Bab 10 Bayi Celaka
Karena kehujanan dan masuk angin, Jessy sudah tiga hari tidak melihat bayinya.
Bi Hesti membawanya ke kamar pembantu, melarangnya tidur bersama bayi, tentu saja juga tidak boleh menyusui.
Berbagai merek susu formula kelas atas pun tidak mampu memuaskan perut bayi itu. Setiap hari Jessy bisa mendengar tangisan bayi: lemah, terputus-putus tersedu, hingga membuat hatinya hancur.
Dirinya tahu ini adalah hukuman dari Ferdy. Sejak Ferdy menabrak mobil Bani di depan penjara, dirinya tak lagi berbicara dengan Jessy.
Tangisan bayi itu masih terdengar. Suara kecil yang lemah itu bagai pisau yang berulang-ulang mengorek hatinya.
Jessy menarik tangan Bi Hesti, menyerahkan botol susu yang masih hangat oleh suhu tubuh. "Tolong, beri ini pada bayi, dia sudah begitu lapar sampai menangis pun tak bertenaga."
Bi Hesti tentu tidak mau melakukannya; dirinya mendorong Jessy. "Cepat sembuhkan penyakitmu. Bayinya ada Nyonya Muda dan Nyonya Besar, nggak perlu kamu urus."
Jessy memegang tangan pelayan itu dan memohon dengan putus asa, "Bi Hesti, kumohon, bayinya nggak mau minum susu formula. Masa dibiarkan kelaparan begini? Aku nggak minum obat, hanya minum air jahe, dan aku mandi bersih dari ujung rambut sampai kaki. Aku jamin ASI nggak ada masalah. Bayinya masih terlalu kecil, kalau begini terus pasti terjadi sesuatu."
Air matanya akhirnya meluluhkan Bi Hesti. Akhirnya sang pelayan menerima botol susu itu, tetapi tetap memperingatkan dengan sikap dingin, "Kalau terjadi apa pun, kamu yang bertanggung jawab."
Jessy mengangguk keras. Itu anaknya, tentu dirinya harus bertanggung jawab.
Tangisan bayi akhirnya berhenti. Jessy bersembunyi di luar jendela melihat bayi mengisap dot dan menelan dengan lahap. Sesekali bayi itu mengeluarkan suara kecil seperti anak kucing, membuat hati sang ibu hampir meleleh.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Suara dingin terdengar di belakangnya. Jessy terkejut hingga tubuhnya bergetar. Dirinya menoleh dan bertemu dengan sepasang mata Ferdy yang dingin setajam bilah pisau.
Dengan terbata-bata dirinya menjelaskan, "Aku, aku melihat bayi."
Tatapan Ferdy jatuh ke bawah tulang selangka putihnya. Tubuhnya yang tinggi besar melangkah melewati Jessy. "Sebelum sembuh, jauhi anakku. Dan lagi, anakku juga nggak membutuhkan ibu yang cabul. Jangan sembarangan memberi alat makannya kepada pria lain."
"Kamu ...." Jessy begitu marah hingga wajahnya berubah dari pucat ke merah lalu kembali pucat. Alat makan anaknya hanya pernah direbut Ferdy, tetapi dirinya justru berkata sekejam itu.
Usai berkata, Ferdy pergi. Tujuan kedatangannya tadi sebelum berangkat kerja adalah untuk melihat bayi.
Jessy enggan pergi, tetapi saat menatap bayi, dirinya tidak tahu ada orang lain yang juga menatapnya.
Sudut bibir Arselina terangkat, tetapi senyum itu mengerikan seperti kilau dingin di ujung pisau.
Tak sampai satu jam setelah diberi ASI, kamar Jessy tiba-tiba diterobos sekelompok orang. Bu Rosa memerintah para pengawal, "Ikat pembunuh yang telah mencelakai cucuku ini."
Jessy tak mengerti apa yang hendak dilakukan lagi, tetapi kata "mati" membuatnya sangat peka. Sambil meronta dirinya berteriak, "Ada apa? Bayinya kenapa?"
Bu Rosa dengan memakai sepatu hak runcing menendang perut bawahnya, lalu berkata dengan penuh kebencian, "Perempuan jalang, apa yang kamu berikan pada Nino?"
Menahan sakit, Jessy menjelaskan dengan keras, "Nggak ada apa-apa, itu hanya ASI-ku. Bayi nggak mau minum susu formula, jadi aku memerahkannya ke botol ...."
Saat itu juga, Bi Hesti masuk tergesa sambil menggendong bayi. "Nyonya, Tuan Muda kecil sudah nggak bernapas."
Melihat bayi berbusa di mulut, Jessy melepaskan diri dari dua pria besar dan menerjang untuk merebutnya.
Tubuh bayi yang kecil kaku, pipi putihnya berubah kebiruan, mulut kecil yang tadi masih kuat minum susu kini mengeluarkan busa bercampur darah.
"Nggaaakkk!" Jessy berteriak histeris, menggendong bayinya, lalu berlari ke luar.
Rosa berteriak, "Hentikan dia, rebut kembali anakku."
Beberapa pria dan wanita serentak menyerbu. Jessy ditekan kuat ke lantai, bayi itu pun dirampas kembali ke pelukan Bu Rosa.
Sambil menangis Jessy berteriak, "Tolong, kumohon, cepat bawa bayi ini ke rumah sakit, kumohon."
Kata-katanya menyadarkan Bu Rosa, dirinya segera berteriak, "Panggil sopir, siapkan mobil ke rumah sakit, cepat, hubungi Ferdy."
"Nyonya, lalu perempuan ini?"
"Kurung dulu dia, tunggu Ferdy pulang untuk menanganinya!"
Jessy dikurung di ruang bawah tanah rumah Keluarga Hasana. Dirinya meringkuk di sudut dengan mata kosong, mulutnya terus menggumam, "Bayi, bayiku, bayi."
Menjelang tengah malam, tiba-tiba ada sedikit cahaya di luar, lalu pintu ruang bawah tanah ditendang keras hingga terbuka.
Jantung Jessy bergetar, dirinya mengangkat kepala.
Lingkar cahaya perlahan melebar, wajah Ferdy yang tampan tiada banding perlahan-lahan menjadi jelas di matanya.
Tatapan pria itu hitam pekat, dalam tak berdasar. Sudut bibirnya menegang, tersirat emosi yang tak terjelaskan. Selangkah demi selangkah si pria berjalan menghampirinya ....