Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 9 Pak Brianto

Dengan menahan amarah, Jessy meloncat turun dari mobil. Belum sempat dirinya berdiri tegak, mobil Ferdy sudah meraung menginjak gas dan melesat pergi, hampir membuat Jessy terhuyung. Jessy menggigit bibir dan berjalan cepat, tetapi melihat jalan pegunungan yang berkelok-kelok, barulah menyadari betapa bodoh dirinya. Di tempat ini mustahil menyetop taksi, apalagi bus. Tak ada pilihan, dirinya hanya bisa berjalan selangkah demi selangkah menuruni gunung dan melewati pepohonan di tepi jalan rimbun. Sementara itu, kendaraan yang lewat sangat jarang, terasa sangat menyeramkan. Sekitar lebih dari 20 menit kemudian barulah dirinya turun gunung. Selama itu langit menggelap, tampaknya akan turun hujan. Jessy mengira di kaki gunung akan lebih mudah mencari kendaraan, tetapi keadaannya justru lebih buruk. Awan gelap menekan dari atas, guntur bergemuruh, hujan deras datang dengan sangat cepat. Jessy menggenggam kepalanya dan berdiri di bawah tirai langit yang hitam. Di dunia yang begitu ramai ini seolah hanya tersisa dirinya seorang, sendirian dan kehujanan, sendirian tersesat, sendirian tak tahu di mana rumahnya. Sebuah Porsche putih berhenti di depannya. Seorang pria bertubuh tinggi turun sambil memayungi dirinya. "Jessy, benar-benar kamu, cepat naik ke mobil!" Jessy menengadah dengan wajah kecil yang basah, mengedipkan mata kuat-kuat barulah dirinya melihat jelas wajah pria itu. "Pak Bani, bagaimana bisa Anda ada di sini?" Bani memeluknya ke dalam pelukan. "Aku datang menjenguk teman. Jessy, urusan keluargamu sudah kudengar, kenapa kamu nggak mencariku?" Jessy merasa sangat lelah, membiarkan dirinya bersandar di bahu Bani. "Pak Bani, aku kedinginan, bolehkah kita naik ke mobil dulu baru bicara?" Bani segera membukakan pintu mobil. "Baik, naik dulu." Jessy tidak menoleh. Dirinya tidak melihat sebuah mobil bisnis di belakang yang lampunya terus berkedip di tengah rapatnya garis hujan. Hujan terlalu deras, Bani memarkir mobil di pinggir jalan. Ketenangan di dalam mobil dan hiruk-pikuk di luar membentuk ritme yang berbeda. Bani mengambilkan handuk bersih untuk Jessy, mata dalamnya tertuju pada wanita itu. Kemeja putih menempel seperti selembar kertas pada tubuh Jessy yang muda dan berisi, naik turun mengikuti napasnya. Jakun Bani bergerak naik turun, dirinya menarik celana yang menegang dengan tangannya. Jessy sama sekali tidak menyadari bahaya. Bani adalah orang yang paling dirinya kagumi, idola masa remajanya, perancang busana internasional ternama, sekaligus guru yang pernah dicintainya diam-diam. "Pak Bani, terima kasih." Bani menerima handuk itu, tanpa sadar menyeka wajahnya sendiri. Aroma samar yang bercampur wangi susu memenuhi indra penciumannya, dengan kuat merangsang sarafnya. Setahun tak bertemu, dirinya menyadari gadis kecil yang dulu polos itu kini telah tumbuh, memiliki pesona perempuan dewasa, berpadu dengan wajahnya yang manis dan cantik, sungguh memikat. Dia meminum seteguk air, merasakan cairan sejuk yang melewati tenggorokan, barulah ketegangan itu terasa reda. Si pria bertanya, "Menjenguk kakakmu?" Jessy mengangguk. "Hmm." "Setahun ini kamu ke mana? Kenapa nggak kembali ke sekolah dan juga nggak ke studioku?" Jessy merasa telah mengecewakan Bani yang selama itu membimbingnya, tetapi tetap harus berbohong, "Setelah terjadi masalah di rumah, aku pergi untuk sementara waktu." "Keluargamu ... lalu apa rencanamu ke depan? Jessy, kembali dan lanjutkan sekolah. Ke depannya biar aku yang menjagamu." Jessy segera menggeleng. "Pak Bani, terima kasih. Untuk sementara aku nggak akan kembali bersekolah, aku masih punya urusan pribadi." Bani merasa tak berdaya. "Baiklah, aku akan menunggumu. Oh ya, sekarang kamu tinggal di mana?" "Aku ... tinggal di Vila Anggrek Indah." "Vila Anggrek Indah? Keluarga Hasana? Jessy, kamu ...." Jessy takut dipandang rendah olehnya, segera berkata, "Aku bekerja di sana." Barulah Bani merasa lega. "Berhenti dari pekerjaan itu, aku akan mencarikan tempat tinggal untukmu. Bagaimanapun kamu juga seorang putri keluarga terpandang, bagaimana bisa bekerja sebagai pembantu orang." "Nggak perlu, Pak Bani." Jessy menolak, tetapi tanpa sengaja menyenggol ponsel Bani hingga jatuh ke lantai. Keduanya bersamaan menunduk mengambilnya, tangan mereka bersentuhan, sensasi licin itu menghancurkan kendali Bani. Dirinya membungkuk dan menunduk, hendak mencium bibir Jessy yang bak kelopak bunga .... Brak! Suara benturan besar meledak seperti guntur di telinga. Tubuh Jessy bergoyang, lalu dirinya melihat Bani menindihnya, darah mengalir dari dahinya. "Pak Bani, Pak Bani!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.