Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Semalaman mencari tanpa hasil membuat emosi Charlie nyaris mencapai titik batas. Hari hampir terang, seluruh vila sudah berantakan seperti habis disapu badai. Kemeja putih Charlie kusut dan menempel di tubuhnya, poni di dahinya basah oleh keringat, sementara tangan yang biasanya bersih dan rapi kini penuh noda dan bercak darah. Dia benar-benar sudah kehilangan kendali. Melangkah cepat ke kamar tidur, dia meraih gelang giok di meja rias, warisan terakhir dari nenek Luna sebelum meninggal. "Aku tanya sekali lagi ..." Suaranya serak dan pecah. "Di mana mansetku?" "Aku sudah bilang bukan aku yang ambil!" Luna menatapnya tak percaya, suaranya bergetar, matanya mulai panas. "Kembalikan gelang itu!" "Kalau kamu nggak mau mengaku, jangan harap kamu bisa menyimpan gelang ini!" "Prak!" Giok itu pecah menjadi tiga bagian, memantul dua kali di lantai. Luna jatuh berlutut, tiba-tiba tidak bisa napas. "Jadi begitu pedulinya kamu dengan barang yang dia berikan?" Suara Luna serak nyaris putus. "Sampai tega menghancurkan peninggalan nenekku?" Charlie menatapnya dingin. "Yang aku pedulikan adalah barang-barangku sudah kamu sentuh." "Itu harga yang harus kamu bayar." Hati Luna terasa seperti diremas sampai hampir pecah, namun dia mendadak tertawa. Tertawa ... sampai air mata tak bisa lagi dihentikan. "Charlie!" Dia hampir berteriak, "Apa yang benar-benar penting bagimu, hanya hatimu yang tahu!" Charlie tampak tertegun. Delapan tahun sudah, tapi ini pertama kalinya dia melihat Luna menangis. Jakunnya bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun tepat saat itu, ponselnya berbunyi. "Nadya? Apa mansetku tertinggal di tempatmu? ... Baik, aku ke sana sekarang." Setelah menutup telepon, dia menatap Luna lama dengan ekspresi rumit. "Ternyata aku salah paham." "Gelangmu ... " Dia berhenti sejenak. "Aku akan kusuruh orang untuk memperbaikinya." Dia berbalik dan pergi begitu saja, tanpa melirik sedikit pun pada gelang yang pecah di lantai. Luna berlutut, mengumpulkan sisa-sisa warisan neneknya, air matanya jatuh membasahi pecahan gelang itu. Sampai saat seperti ini pun, pria itu tetap enggan meminta maaf. Apakah dia pikir, karena dia tahu Luna terlalu mencintainya, maka apa pun akan dia maafkan? Charlie tidak mau menyentuhnya karena obsesinya pada kebersihan, dan Luna tetap mencintainya. Dia juga mengabaikan Luna demi Nadya, dan wanita itu tetap mencintainya. Sekarang dia menghancurkan warisan nenek Luna demi barang Nadya, dan Luna masih akan mencintainya. Jadi tidak ada yang perlu dia katakan. Tapi kali ini, dia salah besar! Beberapa hari berikutnya, Charlie tidak pulang. Luna pun tidak lagi peduli. Dia hanya diam-diam menyiapkan barang-barangnya. Hari demi hari berlalu, dan tibalah sehari sebelum tanggal perceraian. Tiket pesawat untuk pergi telah dia pesan, saat sebuah pesan masuk, dari Nadya. [Luna, boleh kita bicara?] Luna menatap pesan itu lama, lalu menjawab, [Boleh.] Di kafe, Nadya duduk di dekat jendela. Rambut panjangnya bergelombang, riasannya sempurna, setiap geraknya tampak anggun. Luna duduk di hadapannya dengan ekspresi tenang. Nadya mengangkat wajah sambil tersenyum lembut. "Luna, maaf mengajakmu bertemu tiba-tiba." "Ada apa?" Suara Luna datar. Nadya mengaduk kopinya perlahan, suaranya mengandung rasa bersalah. "Belakangan ini aku baru tahu ... kamu dan Charlie ternyata suami istri." Luna tersenyum tipis. "Sebentar lagi bukan kok." Nadya terlihat terkejut, lalu mengerutkan kening. "Maksudmu ... kalian mau bercerai?" "Ya. Besok surat cerainya keluar." Sebuah senyum kecil melintas di sudut bibir Nadya, namun segera dia sembunyikan. Dia menundukkan pandangannya. "Apakah karena aku?" Luna tak menjawab. Nadya menghela napas, lalu bicara seolah untuk dirinya sendiri. "Aku dan Charlie ... dulu punya hubungan yang sangat mendalam." "Waktu itu dia sangat mencintaiku." Ucapnya lembut, jarinya menyusuri tepi cangkir. "Aku manja, banyak mau, tapi dia nggak pernah marah. Selalu menuruti segalanya." "Pernah saat ulang tahunku, demi memberi kejutan, dia terbang tengah malam ke luar negeri. Pesawatnya tertunda, dan dia menunggu di bandara semalaman." "Pada hari aku minta putus, dia mabuk sampai hampir keracunan alkohol." "Setelah aku pergi ke luar negeri, dia pura-pura nggak peduli ... tapi tiap tahun dia datang diam-diam. Meminta teman membawakan hadiah untukku." Luna mendengarkan dengan tenang, jantungnya seperti robek perlahan. Jadi ...pada hari-hari dia mengira Charlie sedang dinas luar kota, sebenarnya pria itu pergi menemui Nadya. Jadi ... malam-malam dia mabuk, bukan karena pekerjaan, tapi karena perempuan itu. Jadi ... bukan dia yang tak mampu dicintai. Dulu dia pernah berpikir bahwa Charlie memang dingin sejak lahir, dan obsesinya pada kebersihan begitu parah, sampai-sampai tak mau menyentuhnya. Namun ternyata, pria itu bukan tak bisa lembut. Hanya saja sikap lembutnya tidak pernah ditujukan padanya. Nadya masih terus berbicara, suaranya penuh nostalgia. "Dia benar-benar mencintaiku. Jadi ... " "Jadi?" Luna memotong datar, menatap langsung ke matanya. "Kamu ke sini untuk pamer?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.