Bab 3
Saat ini, Axel sudah meninggalkan hotel dan kembali ke rumah yang dulu dia tinggali bersama Clara.
Rumahnya tidak besar, hanya tiga kamar dan satu ruang tamu, sekitar seratus meter persegi, tetapi sangat nyaman dan penuh dengan kenangan indah di masa lalu.
Namun, sekarang ketika melihatnya lagi, semuanya sudah berubah.
Dari debu yang menutupi perabotan, jelas terlihat Clara sudah sangat lama tidak kembali ke sini. Lagipula, untuk apa seorang presiden direktur sukses dengan kekayaan melimpah tinggal di rumah sederhana seperti ini?
Apalagi, itu adalah tempat yang pernah ditinggali oleh seorang penjahat.
Namun, apa yang dibuang oleh Clara seperti sampah, justru sangat dihargai oleh Axel.
Axel mengambil lap dan mulai membersihkan kamar. Ini adalah rumahnya. Meskipun kotor, rusak, dan kecil, tempat ini tetap menjadi pelabuhan hatinya.
Hanya saja, kenangan indah di masa lalu ini sekarang berubah menjadi sengatan yang menyakitkan, membuat Axel merasa pahit dan sedih.
Saat ini, Axel belum tahu bahwa adik iparnya yang sangat dia sayangi dulu, Kevin, sekarang telah berubah dan ingin membuat masalah dengannya.
Kawasan Kompleks Taman Hijau bisa dibilang sebagai kompleks perumahan mewah di Kota Jermada, di mana setiap unit rumah bernilai lebih dari 20 miliar.
Kevin dan orang tuanya tinggal di sini. Rumah ini dibeli oleh Clara setahun yang lalu dan diberikan kepada orang tuanya untuk ditempati.
"Bu, Kak Clara sudah bertemu dengan Axel, tapi sepertinya dia memberikan kompensasi besar kepada si sampah itu. Mungkin di atas 20 miliar."
Kevin duduk di sofa, menatap wanita paruh baya yang berpakaian mewah dengan perhiasan emas, dan berbicara dengan nada tidak puas.
Mendengar ini, Ratna membelalakkan matanya dan berteriak, "Apa? Kompensasi 20 miliar? Jangan bercanda, apa penjahat itu pantas menerima uang sebanyak itu dari keluarga kita? Menurutku, memberinya 160 atau 200 juta saja sudah cukup, lebih sedikit pun sudah membuang‑buang uang. Nggak, Ibu akan segera menelepon Clara. Ini benar-benar konyol."
Ekspresi sinis dan pedas Ratna ini adalah sesuatu yang selalu diketahui Axel, tapi jarang dilihatnya.
Alasannya sederhana. Dulu, keluarga Clara bukan hanya tidak punya uang, bahkan bisa dikatakan miskin. Dalam setahun, mereka hampir tidak pernah makan daging. Mungkin di zaman sekarang terdengar berlebihan, tapi itulah kenyataannya.
Hidup mereka baru berubah setelah bertemu Axel.
Bisa dikatakan, Axel telah menafkahi seluruh keluarga Clara sendirian dan memberi mereka kehidupan yang bermartabat. Inilah fakta sebenarnya.
Dulu, di hadapan Axel, sikap Ratna hampir seperti menjilat, meski tidak terlalu ekstrem. Namun, setelah tiga tahun berlalu, segalanya sudah berubah.
Entah bagaimana perasaan Axel ketika melihat ekspresi Ratna seperti ini.
Kevin menatap Ratna dan langsung menghentikannya. "Ibu, jangan telepon Kak Clara. Serahkan saja masalah ini padaku. Aku bisa menangani si pecundang itu dengan mudah. Nanti, dia nggak akan berani mengambil uang Kak Clara."
Mendengar itu, Ratna mengangguk dan berkata, "Benar, Nak. Kamu pergilah dan buat dia takut. Dulu si berengsek itu cuma suami penakut yang lemah. Bahkan saat ditampar, dia nggak berani melawan. Pergilah sekarang. Bawa beberapa orang saja sudah cukup untuk menakut-nakutinya."
Mendengar perkataan ibunya, Kevin dengan bangga membusungkan dadanya. "Tentu saja. Sekarang anakmu ini sudah menjadi orang penting di Kota Jermada. Baiklah Bu, aku nggak akan bicara panjang lebar. Aku pergi dulu. Ibu tunggu saja kabar baik dariku di rumah."
Setelah berkata demikian, Kevin langsung keluar. Di luar, mobil dinasnya sudah menunggu dengan empat atau lima orang di sekitarnya.
"Pak Kevin, apa kita berangkat sekarang untuk menghadapi kakak iparmu itu?"
Mendengar itu, Kevin tersenyum sinis. "Kakak ipar? Apa dia pantas disebut begitu? Dia cuma seorang pecundang. Ayo, ikut aku memberi pelajaran pada si berengsek yang nggak tahu diri itu. Setelah urusanku selesai, malam ini kita berpesta di Klub Fantasi dan minum sepuasnya."
Perkataannya membuat beberapa pemuda berambut pirang itu bersorak gembira.
Dari cara mereka memanggil Kevin, jelas terlihat bahwa mereka semua tahu latar belakang Kevin. Hanya saja, mungkin mereka tidak menyangka bahwa Kevin yang sekarang begitu berkuasa ini dulunya adalah anak lugu yang bahkan tidak mampu membeli celana baru.
Dalam waktu belasan menit, Kevin dan rombongannya tiba di rumah Axel.
"Nanti kalian lihat ekspresi wajahku. Kalau aku bilang pukul, pukul saja dengan keras. Jangan khawatir tentang apa pun, aku yang bertanggung jawab."
Setelah berkata begitu, Kevin langsung membawa anak buahnya masuk ke dalam gedung dan naik ke lantai atas. Saat sampai di depan pintu Axel, dia malas menekan bel dan langsung memukul pintu dengan keras.
"Axel, Buka pintu! Cepat buka pintunya!"
"Aku tahu kamu di rumah, jangan coba-coba menghindariku. Cepat buka pintu!"
Axel baru saja selesai membersihkan rumah. Belum sempat duduk istirahat, dia sudah mendengar suara ketukan di pintu.
Nada bicara orang itu kasar, tapi suaranya sangat familiar. Axel tahu itu Kevin, adik ipar yang dulu suka menempel padanya dan memanggilnya "Kakak" dengan lembut.
Axel berdiri dan membuka pintu, lalu tersenyum dan berkata, "Kevin, sudah tiga tahun kita nggak bertemu. Kamu terlihat lebih tinggi dan gemukan. Sepertinya kehidupanmu sangat baik."
Melihat Axel yang bersikap sopan padanya, Kevin sama sekali tidak menunjukkan wajah ramah. Dia langsung mendorong Axel dan masuk ke dalam ruangan.
Beberapa anak buahnya juga ikut masuk, tapi mereka tidak duduk. Mereka berdiri di belakang Kevin, seperti pengawal yang melindungi bos besar.
"Axel, jangan sok akrab. Kamu dan Kak Clara sudah bercerai. Kamu pikir kamu masih kakak iparku?"
Melihat sikap Kevin yang seperti itu, Axel sedikit mengerutkan kening, tapi tidak banyak berkata.
"Mm, aku memang sudah bercerai dengan kakakmu. Jadi, kamu datang kemari, cuma untuk menemuiku saja?"
"Kevin, aku ingat dulu kamu nggak seperti ini. Kenapa sekarang kamu berubah menjadi seperti ini?"
Perkataan Axel sepertinya menyentuh saraf Kevin, dan langsung membuatnya meledak dalam kemarahan.
"Axel, jangan banyak bicara. Kamu pikir aku masih Kevin yang lemah dan menyedihkan itu? Aku beritahu kamu, aku sudah berubah. Aku bukan lagi orang yang bisa diinjak-injak oleh siapa pun."
"Dan jangan lagi menyebut masa lalu. Dengan keadaanmu sekarang, apa kamu pantas membicarakan masa laluku? Kamu justru mencari mati. Aku peringatkan, mulai sekarang, jangan bilang kamu mengenalku, apalagi sampai aku mendengar cerita masa laluku dari orang lain. Kalau nggak, aku akan memotong lidahmu."
Kevin tampak gelisah dan terus bergerak kesana-kemari.
Kehidupan masa lalunya seolah menjadi sejarah hitam yang tidak boleh disebut-sebut.
Dan faktanya memang begitu. Kevin tidak pernah menyebut masa lalunya dan selalu membangun citra sebagai anak orang kaya. Segala hal di masa lalu seperti dianggap tabu, seolah-olah sangat menjijikkan dan tidak boleh dibicarakan.
Dia seperti kebanyakan orang yang lupa asal-usulnya setelah sukses, hanya saja Kevin melupakan itu dengan cara yang lebih bersih dan total.
Sementara itu, melihat Kevin yang sedang marah besar, mata Axel sedikit menyipit, dan dia berkata dengan dingin, "Memotong lidahku? Kevin, beginikah sikapmu terhadapku?"
"Kamu benar-benar keterlaluan. Kamu bukan hanya nggak memanggilku "Kakak" lagi, tapi kamu malah sengaja membawa orang untuk menantangku. Apa maksudmu?"
"Kalau kamu bilang kita nggak saling kenal, lalu kenapa kamu masih di sini? Cepat pergi! Aku lagi malas bermain-main dengan orang asing. Pergilah!"