Little WifeLittle Wife
Oleh: Webfic

Pingsan

“SAH.” Itulah kata yang seorang Daniel Tanza Wiraatmadja dengar untuk pertama kali dari bangun tidurnya hari ini. Tidak banyak orang yang hadir di acara pernikahannya itu. Ya, sebuah pernikahan dadakan yang mau tak mau harus dilaluinya. Sekilas, Daniel menatap kepada gadis remaja yang kini telah resmi menjadi istrinya. Tidak ada senyum yang terbit dari bibirnya seperti biasa. Biasanya, di hari minggu begini, ia masih molor sampai siang. Maklumlah, dia adalah orang sibuk. Hari minggu adalah surga bagi dirinya. Namun, kali ini berubah menjadi minggu neraka. “Selamat ya, atas pernikahan kalian.” Calisa memeluk keduanya. Dicky yang masih terbaring lemah juga tersenyum senang. Dia merasa bahagia sekali karena melihat anak sulungnya sudah menikah. Walau ada perasaan tidak rela di relung hatinya. “Daniel, sekarang kamu sudah resmi menjadi suami Lita dan mantuku,” ujar Dicky pelan. “Iya, Pak dokter.” Daniel memaksakan senyumnya. Hati nuraninya kali ini masih bisa bekerja dengan baik. Ia tidak mungkin marah kepada Dicky yang sedang sakit parah. Selain itu, kedua orang yang telah resmi menjadi mertuanya adalah orang yang paling berjasa dan penting dihidupnya selain orang tua dan bundanya itu. “Lita, salam suamimu sayang,” suruh Calisa yang sedikit gemas dengan putri cantiknya itu. “I-ya, Ma.” Tangan Lita sedikit bergetar. Sebenarnya ini bukan pertama kali baginya menyentuh tangan pria tampan yang sudah menjadi suaminya itu. Hanya saja, Lita sedikit takut. Ia tahu jika Daniel yang selalu dipanggil om olehnya terlihat menahan amarah. ‘Maafin Lita, Om.’ Lita menyalam tangan sang suami. “Kakak.” Semua orang menoleh ke seorang remaja berseragam SMP itu. Senyum Lita mengembang sempurna tatkala melihat adik semata wayangnya. “Tanza.” Remaja yang dipanggil Tanza itu langsung berhambur ke pelukan Lita, kakaknya. “Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Lita lembut. Tanza melepaskan pelukannya dan menatap semua orang yang ada di sana. Tatapannya mengarah ke sosok Daniel. ‘Cih! Aku tidak rela kakakku yang baik ini mendapatkan suami tua dan bejat seperti dia!’ Menatap tajam Daniel. Daniel hanya memutar bola matanya malas. Dirinya tahu jika selama ini Tanza tak pernah menyukainya. Remaja itu selalu terang-terangan mencari ribut kepadanya. ‘Bocah sialan!’ umpat Daniel dalam hati. Tatapan Tanza sangat menganggunya dan sedikit mengintimidasi dirinya. Jika saja tidak ada Dicky dan Calisa di sini. Mungkin, keduanya sudah adu jotos seperti biasa. “Kakak tidak mungkin menikah dengannya kan?” tanya Tanza tiba-tiba. “Dia sekarang kakak iparmu,” jawab Calisa menghampiri sang putra. “Tidak! Tidak mungkin! Mama pasti bercanda kan?” “Mama tidak bercanda.” Tanza mengepalkan tangannya. Ia menatap benci ke arah Daniel. “Kalian egois!!” Tanza langsung pergi dari tempat itu. “Tanza!!” Lita berusaha mengejar adiknya namun, ditahan oleh sang Mama. “Sudahlah. Lama-lama dia juga pasti bisa menerima kok.” Calisa menenangkan anaknya itu. “Daniel, Lita. Kemarilah,” pinta Dicky. Keduanya pun berjalan ke arah Dicky yang tersenyum lemah. Wajah pria itu terlihat begitu pucat bak mayat. “Ada apa Pak dokter?” “Daniel, panggil aku Papa mulai sekarang.” Daniel menggaruk tengkuknya. Panggilan itu sudah melekat dilidahnya selama berpuluh tahun lamanya. Ia merasa sedikit geli dengan panggilan yang diminta oleh Dicky. “Iya. Pa-pa.” Senyum Dicky semakin mengembang. Dia mengambil sesuatu dari dalam laci. “Ini untuk kalian.” Menyerahkan sebuah kunci kepada Daniel. Alis Daniel langsung berkerut. “Apa ini?” “Itu rumah untuk kalian berdua dari kami sebagai hadiah pernikahan. Rumah itu rencananya kami berikan kepada Lita untuk kado ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun bulan depan,” jelas Calisa yang saat ini tengah berdiri di samping mereka. “Tidak usah Kak.” “Kak?” Menatap Daniel tajam. “Eh, maksud Daniel Mama.” Senyum mengembang di wajah Calisa yang masih saja cantik di umur yang sudah tidak muda lagi. Lita hanya diam dan terus menunduk. Dengan susah payah, ia menahan tangisnya yang seakan mau pecah. Lita yang memang sosok pendiam dan pemalu. Dirinya kurang pandai bersosialisasi dengan orang baru. Dengan Daniel saja yang sudah mengenalnya dari bayi masih sedikit asing baginya. Selama ini, yang benar-benar bisa mengajaknya bicara adalah Tanza seorang. “Kalian pulanglah ke rumah baru sekarang. Untuk barang-barang, kalian jangan khawatir. Karena semua sudah tersedia di sana. Besok saja, mengambil barang-barang lama kalian yang tertinggal di rumah masing-masing.” Calisa menatap keduanya lekat. “Ma, boleh tidak jika Lita tidak ikut Om Daniel,” cicit Lita. Ia sedikit takut. Dan jujur tinggal bersama Daniel pasti tidak akan membuat hidupnya nyaman dan tentram seperti biasa. “Tidak boleh sayang. Kamu itu istrinya. Jadi, kemanapun suamimu pergi. Kamu harus ikut dengannya.” Calisa mengelus rambut anaknya. Sejujurnya, Calisa juga begitu berat melepaskan putrinya itu di usia yang terbilang begitu muda. Namun, semua ini harus dilakukannya secepat mungkin. Jika tidak, Daniel akan mendapat masalah. Calisa tidak mau jika sampai Daniel yang paling disayanginya itu kenapa-kenapa. ‘Lebih baik aku menurut saja. Tubuhku juga butuh istirahat. Ini bahkan baru jam sembilan pagi.’ *** Dicky menatap sang istri intens. “Sayang, aku takut Lita akan terpuruk,” cicit Dicky. “Tidak. Dia tidak mungkin terpuruk.” “Bagaimana jika dia sudah punya seorang kekasih?” Calisa tersenyum dan menggenggam tangan sang suami erat. “Percayalah, jika Lita anak kita menyukai Daniel sedari dulu.” “Benarkah? Bagaimana kamu tahu?” “Aku ini Mamanya. Jelas, aku sangat tahu sekali. Ya, walaupun dia tidak pernah berbicara lama kepadaku. Anakku itu begitu pendiam dan pemalu.” “Iya. Kedua anak kita sifatnya begitu bertolak belakang.” Dickky mengangguk kecil membenarkan. ‘Mereka meniru sifat kita berdua. Lita sangat mirip denganmu atau mungkin lebih parah. Sedangkan Tanza mirip denganku.’ Di lain sisi. Daniel langsung membaringkan tubuhnya itu. Sedangkan Lita hanya berdiri saja dan terus menundukkan kepalanya. “Lita, tidurlah juga bersamaku di sini?” Menepuk-nepuk tempat di sampingnya. “Ti-dur ber-sa-ma?” ucap Lita terbata-bata. Sekujur tubuhnya sudah mulai berkeringat. Seumur-umur, ia tidak pernah tidur dengan siapa pun termasuk adik dan orang tuanya. Dan sekarang dirinya di suruh untuk tidur dengan orang yang selalu saja bisa membuat jantungnya berdetak begitu kencang? Membayangkannya saja, membuat seorang Lita hampir pingsan rasanya. “Iya. Hanya tidur saja, tidak lebih. Aku tahu jika kamu pasti capek menempuh perjalanan tiga jam dari rumah sakit ke sini.” Tidak ada jawaban dari Lita. Gadis itu bahkan tidak berkutik dari posisinya sekarang. ‘Astaga, gadis ini.’ Daniel langsung bangkit dari tidurnya. Langkahnya menuju Lita yang berdiri tak jauh darinya. “Ayo.” Daniel menarik tangan Lita. ‘Ya Tuhan! Kenapa tangannya bisa sedingin ini? Apa dia ketakutan? Atau sakit?’ “Lalita Andrea, kamu kenapa?” tanya Daniel sedikit takut. Baru lagi ingin menjawab, Lita langsung pingsan begitu saja. “LALITA!” Daniel melotot sempurna.
Bab Sebelumnya
1/101Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.

Aturan penggunaanKebijakan pribadi