Bab 5 Duduklah di Kursi Penumpang Depan
Arselina berpura-pura hendak menggendong anak itu. Karena jatuh tadi membuat Jessy ketakutan, dirinya merasa Arselina ingin mencelakai anaknya.
"Kembalikan anakku!" teriaknya sambil menerjang.
Arselina menjerit, "Bu, dia mau merebut anak!"
Rosa mengulurkan tangan mendorong Jessy. Mungkin karena naluri melindungi anaknya, seseorang yang sebenarnya tak bertenaga itu justru mendorong Bu Rosa hingga terhempas.
Dahi Bu Rosa membentur sudut meja, membuatnya berteriak kesakitan, sekaligus merasakan cairan hangat mengalir ke matanya. Bu Rosa menyentuhnya, merasakan darah mengalir.
"Bu, kamu berdarah. Bu, aku antar ke rumah sakit. Bu, bertahanlah."
Arselina pun tak sempat mengurusi anak. Sambil menopang Bu Rosa, dirinya bergegas keluar sambil berjalan berteriak memanggil sopir untuk membantu.
Jessy segera mengangkat anaknya. Tadi anak itu jatuh hingga seperti tak bernapas, baru sekarang siuman. Mulut kecilnya membiru, menangis lemah.
Sambil menangis Jessy mendekatkan wajahnya ke wajah anak itu dan mengusapnya pelan. Masih merasa tak tenang, Jessy keluar naik taksi ke rumah sakit.
Anaknya tak apa-apa, justru dirinya sendiri terkilir di pergelangan kaki karena tergesa dan tegang. Saat mengambil obat, dia melihat Arselina. Awalnya dirinya ingin meminta maaf pada Bu Rosa, tetapi takut melibatkan anaknya, Jessy diam-diam pulang.
Bi Susi yang baru pulang belanja melihat rumah berantakan dan tertegun. Jessy berkata dari belakangnya, "Bi Susi, bereskan saja. Nggak apa-apa."
Bi Susi tahu situasinya rumit dan tak berani banyak bertanya. Setelah membereskan barang berantakan, dia pergi memasak.
Malam hari, bayinya memuntahkan susu dan demam. Jessy merawatnya sepanjang malam, baru menjelang fajar dirinya sempat terlelap.
Begitu membuka mata, terlihat olehnya wajah Ferdy yang muram.
Pria itu pasti datang untuk menuntut soal Bu Rosa. Jessy baru hendak menjelaskan ketika pergelangan tangannya ditarik, diseret ke kamar sebelah.
Begitu masuk, Jessy dilempar ke atas ranjang, lalu tubuh tinggi itu menindihnya.
"Jessy, nyalimu besar juga!"
Jessy tak ingin berbicara dengannya dalam posisi seperti ini. Dia meringkuk dan berusaha bangkit. "Ferdy, kejadiannya nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa menjelaskan."
Ferdy menganggap perlawanan itu sebagai ketidakpatuhan, segera menahan kedua tangannya di kedua sisi bantal. "Jessy, aku paling benci orang berkelit."
"Aku nggak."
"Kamu nggak melukai ibuku?"
"Maaf, aku nggak sengaja, aku ...."
Jessy tiba-tiba terdiam, karena melihat ejekan dan penghinaan di mata Ferdy.
Bagi pria itu, apa pun yang Jessy katakan tak ada gunanya. Kepercayaan si pria pada ibunya dan istrinya, tentu lebih daripada Jessy yang hanya sebuah alat baginya.
Dulu alat untuk melahirkan, sekarang alat pelampiasan.
Saat tangan Ferdy diletakkan di lehernya, Jessy berpikir, kalau dicekik sampai mati pun tak apa, sekalian selesai.
Namun si pria justru merobek piama tipisnya dan tanpa persiapan apa pun memerkosanya.
Jessy tak berani bersuara sedikit pun. Giginya menggigit bibir bawah erat-erat, jari-jarinya mencengkeram seprai.
Saat Jessy merasa dirinya akan pingsan karena sakit, bibir tipis Ferdy yang dingin mencium dirinya, sekaligus menutup napasnya.
Jessy merasa, dirinya benar-benar ingin membunuh pria itu.
Begitu selesai, Ferdy langsung ke kamar mandi. Setelah keluar, dia melemparkan pakaian pada Jessy dan berkata dengan tidak sabar, "Kuberi kamu sepuluh menit. Bangun dan ikut aku ke rumah sakit untuk minta maaf."
Jessy juga merasa memang seharusnya minta maaf, bagaimanapun Bu Rosa adalah ibunya. Tapi sepuluh menit saja tentu tidak cukup, sekarang dia bahkan tak sanggup bangkit dari tempatnya.
Namun Ferdy selalu menepati kata-katanya, Jessy buru-buru bangkit dan akhirnya keluar rumah tepat dalam waktu yang ditentukan.
Dia sudah duduk di mobil, jari-jarinya yang panjang mengetuk setir dengan tak sabar. Jessy meliriknya dan membuka pintu kursi belakang.
"Kamu menyuruhku jadi sopirmu?"
Jessy tak berani berkata apa-apa lagi dan beralih membuka pintu kursi penumpang depan.
Pria itu tampak sangat kesal, belum sempat Jessy duduk dengan benar, mobil sudah dijalankan. Tubuh Jessy terhuyung, nyaris terjatuh menimpanya.
Melihat posisi tangan si pria yang menempel, Jessy menundukkan kepala dengan malu.