Bab 13
"Akibat?" Merry mencibir, "Akibat apa yang lebih mengerikan daripada mengikuti para pelayan mengurus rumah setiap hari dan tunduk pada peraturan keluarga?"
"Nggak cuma harus menanggung perlakuan kasar Nenek, tapi juga harus menanggung perlakuan buruk dari pelayan. Kalau nggak menuruti keinginan Nenek, aku nggak boleh makan dan dikurung, dipukul atau dimarahi."
Merry menatap wajah tampan pria itu sebelum mengangkat sudut bibirnya membentuk cibiran.
"Kalau Nenek sedang senang, dia pasti akan bermurah hati dan memberiku sisa makanan para pelayan. Kalau nggak makan, aku sama saja dengan buang-buang makanan, wanita boros dan penjahat di mata Keluarga Wilson."
Meskipun demikian, Merry tetap bersabar dan mengira selama dia berusaha lebih keras, Nyonya Besar Nera pasti akan menyukainya.
Namun fakta menunjukkan kalau itu hanya membuat Nyonya Besar Nera semakin semena-mena.
Shayne tercengang.
Dalam sebulan, dia memang jarang pulang. Kalaupun pulang, itu juga hanya untuk utusan bisnis, lalu segera pergi lagi.
Dia tidak tahu bagaimana neneknya memperlakukan Merry.
Merry berdiri berjinjit, mendekatkan wajahnya yang cantik ke telinga pria itu dan napasnya harum.
"Di Keluarga Wilson, status istrimu jauh lebih rendah dari seorang babu. Kalau kamu jadi aku, akankah kamu minta maaf?"
Merry baru saja mandi dan belum sempat mengeringkan rambut.
Aroma harum samar tercium di sela-sela napasnya.
Saat ini sorot mata wanita itu sangat tajam, penuh ancaman dan memesona.
Sorot mata Shayne yang dalam tiba-tiba menjadi muram.
Inikah Merry yang dia benci hanya dengan sekali pandang?
Harus diakui kalau sekarang Merry berhasil membangkitkan minatnya.
"Ini tujuanmu?" Shayne mencubit rahang mungil Merry yang lembut, wajah yang tampan menempel di pipinya sebelum berkata dengan suara rendah dan serak. "Mau merayuku?"
Lagi pula mereka sudah menikah selama tiga tahun, jadi mana mungkin Merry tidak bisa melihat gairah yang terpancar di mata pria itu?
"Kalau nggak bisa kendalikan selangkanganmu, jangan selalu salahkan wanita. Itu buat orang merasa nggak jantan."
Sepasang mata hitam pekat pria itu menyipit dan aura mengancam mulai menyebar.
Shayne mengangkat bibir tipisnya membentuk tersenyum.
"Kamu sengaja bilang aku impoten di depan Nenek, itukah caramu untuk memprovokasiku?"
Tiba-tiba Shayne mendorongnya ke dinding dan menatap wajah wanita yang mulus dan cantik itu.
"Kalau ini tujuanmu ... Merry, kamu berhasil."
Dia menundukkan kepala dan hendak menciumnya.
Pupil mata Merry menyusut dan ciuman itu mendarat di wajah Merry.
Shayne terdiam, sepasang mata gelap yang dalam itu terlihat sinis.
"Siang tadi bilang aku impoten, terus malamnya sengaja menolakku .... Merry, belum puas mengacau?"
Kedua orang itu terlalu dekat, postur tubuh mereka terlihat intim dan bahkan bisa merasakan napas satu sama lain.
Kalau ini terjadi sebelumnya, Merry pasti akan sangat kegirangan.
Karena setiap kali Shayne tidur dengannya, dia selalu begitu cuek tanpa ada keintiman yang berlebihan.
Namun sekarang Merry merasa sangat jijik.
Tatapan Merry dingin. "Aku sudah membuat nenekmu marah sampai berakhir di rumah sakit dan kamu masih ingin melakukan ini padaku? Kalau Nyonya Besar Nera tahu, mungkin dia akan pingsan karena marah lagi, 'kan?"
Sebelum Shayne bisa berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering.
Shayne mengeluarkan ponsel dan melihat nama yang tertera di layar, matanya berkilat.
Merry meliriknya dan tersenyum sinis.
Shayne menyadari sindiran di mata wanita itu dan tatapannya menjadi muram.
Dia melepaskan Merry dan menjawab telepon.
"Shayne, sekarang kamu di mana?" Suara lembut Sofie terdengar dari ujung telepon.
Suara Shayne dingin. "Ada apa?"
"Nenek baru saja bangun, tapi dia sangat gelisah .... Aku dan Franciska nggak bisa membujuknya, lebih baik kamu datang dan lihat sendiri. Aku takut sesuatu terjadi pada Nenek."
"Oke."
Setelah mengakhiri panggilan, Shayne menatap Merry.
"Merry, kalau aku tahu semua yang kamu katakan itu bohong, aku nggak akan pernah mengampunimu."
Saat ini gairah di mata pria itu telah memudar dan menunjukkan tatapan dingin serta acuh tak acuh seperti biasanya.
Wajah Merry dihiasi senyuman, disertai rasa percaya diri yang tidak tergoyahkan.
"Nggak mengampuniku, terus apa yang akan kamu lakukan? Kedua pelayan itu yang menyerangku dulu, aku cuma membela diri. Kalau mau panggil polisi untuk menangkapku, takutnya kamu akan kecewa."
"Oh ya, seharusnya Franciska merekam videonya, 'kan? Kalau dia memotong bagian awal dan akhir, mengunggahnya ke internet dan memanfaatkan opini publik untuk menyerangku, aku nggak keberatan mengunggah semua penderitaan yang kualami di rumah Keluarga Wilson ke internet."
"Semua orang pasti sangat penasaran dengan kehidupan sehari-hari menikah dengan keluarga kaya, 'kan?"
Keluarga Wilson memiliki sistem pengawasan. Selama Shayne mau menyelidiki, dia bisa mengetahui apa saja.
Namun Shayne tidak pernah peduli pada Merry dan tidak pernah menanyakan urusannya.
Shayne menatapnya lekat-lekat sebelum akhirnya pergi begitu saja.
...
Mungkin setelah mengetahui ucapannya benar, Shayne tidak pernah menghubungi Merry lagi.
Masalah ini seolah telah berakhir.
Hari itu, Merry menerima telepon dari Kevin.
"Merry, kamu pasti sudah selesai membaca semua dokumen serah terima, 'kan? Aku berencana mengumumkan pengangkatanmu besok."
Merry menghentikan gerakannya membolak-balik dokumen. "... Secepat itu?"
"Bukankah lebih cepat lebih baik? Bereskan proyek ini sebelum bercerai, jadi kamu dan Shayne nggak akan ada hubungan lagi. Masa kamu masih ingin terus berurusan dengannya?"
Merry tahu ini hanyalah alasan Kevin untuk bermalas-malasan.
Dia tidak mengungkapkannya, hanya berkata, "Oke."
"Oh ya," kata Kevin. "Beberapa hari yang lalu, nenek Shayne menindasmu lagi?"
Merry berkata dengan tenang, "Aku sudah mengurusnya."
"Kudengar neneknya selalu membencimu karena nggak punya status dan menganggapmu nggak pantas untuk Shayne? Selalu mengkritikmu di depan umum?"
Merry terdiam sejenak. "Semua itu sudah berlalu."
Kevin berkata, "Merry, aku nggak akan membiarkanmu menderita dengan sia-sia."
Merry tidak terlalu memusingkannya dan hanya berkata, "Kita bahas lagi setelah cerai."
Setelah mengakhiri panggilan, Kevin berkata kepada asistennya, "Periksa rincian perjamuan besok, pastikan undangan langsung diserahkan kepada Nyonya Besar Nera dan Shayne, mengerti?"
Asisten itu menjawab dan bertanya dengan ragu, "Pak Kevin, besok kamu ingin mengungkapkan status Nona Merry?"
Kevin tersenyum dan berkata, "Merry sudah lama menanggung begitu banyak penderitaan di rumah Keluarga Wilson, semua cuma karena Keluarga Wilson menganggap Merry nggak punya status atau latar belakang dan nggak punya dukungan dari keluarga asal, makanya mereka berani memperlakukan Merry dengan semena-mena"
"Karena Merry sudah memutuskan untuk menceraikan Shayne, dia nggak perlu lagi memberi Keluarga Wilson muka."
Asisten itu mengangguk. "Benar, selama ini Nona Merry sangat rendah hati. Sudah waktunya memberi pelajaran pada orang-orang yang keterlaluan itu!"