Bab 15
Meskipun bukan anggota Keluarga Warsana, Pak Bima justru lebih dekat dengan Keluarga Warsana daripada keluarga sendiri.
Di seluruh Keluarga Warsana, posisinya berada di bawah Ari dan sangat dipercaya olehnya.
Selain itu, dia juga seorang tokoh penting di dunia mafia, sehingga anggota inti Keluarga Warsana pun bersikap sangat hormat padanya.
Melihat Ari yang cemas, Pak Bima mengangguk pelan dan tegas. "Benar, kita harus perhatikan prioritas. Kondisi Pak Doni telah berubah, dan hal ini harus segera diberitahukan kepada Dokter Axel."
"Tapi sepertinya harus Pak Ari sendiri yang meneleponnya."
Begitu mendengar ini, Ari langsung mengeluarkan ponselnya. Namun, saat melihat waktu yang tertera di ponsel sudah dini hari, dia kembali ragu-ragu.
"Pak Bima, apa menelepon di jam segini nggak akan mengganggu Dokter Axel? Orang-orang istimewa seperti ini biasanya memiliki sifat yang aneh. Kalau kita menyinggungnya dan dia menolak untuk membantu, maka kita benar-benar nggak punya harapan lagi."
Meskipun sekarang sang ayah terbaring di rumah sakit dalam keadaan kritis, setidaknya dia masih hidup dan masih ada secercah harapan. Dia mungkin masih bisa menunggu kedatangan Dokter Axel. Tapi jika Dokter Axel marah dan tidak mau datang, maka nyawanya benar‑benar akan sulit diselamatkan.
Ari kini benar‑benar ragu. Memang, terlalu khawatir malah membuat bingung.
Mendengar itu, Pak Bima berkata tegas, "Nggak mungkin. Dokter Axel sudah setuju untuk datang, itu berarti dia telah berjanji. Sebagai seorang dokter, dia pasti paham bahwa kondisi pasien bisa berubah setiap saat, jadi dia seharusnya sudah siap secara mental menghadapi hal semacam ini."
"Pak Ari, telepon saja. Kalau Dokter Axel nggak senang, kita tinggal meminta maaf sepenuh hati. Sekarang, nggak ada yang lebih penting daripada keselamatan nyawa Pak Doni."
Mendengar itu, Ari langsung mengangguk dan berkata dengan gigih, "Asalkan Dokter Axel bisa menyelamatkan nyawa Ayah, meskipun nyawaku jadi taruhannya, aku rela."
Setelah berkata demikian, Ari langsung menelepon Axel.
Hanya dalam hitungan detik, wajah Ari yang awalnya gelisah berubah menjadi penuh sukacita.
Setelah menutup telepon, Ari menatap Pak Bima dan berkata dengan gembira, "Dokter Axel benar-benar orang baik. Begitu tahu kondisi Ayah tiba-tiba memburuk dan dilarikan ke rumah sakit, dia langsung menanyakan alamat dan mengatakan akan segera datang."
"Dia sangat baik. Aku kira Dokter Axel akan marah diganggu larut malam, tapi ternyata dia sangat menepati janji dan begitu baik hati. Luar biasa, benar-benar luar biasa."
Melihat Ari senang, Pak Bima pun menghela napas lega, mengangguk perlahan, dan berkata, "Pak Ari, kita harus memperlakukan Dokter Axel dengan baik. Terlepas dari apakah dia penyelamat Pak Cahya atau memiliki latar belakang tertentu, hanya dengan kemampuannya menyelamatkan Pak Doni dan sifatnya yang setia, kita harus menghargainya."
Mendengar itu, Ari mengangguk tegas, matanya berbinar. "Benar. Mulai sekarang, urusan Dokter Axel adalah urusanku. Apa pun yang Dokter Axel katakan, akan aku turuti. Bahkan nyawaku pun akan kuberikan."
Kurang dari setengah jam, Axel sudah tiba di rumah sakit.
Ini menyangkut nyawa seseorang, dan bagi Axel, janji yang sudah dibuat harus ditepati.
Apalagi, menurutnya, ini juga saat yang tepat untuk berhubungan dengan Keluarga Warsana.
Saat tiba di depan pintu ruang VIP, Axel melihat Ari dan Pak Bima tampak gelisah. Dia pun langsung mendekat dan berkata dengan tenang, "Anda pasti kepala Keluarga Warsana."
Mendengar itu, Ari menatap Axel dan langsung terkejut.
Dari telepon, dia tahu Axel masih muda, tapi dia tidak menyangka akan semuda ini.
Axel terlihat seperti baru berusia 20-an tahun. Apa dia benar-benar seorang dokter ahli?
"Kamu siapa?"
Axel tersenyum dan berkata, "Anda yang meneleponku, sekarang masih bertanya aku siapa?"
"Di mana pasiennya? Aku akan memeriksanya."
Mendengar itu, mulut Ari langsung terbuka lebar, dan dia berkata, "Kamu Dokter Axel? Maaf, aku nggak menyangka kamu begitu muda. Silakan masuk."
Saat ini Ari memang meragukan usia Axel, tetapi karena dia adalah orang yang diakui oleh Pak Cahya, pasti tidak ada masalah.
Setidaknya, biarkan Axel memeriksa penyakit ayahnya terlebih dahulu.
Lagipula, Ari bukan tipe orang yang meremehkan hanya karena seseorang masih muda dan kemudian melarangnya menangani pasien.
Setelah Axel masuk ke ruang pasien, dia melihat seorang pria tua yang terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, kemudian langsung duduk di sampingnya dan mulai memeriksa denyut nadi.
Ari berkata dengan hati-hati, "Dokter Axel, hasil pemeriksaan rumah sakit dan rekam medis sudah disiapkan. Kamu bisa melihatnya kapan saja jika diperlukan."
Axel tidak berbicara, hanya terus memeriksa denyut nadi dengan hati-hati. Setelah beberapa saat, barulah dia menatap Ari dan berkata, "Ayahmu dulu menanggung terlalu banyak penderitaan saat masih muda, sehingga tubuhnya kekurangan energi. Kini di usia tua, tubuhnya terlalu lemah untuk menerima obat atau perawatan tambahan. Kalau boleh jujur, kondisinya saat ini sudah seperti lampu yang hampir padam. Dokter lain mungkin juga sudah memberi tahu kalian hal yang sama."
Mendengar ini, Ari mengangguk sedih dan berkata, "Benar, dokter lain juga mengatakan hal yang sama. Jadi selain upaya penyelamatan darurat, hampir nggak ada obat yang bisa menyembuhkannya."
"Tapi Dokter Axel, aku tahu kamu adalah orang yang sangat hebat. Aku mohon, tolong selamatkan ayahku. Sepanjang hidupnya, dia nggak pernah menikmati kebahagiaan, dan selalu menderita. Kini, ketika akhirnya aku sudah sukses secara finansial, dia malah jatuh sakit. Aku mohon, tolong bantu kami."
Axel menghela napas pelan, menatap Doni di tempat tidur, lalu menggelengkan kepala. "Menyelamatkannya sekarang bukanlah seperti menghidupkan yang mati, tapi seperti merebut nyawa dari tangan Malaikat Maut. Kemampuan medisku memang cukup baik, tapi masalahnya, hal ini melanggar hukum alam. Itu sulit dilakukan, bahkan seharusnya nggak dilakukan."
"Pak Ari, bukannya aku nggak mau membantu, tapi ayahmu sudah hampir mencapai akhir usia. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah mempertahankan hidupnya selama beberapa hari lagi dan membuatnya sadar kembali. Untuk hal lainnya, maaf aku nggak bisa membantu."
Begitu mendengar kata‑kata itu, Ari langsung merasa hancur. Namun, ketika dia menyadari bahwa yang dikatakan Axel bukan "tidak bisa", melainkan "tidak boleh" dan "sulit dilakukan", itu berarti Axel sebenarnya masih punya cara.
Ari segera memegang tangan Axel dan berkata dengan suara tersedu, "Pak Axel, aku mohon padamu. Aku tahu kamu punya cara. Asalkan kamu bisa menyelamatkan ayahku, aku akan penuhi apa pun permintaanmu. Aku mohon, selamatkan ayahku, tolong."
Setelah berkata demikian, Ari bahkan hendak berlutut untuk memohon.
Pemandangan ini membuat alis Axel sedikit berkerut.
Sementara itu, Pak Bima menatap Axel dan berkata pelan, "Dokter Axel, bisakah kita bicara berdua sebentar? Apa pun hasilnya nanti, kami nggak akan menyalahkanmu."
Setelah membawa Axel keluar, Pak Bima menghela napas pelan dan berkata, "Dokter Axel, kalau bisa membantu, tolong dibantu. Lihatlah betapa sedihnya Pak Ari. Tapi apa kamu tahu? Sebenarnya, Pak Ari bukan anak kandung Pak Doni. Sepanjang hidupnya, Pak Doni selalu suka menolong orang dan telah mengadopsi banyak anak. Beliau pun nggak pernah menikah."
Kemudian, Pak Bima menceritakan perbuatan baik Doni kepada Axel, membuat Axel terkesima dan sangat tersentuh.
Seorang pria sebaik itu, yang sepanjang hidupnya selalu berbuat kebaikan, ternyata tak pernah merasakan kebahagiaan sama sekali. Sungguh menyedihkan dan memilukan.
Axel menghela napas pelan dan berkata dengan lembut, "Kamu Pak Bima, 'kan? Sudah, nggak perlu dijelaskan lagi. Aku mengerti. Aku akan menyelamatkannya! Karena kebaikannya seumur hidup, aku harus melawan takdir kali ini!"
Saat sedang berbicara dan hendak masuk ke ruang perawatan, Axel melihat keluarga Rosa bergegas menuju ruang perawatan sebelah, sambil menyebut nama Rosa.
Alis Axel langsung berkerut. Ada perasaan tidak enak yang muncul di hatinya.