Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Entah berapa lama waktu berlalu, akhirnya Merry terbangun dari pingsannya. Ada rasa sakit yang menusuk dari bagian bawah perut seolah ada sesuatu yang penting akan hilang dari hidupnya. Bau darah menyebar dan darah mengalir dari tubuh. Merry tiba-tiba menyadari sesuatu dan rasa panik mulai melanda. "Anak ... anakku ...." Di saat kritis seperti itu, hal pertama yang Merry pikirkan adalah menelepon orang yang paling dia cintai. Dia merangkak ke ponsel yang tergeletak di samping dengan susah payah menghubungi nomor Shayne dengan tangan gemetar. "Tut, tut, tut ...." Setelah menunggu lama, akhirnya panggilan itu tersambung. Sebelum Merry sempat meminta tolong, dia mendengar suara wanita yang menawan dan intim dari ujung telepon. "Shayne, aku nggak tahan lagi ...." Pikiran Merry menjadi kosong. Rasa sakit yang menyayat hati hampir menguasainya. Dia bisa mendengar suara mengerang seorang wanita. Keringat membasahi seluruh tubuh dan masuk ke dalam mata, membuat matanya terasa perih hingga akhirnya menangis. Merry tidak tahu apakah itu rasa sakit dari tubuh atau hati. Pandangan Merry menjadi gelap dan Merry pingsan lagi. ... "Pasien mengalami pendarahan hebat dan butuh darah segera, cepat ambil darah!" "Pasien ini punya golongan darah langka. Persediaan di bank darah sudah menipis dan baru saja diambil oleh seorang wanita bernama Sofie ... bagaimana ini? Sisa darahnya nggak cukup untuk menyelamatkan pasien ini." "Dipindahkan? Bukannya sudah kusuruh kamu untuk ajukan permohonan dulu saat pasien ini tiba di rumah sakit? Kok bisa dipindahkan?" "Rumah sakit ini milik Grup Wilson, Nona Sofie itu adalah pacar Shayne si CEO Grup Wilson ... siapa yang berani berebut dengannya?" "Aduh, cuma beda sedikit waktu, kasihan sekali ... hubungi keluarganya dulu, tanya dia punya keluarga atau nggak, lalu suruh mereka datang untuk donor darah." "Tapi cuma ada tiga kontak di ponsel wanita ini ... tidak ada satu pun yang bermarga Santika." "Hubungi ketiga nomor itu dulu dan lihat situasinya." ... Bau disinfektan yang menyengat masih tercium. Bulu mata Merry bergerak dan dia membuka matanya perlahan. "Sudah bangun?" Suara pria yang rendah dan memikat terdengar. Merry mendongak, melihat wajah tampan yang ramah dan tidak asing. Dia tertegun sejenak, lalu tanpa sadar berkata, "Kak, kok kamu datang?" Kevin menunduk untuk menatap wajah pucat wanita itu sebelum mendengus. "Kamu menelantarkan harta triliunan, nggak mau jadi putri kaya dan malah mengejar cinta sejati. Terus hasilnya? Hampir mati di meja operasi." Merry terdiam. Kevin adalah saudara kandung Merry. Marga mereka berbeda karena yang satu menggunakan marga ayah, sementara yang lain menggunakan marga ibu. Merry tidak tahu apakah dia benar-benar sekarat. Meskipun kemarin pingsan, kesadarannya masih sangat jernih. Merry mendengar percakapan para dokter dengan jelas. Merry tiba-tiba menatap Kevin seolah teringat sesuatu. "Kak, bagaimana dengan anakku?" Mata Kevin berkilat. "Kamu kehilangan terlalu banyak darah, nyawamu berhasil diselamatkan dengan susah payah, tapi anak itu ... sudah tiada." Wajah Merry pucat pasi dan tanpa sadar menyentuh bagian bawah perutnya. Semua organ dalam terasa seperti bercampur aduk, rasa sakit itu begitu luar biasa. "Anakku sudah tiada?" Air mata mulai mengalir saat Merry bergumam, "Lebih baik begitu ... jadi dia nggak perlu menderita bersama ibu yang nggak dicintai ini." Kevin terdiam selama beberapa detik sebelum berkata, "Merry, pulanglah. Selama ini Ayah dan Ibu sangat merindukanmu." Dulu Merry berselisih dengan keluarga demi bisa bersama Shayne, melepaskan statusnya sebagai putri Keluarga Santika dan bersikeras menikahi Shayne agar bisa menjadi ibu serta istri yang baik. Namun tidak hanya tidak mendapatkan cinta Shayne, Merry juga menanggung banyak penderitaan di rumah Keluarga Wilson selama bertahun-tahun demi pria itu. Sekarang Merry tidak hanya kehilangan anak, tetapi juga hampir kehilangan nyawanya. Saat itu Merry merasa seperti disiram oleh sebaskom air dingin dan seketika langsung sadar. Benar. Setelah menikah dengan Shayne selama bertahun-tahun, apa yang dia harapkan? Berharap Shayne yang telah menyukai orang lain akan lebih perhatian padanya? Atau berharap Keluarga Wilson terus menyiksanya dan membuatnya tunduk kepada mereka? "Kak, maafkan aku." Mata Merry memerah dan akhirnya menyesali keputusan cerobohnya. Kevin tersenyum dan berkata, "Sekarang belum terlambat untuk pulang." Dari Kevin, Merry mengetahui kalau dia ditemukan oleh para pelayan dan dilarikan ke rumah sakit. Kalau terlambat lebih lama, mungkin Merry benar-benar sudah mati. ... Seminggu kemudian, Merry keluar dari rumah sakit. Dia telah menyuruh Kevin untuk menyusun surat cerai dan tidak menginginkan sepeser pun dari harta Shayne. Keluarga Santika sangat kaya. Jangankan Kevin, Merry sendiri tidak peduli dengan uang yang sedikit itu. Kevin pergi membantunya mengurus proses perceraian. Merry mengemasi barang-barang pribadi sebelum turun ke bawah untuk pergi. Tiba-tiba terdengar suara lembut. "Hei? Merry, kok kamu ada di sini?" Merry meliriknya dan berkata, "Ini bukan urusan Nona Sofie, 'kan?" Orang yang datang tidak lain adalah cinta pertama Shayne, Sofie. Saat ini Sofie mengenakan gaun putih salju yang membuatnya terlihat lemah lembut dan menyedihkan. Sofie menghampiri Merry dan berkata sambil tersenyum, "Minggu lalu aku nggak sengaja melukai jariku dan berdarah. Shayne khawatir aku akan mengalami infeksi, jadi dia memaksaku untuk periksa di rumah sakit." Sofie terkekeh sambil menutup mulutnya. "Shayne tahu aku punya kondisi fisik istimewa, darahku pasti akan terus mengalir begitu terluka. Khawatir aku akan kehabisan darah, dia pun sampai menyiapkan kantong darah dulu ...." "Tapi dia itu terlalu khawatir. Cuma jari terluka, ngapain sampai harus transfusi darah?" Setiap kata yang Sofie katakan bagaikan duri tajam yang menikam hati Merry dan membuatnya kesulitan bernapas. Dia hampir mati karena kehabisan darah. Shayne langsung mengambil darah sebagai cadangan hanya karena jari Sofie terluka? Mata Merry berkilat. "Terus Nona Sofie nggak menerima transfusi darah?" Sofie tersenyum malu-malu, tetapi suaranya agak menantang. "Tentu saja nggak, Shayne terlalu mengkhawatirkanku." Kini kekecewaan itu semakin besar. Sekalipun sudah menyerah pada Shayne, Merry masih merasa sesak napas begitu mendengar ucapan Sofie. "Sepertinya Nona Sofie sangat bangga?" Merry berkata dengan acuh tak acuh, "Ini pertama kalinya aku melihat seseorang begitu bangga dan sombong menjadi selingkuhan." Sofie tertegun sejenak, tidak bisa percaya kata-kata ini dilontarkan Merry yang biasanya penurut. Saat ini suara rendah dan dingin seorang pria terdengar dari belakang. "Merry, ngapain di sini?" Kemudian, sosok yang tinggi dan ramping perlahan muncul di depan. Alis pria tampan itu berkerut. Saat melihat Merry, bibir tipisnya yang indah itu mengerut dan wajah tampan itu terlihat sangat dingin.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.