertas, jantung Luna seolah jatuh ke dasar jurang yang membeku. "Ada urusan mendadak di kantor hukum. Aku pergi dulu." Dia berbalik dan pergi tanpa ragu, bahkan tidak menyadari bahwa dia menandatangani kolom yang salah. Luna menatap punggungnya yang menjauh, lalu dengan tangan bergetar menandatangani kolom satunya. Begitu masa tenang tiga puluh hari untuk perceraian berakhir, mereka tidak lagi punya hubungan apa pun. ... Selama satu minggu dirawat di rumah sakit, di samping tempat tidur Luna selalu kosong. Dia belajar mengganti perban sendiri, menahan rasa sakit saat membalikkan badan sendiri, dan memanggil perawat sendiri ketika infus hampir habis. Hingga hari dia dipulangkan, barulah Charlie muncul dengan langkah pelan, terlambat seperti biasanya. "Akhir-akhir ini aku lembur." Dia berdiri di ambang pintu, rapi dengan setelan jasnya, membawa aroma melati yang samar tapi menenangkan. Itulah aroma parfum yang dikenakan Nadya hari itu. Luna menunduk merapikan barang-barangnya, tidak membongkar kebohongannya. Yang membuatnya terkejut, Charlie tidak langsung mengantarnya pulang, melainkan membawanya ke pusat perbelanjaan baru. "Mau makan apa?" Dia bertanya di dalam lift, jari-jarinya menelusuri layar ponsel dengan sabar. "Dimsum udang di restoran yang ini sangat autentik." Dari makan siang hingga menonton film, dia mengatur semuanya tanpa cela. Dia menarik kursi sebelum Luna duduk, mengingatkannya agar hati-hati ketika minum sup, dan di bioskop dia melepas jasnya untuk disampirkan di bahu Luna saat udara terlalu dingin. "AC-nya terlalu dingin, nggak?" "Apa tempat duduknya sudah nyaman?" "Hidangan ini cocok nggak dengan seleramu?" Perhatian seperti itu membuat Luna merasa gamang. Delapan tahun berlalu, baru kali ini mereka tampak seperti pasangan pada umumnya. "Bukannya kamu terlalu suka bersih dan paling benci tempat ramai?" Di bawah cahaya remang bioskop, akhirnya dia tak tahan untuk bertanya. Gerakan Charlie merapikan ujung lengannya terhenti. "Kamu sudah terlalu lama terkurung, jadi aku buat pengecualian." Suaranya begitu lembut, seperti bukan Charlie. Perasaan janggal itu memuncak ketika Charlie mengantarnya pulang, lalu berkata dia harus kembali ke kantor untuk lembur. Entah apa yang menggerakkan Luna, dia langsung mencegat taksi dan mengikutinya. Di bawah langit malam, pusat perbelanjaan itu berkilau terang. Dia melihat Charlie menjemput Nadya, lalu mengulang seluruh rangkaian kegiatan siang tadi bersamanya. Restoran yang sama, bioskop yang sama, bahkan membeli gaun yang sama di toko yang sama! "Sudah lama aku nggak pulang ke negara ini, jadi semuanya terasa asing." Nadya menggandeng lengannya manja. "Untung ada kamu." Tiba-tiba dia menoleh. "Tapi aku ingat kamu dulu paling benci belanja. Lewat mal saja ingin cepat-cepat menghindar. Sekarang kok tahu restoran mana yang paling enak, kursi bioskop mana yang paling nyaman, toko mana yang paling cocok untukku? Jangan-jangan kamu diam-diam belajar dulu?" Ekspresi Charlie tetap datar, dan pria yang dulu jijik disentuh siapa pun itu kini terlihat begitu tenang menerima tas tangan yang diberikan Nadya saat dia berbalik untuk mencoba pakaian. "Ya, sudah aku pelajari." Di balik jendela etalase, dada Luna tiba-tiba bergetar hebat, seperti dihantam es tajam yang menembus jantungnya. Setiap detak rasanya menyayat hingga sulit bernapas. Ternyata, dia cuma alat untuk membuat sang cinta pertama bahagia!

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.