Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Axel tidak pernah mau menuruti orang-orang yang berani seenaknya. Keluarga Kevin menganggap Axel sebagai orang lemah yang mudah diintimidasi. Tapi jika Axel benar-benar semudah itu diintimidasi, maka dia bukanlah Axel. Ada hal-hal tertentu yang Axel sengaja sembunyikan, karena kalau tidak, banyak yang akan ketakutan. Melihat Axel berani menyuruhnya pergi, Kevin langsung marah. Beberapa tahun terakhir, Kevin sangat sukses. Semua orang di Kota Jermada selalu bersikap sopan padanya, baik karena menghormati Pak Bima maupun Clara. Ini pertama kalinya dia dipermalukan seperti ini. Mendengar itu, Kevin langsung memukul meja, bangkit, dan menunjuk tepat ke wajah Axel sambil meluapkan amarahnya. "Axel, kamu benar-benar cari mati ya. Kamu pikir aku nggak berani menyakitimu?" "Ternyata mendekam di penjara beberapa tahun membuatmu jadi bodoh ya. Jangan kamu kira kondisi sekarang masih sama seperti dulu. Walaupun masih sama, kamu saja yang masih pecundang. Jangankan menghajarmu, bahkan kalau aku membunuhmu, kamu bisa apa!" Melihat Kevin menunjuk-nunjuk wajahnya, Axel tersenyum sinis dan langsung menggenggam jari Kevin, lalu memutarnya dengan kuat. Rasa sakit yang hebat langsung membuat Kevin menjerit kesakitan hingga seluruh tubuhnya membungkuk. "Ah, sakit, Axel! Kamu cari mati ya, lepaskan aku cepat!" Melihat Kevin disakiti, wajah beberapa anak buah Kevin langsung berubah. Mereka langsung berteriak pada Axel. "Axel, lepaskan Pak Kevin, atau aku akan mematahkan kakimu." "Cepat lepaskan Pak Kevin dan minta maaf. Kalau nggak, kamu nggak akan bisa keluar dari pintu ini." Sementara itu, Kevin tidak bisa menahan amarahnya lagi dan berteriak, "Hajar dia, bunuh bajingan ini!" Beberapa anak buah Kevin pun langsung menyerang Axel. Axel yang sejak tadi sudah dipenuhi amarah akhirnya menemukan kesempatan untuk melampiaskannya. Dengan tangan kiri yang masih mencengkeram jari Kevin, Axel menggunakan tangan kanannya untuk meninju hidung pria berambut pirang yang menyerangnya. Seketika, hidung dan mulut pria itu mengeluarkan darah, dan dia terduduk di lantai, tak sanggup lagi berdiri karena kesakitan. Tanpa jeda sedikit pun, Axel langsung menendang seorang berambut pirang hingga terjatuh ke lantai. Tapi itu belum selesai. Saat si pirang lainnya menyerang, Axel mengelak dengan cepat, lalu melayangkan pukulan, dan setiap pukulannya membuat mereka semua tersungkur. Kekejaman dan kekuatan serangannya begitu besar hingga tidak ada yang bisa bertahan dari satu pukulan Axel. Pemandangan ini membuat Kevin tertegun. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Axel memiliki kemampuan bertarung seperti ini. Inikah Axel yang selalu merendahkan diri di depan kakaknya, hingga menyetujui dan mengiyakan segala permintaannya? Atau, inikah Axel yang selalu memakai apron, membersihkan meja, menyapu lantai, mencuci pakaian, memasak, seperti pelayan yang tak punya harga diri? Jelas, pria di hadapannya ini adalah seorang bandit yang sangat kejam dan ganas. Sebelum Kevin menyadari situasinya, Axel langsung mencekik lehernya dan mengangkat tubuhnya sambil berkata dengan geram, "Sepertinya yang tersisa antara kita hanyalah kebencian." Setelah berkata demikian, Axel menampar keras pipi Kevin sambil berkata, "Tamparan ini untuk mengajarimu menjadi manusia!" Setelah tamparan itu, lima bekas jari langsung terlihat di wajah Kevin. Giginya bahkan mulai goyah karena pukulan itu. Sebenarnya, melihat Axel yang garang saat ini, Kevin memang merasa takut. Tapi ketika menyadari dirinya takut pada Axel, dia merasa sangat dipermalukan, dan ini benar-benar aib yang besar. Sambil memegang wajahnya, Kevin mengatupkan gigi dan berkata dengan marah, "Oke, Axel, kamu hebat. Kamu berani memukulku! Tapi semua ini belum berakhir. Aku bersumpah aku pasti nggak akan melepaskanmu!" Melihat Kevin masih berani melawannya, Axel membelalakkan matanya dan berkata dingin, "Setelah tiga tahun aku nggak mengurusmu, kamu menjadi seperti ini?" "Oke, hari ini aku akan memberimu pelajaran yang baik." Setelah berkata begitu, Axel langsung meraih Kevin, lalu mengangkat tangan kanannya dan menampar wajah Kevin sekali lagi dengan keras. "Jika tamparan tadi belum memberimu pelajaran, maka tamparan ini akan mengajarimu untuk jangan terlalu sombong saat berbicara." Begitu kata-katanya selesai, tamparan kedua langsung menghantam. "Tamparan ini untukmu yang nggak tahu berterima kasih!" Setelah selesai memukul, tangan kanan Axel kembali terangkat tinggi, matanya dipenuhi dengan kebengisan. "Tamparan ketiga ini, aku berikan untuk orang tua dan kakakmu. Susah payah mereka membesarkanmu, tapi kamu malah berbuat semena-mena dan jahat?" Tiga tamparan itu membuat wajah Kevin yang sudah bengkak semakin terlihat parah. Tiga giginya lepas, mulutnya penuh darah, dan dia terlihat sangat menyedihkan. Tepat pada saat itu, teriakan penuh kemarahan sampai ke telinga Axel. "Berhenti, Axel! Kamu berengsek! Beraninya kamu memperlakukan Kevin seperti ini? Kamu gila!" Orang yang datang adalah Jessi. Sahabat karib sekaligus asisten Clara ini akhirnya datang sesuai perintah Clara. Awalnya dia ingin membujuk Kevin untuk tidak mengganggu Axel, tapi sekarang dia terkejut melihat pemandangan di depannya. Sekarang, Jessi sangat menyesal. Sebenarnya dia sudah datang lebih dulu, tapi dia berpikir tidak masalah jika Kevin memberi pelajaran pada Axel. Bagaimanapun, aset 20 miliar ini bukan hal yang mudah diperoleh. Biarkan Kevin memberi pelajaran pada Axel supaya dia tahu Keluarga Fernando bukan keluarga yang bisa diremehkan. Dengan begitu, Axel akan lebih patuh. Namun, dia sama sekali tidak menyangka bahwa keadaan akan sampai sejauh ini. Axel memandang Jessi, lalu dengan santai melepaskan tangannya yang mencengkeram leher Kevin, membuat Kevin langsung tersungkur ke lantai. Baru kemudian dia berkata dengan tenang, "Kamu datang tepat pada waktunya." "Katakan, untuk apa kalian datang silih berganti begini?" Jessi melotot marah ke arah Axel, lalu buru-buru berlari ke samping Kevin dan membantunya berdiri. "Kevin, kamu nggak apa-apa, 'kan? Kevin, jangan menakut-nakutiku." "Telepon ambulans, cepat telepon ambulans!" Jessi menatap anak buah Kevin yang juga terluka, lalu berteriak marah dengan mata melotot. Anak-anak buah itu segera menelepon ambulans. Jessi kemudian menatap Axel dengan penuh kemarahan. "Axel, kamu benar-benar gila! Berani-beraninya kamu memperlakukan Kevin seperti ini. Aku beri tahu, kamu benar-benar tamat. Ikatan terakhir antara kamu dan Clara juga sudah putus. Lebih baik kamu pikirkan bagaimana kamu akan mempertanggungjawabkan ini." Mempertanggungjawabkan? Axel tersenyum. "Memang harus ada pertanggungjawaban, tapi bukankah seharusnya kalian yang bertanggung jawab padaku?" "Sejak aku keluar dari penjara, pertama kalian datang dengan pengacara untuk memaksaku bercerai. Oke, aku setuju, dan dokumennya sudah kutandatangani. Tapi sekarang kalian malah datang ke rumahku dan membuat keributan?" "Apa aku ini pantas mati? Pantas terus-menerus kalian tindas?" "Jessi, dengar baik-baik! Memang harus ada yang bertanggung jawab hari ini, tapi bukan aku, melainkan kalian! Kalau kalian nggak bertanggung jawab, aku nggak akan membiarkan masalah ini berakhir!" Setelah berkata begitu, Axel mendorong Jessi ke samping, lalu menginjak wajah Kevin dan berkata dengan dingin, "Hari ini, kalau aku nggak mendapat tanggung jawab yang layak, nggak seorang pun boleh pergi!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.