Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Nadya tak menyangka kedoknya terbongkar. Wajahnya seketika menegang. "Bagaimana mungkin? Aku hanya ... " "Hanya apa?" Luna mengejek dengan dingin. "Hanya ingin memberitahuku betapa dia mencintaimu, dan betapa menyedihkannya aku?" Ekspresi Nadya akhirnya berubah. "Luna, kamu salah paham." "Aku nggak salah paham." Luna berdiri, menatapnya dari atas. "Nadya, aku bercerai bukan karena kalian nggak bisa memutus hubungan, tetapi karena aku mau menjaga kebersihan mentalku." "Aku nggak bisa menerima suamiku menyimpan orang lain di hatinya." "Jadi, aku memilih membebaskannya, juga membebaskan diriku." Dia mengambil tasnya dan berbalik hendak pergi, namun begitu keluar dari pintu, Nadya tiba-tiba mengejarnya dan menariknya. "Luna, dengarkan penjelasanku ... " Luna menepis tangannya, berkata dengan nada sedingin es, "Nggak perlu." Dia baru hendak menghentikan taksi ketika sebuah mobil sedan yang hilang kendali tiba-tiba melaju ke arah mereka. Dalam sepersekian detik, Luna hanya melihat satu sosok yang sangat dia kenal berlari ke arah mereka. Charlie langsung merengkuh Nadya ke dalam pelukannya. Luna sempat merunduk menghindar, namun tetap terserempet. Tubuhnya terjatuh keras, lengan dan lututnya tersayat hingga mengeluarkan darah. Dia meringis menahan sakit dan mengerang pelan. Saat mendongak, dia melihat Charlie memeluk Nadya erat-erat, panik memeriksa apakah wanita itu terluka. "Nadya, kamu nggak apa-apa?" Dalam suaranya ada ketegangan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Wajah Nadya pucat, menggeleng pelan. "Aku ... nggak apa-apa ... " Barulah Charlie menghela napas lega, kemudian menoleh ke arah Luna. Dia sedang bertumpu ke tanah, dengan susah payah berusaha untuk berdiri. Darah menetes dari ujung jarinya. Dahi Charlie berkerut. Dia tampak hendak mengucapkan sesuatu, namun akhirnya hanya bertanya datar, "Kamu bagaimana?" Luna menatapnya, lalu tiba-tiba tersenyum. "Nggak sampai mati." Dia berbalik hendak pergi, namun Charlie tiba-tiba memanggilnya. "Aku antar ke rumah sakit." Langkahnya terhenti. Dia menjawab tanpa menoleh, "Bukankah kamu sensitif soal kebersihan?" "Aku penuh darah. Jangan sampai mengotori mobilmu." Setelah berkata demikian, dia pergi tanpa menoleh sedikit pun. Di rumah sakit, dokter membersihkan dan membalut lukanya. Saat tiba kembali di rumah, hari sudah larut malam. Ketika membuka pintu, dia sontak tertegun. Charlie ternyata ada di rumah. Dia duduk di sofa, jasnya terlipat rapi di samping, dasinya sedikit longgar, seolah sudah menunggunya lama. Mendengar suara pintu, dia mengangkat wajahnya. Pandangannya tertuju pada lengan yang terbalut perban, dan keningnya berkerut ringan. "Apa lukamu parah?" Luna tidak menjawab. Dia hanya bertanya datar, "Ada perlu apa?" Charlie terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Berikan gelang itu padaku. Aku akan mencari seseorang untuk memperbaikinya." Luna tersenyum tipis. "Nggak perlu. Aku sudah memperbaikinya." Dia tampak kaget, tidak menyangka reaksi Luna sedingin itu. "Tentang kejadian hari ini ... " Dia berhenti sebentar, seolah ingin menjelaskan. "Nggak perlu dijelaskan." Luna memotongnya. "Aku sudah nggak peduli." Charlie mengernyit. "Apa maksudmu?" Luna baru hendak menjawab ketika ponsel Charlie tiba-tiba berbunyi. Ada pesan dari Nadya. Dia langsung bangkit. "Aku pergi dulu." Luna segera menahannya. "Besok pukul sepuluh, kita bertemu di kantor hukummu. Ada barang penting yang harus kuberikan padamu." Dia menatap Luna beberapa detik, lalu mengangguk. "Baiklah." Keesokan harinya, Luna pergi ke kantor urusan sipil tepat waktu dan mengambil akta cerai. Setelah itu, dia membawa koper dan pergi ke kantor hukum Charlie. Dia duduk di ruangan kantor Charlie, menunggu dengan tenang. Pukul sepuluh ... sepuluh tiga puluh ... sebelas ... Pria itu tak kunjung datang. Dia menelepon dan mengirim pesan, semuanya tak mendapat balasan. Hingga pukul dua belas, panggilan akhirnya tersambung. "Halo?" Suara Charlie terdengar dingin dan agak tidak sabar. "Ini aku. Kamu lupa kita janjian pukul sepuluh di kantor hukummu?" ujar Luna dengan tenang. "Aku sibuk. Apa nggak bisa langsung dikatakan? Kenapa harus bertemu di kantor hukum?" Nada suaranya dingin. Luna terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku mau kasih sebuah dokumen untukmu." "Dokumen apa?" Dia baru hendak menjawab ketika suara lembut Nadya terdengar di telepon. "Charlie, aku sakit ... " Charlie langsung berkata, "Letakkan saja di kantorku. Jangan menggangguku untuk hal sepele seperti itu." Setelah mengatakan itu, dia menutup telepon tanpa ragu. Luna menggenggam ponselnya dan berdiri diam beberapa saat. Lalu, dia mengambil akta cerai milik Charlie dan surat perjanjian perceraian yang ditandatangani olehnya sendiri, lalu meletakkannya dengan rapi di atas meja kerja pria itu. "Charlie, kita sudah selesai." Dia berbalik dan pergi, tanpa pernah menoleh lagi.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.