Bab 471
Wanita yang memakai kacamata itu terlihat sangat dewasa dan tenang. Pembawaannya tampak lebih tua dariku, tetapi kulitnya yang masih sangat kencang itu terlalu halus dan mulus. Sulit sekali untuk menebak usianya.
Aku menatap wanita di hadapanku ini dengan penuh waspada. Entah kenapa, aku merasa ada semacam ... bahaya aneh yang tidak bisa dijelaskan.
"Tindakan Sanny melukai suami Maureen adalah bentuk pembelaan diri yang sah karena suami Maureen membawa pisau dan mencoba melukai Sanny. Dalam situasi genting seperti itu, wajar saja kalau Sanny merebut pisau dan melawan balik untuk melindungi diri. Selain itu, lawannya hanya mengalami luka ringan," jelas Yesa panjang lebar, kini dia kembali mendominasi perbincangan berkat kecerdasannya.
Dengan ekspresi tidak senang, dia mendorong Yoga ke samping dan berjalan maju untuk mengonfrontasi Aldi dan Pak Yahya secara langsung. "Sebagai ayah Sanny, Pak Aldi bilang kalau putri Pak Aldi ini emosinya nggak stabil dari kecil?"
Ditanya seperti itu, Aldi langsung menunjuk wajah Sanny sambil memarahinya. "Benar, anak nakal ini dari kecil memang sudah gila dan sebagai ayahnya, aku menuntut pemeriksaan kejiwaan!"
Yesa tertawa dingin mendengar jawaban yang lolos dari mulut Aldi barusan.
Rupanya, orang di belakang Aldi sudah memberinya arahan sebelum datang ke sini. Sayang sekali, Aldi terlalu bodoh untuk melakukan arahan itu dengan benar. "Padahal setelah lahir, Sanny langsung ditukar oleh asisten rumah tangga Pak Aldi yang dulu, yang juga merupakan ibu angkat Sanny. Sejak itu, dia tinggal di rumah keluarga Wibowo. Pak Aldi saja nggak pernah merawatnya, dari mana bisa bilang kalau emosi Shani nggak stabil dari kecil? Menurutku, yang emosinya nggak stabil dan butuh pemeriksaan kejiwaan adalah Pak Aldi, bukan Shani!"
"Selama Shani masih berperilaku layaknya orang normal yang sehat dan memiliki hak asasi manusia, nggak ada pihak mana pun yang berhak merampas kebebasannya dan memasukkannya secara paksa ke rumah sakit jiwa!" Yesa angkat bicara lagi, kali ini dengan lebih tegas.
Wanita berkacamata di depan kami tersenyum, lalu dengan tenang menggeser Aldi ke samping dan maju mendekati kami.
Dia mengenakan setelan dengan bawahan rok dan sepatu hak tinggi. Dengan gerakan yang sangat anggun dan santai, dia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sesuatu pada kami. "Ini adalah video Sanny saat menyuruh anak-anak jalanan untuk membalas dendam pada teman sekelasnya. Dengan perilaku yang cenderung menggunakan kekerasan seperti ini, menurutmu ... bukannya wajar kalau pihak keluarga bertanya-tanya akan kondisi mentalnya?"
Pak Yahya mengangkat alis, tampak tersenyum puas dengan penyelamat rencananya yang satu ini.
Aku mengernyit, menatap layar ponsel wanita itu yang sedang menampilkan sebuah video.
Sejak usia delapan belas tahun, Sanny selalu merawat anak-anak jalanan itu. Mereka sangat patuh padanya, jadi ketika ada yang mengganggu Sanny, anak-anak itu akan melindunginya tanpa ragu.
"Ini nggak membuktikan apa-apa, cuma menunjukkan kalau anak-anak itu menyaksikan langsung saat Sanny terancam dan terluka. Mereka maju karena mau melindunginya," tanggap Yesa dengan mantap, seolah tidak akan membiarkan siapa pun membawaku pergi hari ini.
"Begitu, ya?" Wanita itu tersenyum, lalu melirik ke arah Pak Yahya dengan tatapan penuh arti.
Pak Yahya mengangguk, kemudian memberi isyarat pada orang di sebelahnya.
Wanita ini sengaja mengulur waktu. Tujuan utamanya adalah aku ...
Tanpa membuang waktu, orang di sebelah Pak Yahya tiba-tiba berbalik dan berjalan ke arahku.
Dia tidak membawa senjata, tetapi auranya sangat mengancam sampai-sampai aku hampir secara refleks berusaha melawan. Untung saja, Davin segera memelukku erat-erat.
Dia melindungiku dalam pelukannya dan dengan sigap berdiri di depanku, lalu menendang orang yang mencoba mendekatiku.
"Perawatan medis secara paksa hanya berlaku untuk orang dengan gangguan jiwa yang memiliki kecenderungan berbuat kekerasan. Kalau nggak ada putusan pengadilan, nggak ada satu pun lembaga yang punya wewenang untuk mengurung warga sipil di rumah sakit jiwa," kata Yesa dengan tenang, lalu tersenyum sinis. "Kalau kamu sengaja mau memancing kemarahan Sanny, sayang sekali ... meskipun berhasil ... kamu tetap membutuhkan putusan pengadilan untuk memasukkan seseorang ke rumah sakit jiwa di Kota Hairo ini."
Wanita itu tersenyum dan mengangguk. "Sepertinya ada kesalahpahaman di sini."
Aku menggenggam pergelangan tangan Davin erat-erat. Wanita ini sengaja ingin memprovokasiku …
"Sanny, kamu nggak penasaran siapa aku?" Wanita itu tampak sangat percaya diri, seolah-olah memiliki banyak cara untuk memasukkanku ke rumah sakit jiwa.
Aku menatapnya tajam. Bukan karena penasaran, tetapi karena sinyal bahaya darinya membuatku waspada.
Spontan, Davin melindungiku dari depan, seolah memperingatkan wanita itu agar tidak macam-macam denganku.
"Kamu ini siapa? Pak Aldi masih bisa dianggap sebagai ayah Sanny dan Pak Yahya adalah anggota keluarga Isman. Kamu siapa?" Yesa mengangkat tangan, berusaha menghentikan wanita yang hendak mendekatiku itu.
"Salam kenal, aku Natasha Lesmana, dokter di bidang psikiatri dan juga senior Dokter Yeno." Wanita itu tersenyum percaya diri saat memperkenalkan dirinya sebagai dokter psikiatri.
Naluri bertahan hidupku membuatku melayangkan tatapan tajam ke arahnya. Orang ini adalah senior Yeno? Usia Yeno saja sudah hampir menginjak lima puluh tahun. Wanita ini ... berapa umurnya?
"Dokter? Kamu kelihatan seperti baru berusia sekitar dua puluh tahunan. Masih muda sekali, tapi sudah jadi dokter?" Yesa memandang Natasha dari atas ke bawah, menilai dari penampilannya dengan cermat.
Natasha mengangkat tangan, lalu menyibakkan rambutnya dengan anggun. "Terima kasih atas pujiannya, tetapi usiaku tahun ini sudah lima puluh dua tahun."
Semua orang refleks menoleh ke arah Natasha begitu pernyataan mengejutkan itu lolos dari bibirnya.
Hah? Lima puluh dua tahun?