Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Tiga ketukan terdengar di pintu. "Masuk." Rosie membuka pintu dengan hati berdebar. Carlo sedang bekerja di depan komputer. Berbeda dengan pagi tadi, dia sudah melepas jas, hanya mengenakan kemeja hitam dengan dua kancing terbuka dan dasinya ditaruh di samping. Bekas merah samar-samar terlihat di lehernya .... Dia duduk miring di kursi kerja, terkesan malas, pura-pura sopan. Rosie perlahan masuk, Samuel menutup pintu dari belakangnya. "Bam." Suara pintu sebenarnya pelan, tapi di telinga Rosie terdengar sangat keras. "Pak Carlo, Anda mencariku?" "Hmm." Carlo meliriknya yang berdiri di depan pintu, lalu kembali menatap komputer. Hening .... Hanya satu menit, tapi terasa seperti setahun. Carlo berdiri dan melangkah ke arahnya. Tidak bisa dipungkiri, dia memang tipe idaman banyak wanita. Wajah tampan dengan garis tegas, hidung mancung, bibir tipis kemerahan, dan mata indah. Bahkan Rosie tidak tahan untuk meliriknya beberapa kali. Saat berdiri di sampingnya, kepala Rosie hanya sebatas dagunya. Tubuhnya juga sangat bagus. Rosie harus mengakui, karena semalam di kamar mandi, tangan kecilnya yang nakal paling sering menyentuh perutnya yang berotot. Astaga, dia teringat kejadian semalam lagi. "Pak Carlo, ada keperluan apa?" Di luar, dia tampak tenang, berbicara jelas dan sabar. Tapi di dalam hatinya sudah kacau balau. "Duduk." Carlo memutar lalu duduk di sofa. Rosie berjalan mendekat dan duduk dua meter jauhnya. "Duduk di sini." Dia menepuk tempat di sampingnya. Rosie ragu sebentar, lalu duduk di sana. Carlo menatapnya, terpesona sejenak. Rosie gugup, kedua tangannya saling menggenggam. "Masih sakit nggak?" "..." Rosie tertegun, lalu menggeleng. Dasar pria menyebalkan, dia mau mengulang kejadian semalam? "Apa pendapatmu?" Rosie meliriknya sekilas, melihat tulang selangkanya, juga bekas ciuman samar di lehernya .... "Maaf, Pak Carlo. Aku semalam minum kebanyakan, benar-benar nggak tahu sampai melakukan segila itu padamu ...." "Nggak perlu minta maaf." Dia menegakkan tubuh dan memotong ucapannya. Lalu bersandar di sofa dan menatap wajah Rosie yang cantik. "Semalam aku yang mulai duluan." Dia menjawab pelan. "Kamu memang mabuk dan menciumku, tapi selanjutnya aku yang mengambil inisiatif." "Jangan diteruskan ...." Rosie sudah merasa sangat malu, tapi masih harus dipermalukan lagi di depannya. "Kita orang dewasa, yang sudah terjadi ya sudah, anggap saja nggak pernah terjadi." Pipi Rosie sangat merah, seperti dilapisi bedak merah. "Kamu anggap aku gigolo?" Carlo menatapnya dingin, seperti sedang menginterogasi. "Anda salah paham." Telinga Rosie ikut memerah. Apa maksud Carlo? Mau menjalin hubungan tak pantas? Dari penampilan jantannya pagi ini, sepertinya tidak seperti itu! "Mau coba jadi Nyonya Abner?" "Hah?" Rosie mengira dirinya salah dengar. Mata mereka bertemu dan saling menatap. Tapi Rosie tidak bisa menebak isi pikirannya. "Semalam nggak pakai pengaman. Kalau sampai hamil lahirkan saja. Kalau nggak, aku tetap akan bertanggung jawab." Nada bicaranya datar, seperti sedang membicarakan hal sepele. Rosie terdiam. Saat ini pikirannya lebih jernih dari sebelumnya. Carlo lahir dari keluarga terpandang dengan latar budaya kuat. Didikannya sangat bagus, kemungkinan besar pria konservatif. Kalau bukan, tidak mungkin di usia 28 masih belum menikah. Sekarang tiba-tiba ada kejadian ini, tentu saja sudah melewati batas moralnya. Tapi Rosie tidak berani berharap, dia tahu asal usul dirinya sendiri. Dia anak luar nikah ibunya dengan seorang pebisnis dan dia tidak tahu siapa ayahnya. Sejak kecil dia digunjing. Kalau benar dia bersama Carlo yang punya latar belakang bagus, bukankah hanya jadi beban? Belum lagi luka yang ditinggalkan Hayden, dia masih sulit menerima orang baru. "Maaf, Pak Carlo. Aku nggak ada maksud lain. Obat tadi pagi sudah aku minum, jadi Anda nggak perlu khawatir." "Aku nggak mau jadi Nyonya Abner. Kalau Anda merasa semalam salah padaku, aku sebagai pihak yang bersangkutan nggak akan menuntut, anggap saja selesai. Jangan dibahas lagi ke depannya." Tatapan Carlo menggelap, di balik kacamata tanpa bingkai, matanya tampak sangat dalam. Rosie mengatakan semuanya sekaligus, lalu langsung berbalik hendak pergi. "Tunggu." Dia perlahan bangkit. Untuk sesaat, dia bahkan tersedak oleh kata-kata Rosie. Dia konglomerat besar di Kota Ampera dan banyak wanita yang ingin mendekatinya. Tapi baru kali ini ada yang menolaknya. Rosie menarik napas panjang, berbalik dan menatapnya. "Pak Carlo ada perintah lain?" "Tambah kontak WhatsApp." Ekspresinya tetap datar, mengangkat ponsel dan memindai kode QR. "..." "Bulan depan ada pekan busana Negara Singor. Perusahaan berencana mengirimmu dan Pak Nathan. Kalau kamu nggak mau pergi, anggap saja aku nggak pernah bilang." "Selain itu, pertanyaan tadi nggak perlu jawab buru-buru. Aku beri waktu untuk pertimbangan." Dia menambahkan. Huh, dasar pebisnis! Hanya beberapa kalimat singkat, Rosie sudah diarahkan ke jalur yang dia tentukan. Pekan busana bukanlah acara yang bisa dihadiri oleh siapa saja, kesempatan ini tidak boleh dilewatkan. Lagi pula, dia juga tidak rugi. Rosie mengeluarkan ponsel, menambahkan WhatsApp Carlo. Soal pertanyaan di akhir kalimat, dia memutuskan untuk melupakannya. ... Begitu balik ke tempatnya, Erin yang suka bergosip mendekat. "Bagaimana? Apakah kantor CEO sangat mewah?" Sejujurnya, Rosie tidak terlalu memerhatikan, seluruh proses dia terhanyut oleh pertanyaan Carlo yang tajam. "Hanya bisa dirasakan, nggak bisa diceritakan. Nanti aku bantu ajukan, biar kamu bisa melihat sendiri." Rosie mengatupkan bibir dan mengedipkan mata ke arahnya. "Aku sangat kaget dan berpikir kamu akan dibopong keluar." Dia melihat data di komputer sambil melirik Rosie. "Bu Rosie!" Nathan berlari kecil penuh semangat ke arah mereka. Semua mata menoleh padanya, ekspresinya yang terlalu gembira menarik perhatian seluruh departemen. "Pak Nathan." Rosie buru-buru berdiri. Semalam ketika Carlo menjepit dagunya dan bertanya apakah dia suka, Rosie sudah trauma dengan sikap sombong itu. "Tadi atasan mengirimkan sebuah dokumen, kita berdua ada di dalam kuota pekan busana Negara Singor!" "Aku tahu." Rosie tidak merasa kaget sama sekali. Bagaimanapun, di perusahaan ini ada banyak senior. Bagi seorang yang baru setahun bekerja seperti dirinya, ia akan menjadi sorotan. Carlo mungkin memberikan kuota itu untuk menebus kesalahannya semalam. Setelah berita tersebar, seluruh departemen langsung heboh. Ada yang senang, ada yang sedih. Orang yang baru bekerja setahun justru lebih termotivasi. Namun para senior merasa tidak adil. Mereka sudah lama bekerja di sini, bahkan sulit mendapatkan kuota pekan busana di dalam kota, apalagi pekan busana internasional. Rosie tidak peduli dan tetap fokus bekerja. [Rosie, malam ini ada waktu nggak? Mari kita nonton film bersama.] Itu pesan dari Hayden. Rosie mengatupkan bibir. Orang yang tidak tahu malu memang tak terkalahkan. Dia mengambil hati selingkuhan sambil menyenangkan dirinya. [Baik!] Dia mengambil tangkapan layar dan bersiap pasang di status dan mengatur biar hanya sahabat baiknya Selina yang bisa lihat. Dia juga menambahkan teks, lima tahun tetap mesra. Tak lama kemudian, Selina yang tersindir langsung mengirimkan pesan untuk bertanya. [Rosie sayang, malam ini aku juga mau menonton film dengan teman. Kalian mau menonton film apa? Jam berapa?] Huh .... Profesional sekali, kalau tidak dikasih penghargaan rasanya sungguh tidak adil bagi Selina. Rosie tidak menjawab dan langsung mematikan layar.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.