Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Saat itu, Jessi terkejut. Dia memang pernah bertemu Axel sebelumnya, tapi dia belum pernah melihat sisi dirinya yang segila ini. Tiga tahun di penjara tampaknya benar-benar telah mengubahnya. Axel benar-benar gila. Bukan cuma berani memukul orang, sekarang dia bahkan tidak membiarkan siapa pun pergi. Lebih parah lagi, dia malah menginjak Kevin di bawah kakinya. Ini benar-benar penghinaan besar. "Axel, kamu benar-benar gila! Lepaskan Kevin sekarang!" Jessi sangat panik, dan langsung berteriak pada Axel. Mendengar itu, Axel memicingkan matanya sedikit, memandang Jessi, dan berkata dingin, "Aku biasanya nggak memukul wanita, tapi bukan berarti aku nggak akan memukul wanita sama sekali. Jessi, aku nggak tahu seberapa besar peranmu dalam perceraianku dengan Clara, tapi aku nggak percaya kalau kamu sama sekali nggak terlibat." "Aku nggak akan mengurusi masalahmu sekarang. Jadi jangan coba-coba menggangguku, atau aku akan menamparmu." Perkataan ini membuat Jessi sangat marah. Dia bergumam dalam hati, "Axel nggak hanya memukul Kevin, tapi sekarang mau memukulku juga?" Oke, kalau begitu ayo kita buktikan. Aku mau lihat apa dia benar-benar punya nyali. "Kamu ingin memukulku? Ayo, sini, sini, sini! Pukul saja." "Dasar pria egois. Kamu menjadikan adik Clara sebagai pelampiasan kemarahanmu. Cuma itu kemampuanmu? Hari ini kamu mungkin merasa menang, tapi pernahkah kamu berpikir apa yang akan terjadi besok?" "Hidupmu akan benar-benar tamat Axel, tamat." Melihat Jessi menantangnya, Axel tersenyum sinis dan berkata, "Hebat juga rupanya Keluarga Fernando. Tiga tahun aku nggak ada di Jermada, Keluarga Fernando sudah berubah jadi sekumpulan orang yang nggak kenal kerabat sendiri dan lupa budi. Tapi, memangnya kenapa?" "Cuma dengan modal seperti itu, berani-beraninya bersikap sombong di depanku? Atas dasar apa? Apa karena Keluarga Fernando kaya? Berkuasa? Atau karena Clara itu orang yang dingin, tak berperasaan, dan nggak tahu berterima kasih?" "Nggak peduli apa pun alasanmu, kalau ingin menggangguku, pikirkan baik-baik konsekuensinya." "Kalau kalian mau bawa Kevin pergi, boleh saja. Tapi suruh Clara datang sendiri untuk minta maaf padaku, baru boleh menjemputnya. Kalau nggak, siapa pun yang datang, tetap nggak akan aku lepaskan!" Nama besar Keluarga Fernando mungkin bisa membuat orang lain gentar, tapi menakut-nakuti Axel itu mustahil. Sekalipun Axel hanyalah orang biasa, bukan berarti Keluarga Fernando bisa semena-mena, memperlakukan dia seenaknya, menginjak harga dirinya, bahkan meludahi wajahnya begitu saja. Ini benar-benar keterlaluan. Namun kini, di mata Jessi, yang keterlaluan, bertindak berlebihan, bahkan benar-benar semena-mena, bukan Kevin, juga bukan Clara, melainkan Axel sendiri. Menurutnya, Axel seharusnya menerima nasibnya dengan patuh, membiarkan dirinya diperlakukan semena-mena, dan tidak seharusnya melawan atau bersuara. Tapi sekarang, Axel berani melawan. Ini benar-benar pemberontakan. Jessi menarik napas dalam-dalam, menatap Axel, lalu tiba-tiba tersenyum dan berkata, "Baiklah, akhirnya sifat aslimu terlihat. Axel, dari semua yang kamu katakan, kamu masih nggak bisa melupakan Clara, 'kan? Itu sebabnya kamu menggunakan cara ini untuk menarik perhatiannya, membuatnya melihat bahwa kamu sekarang bukan lagi orang yang lemah seperti dulu, cukup tangguh dan punya kemampuan, 'kan?" "Haha, lucu sekali!" "Apa kamu nggak sadar kamu sekarang seperti badut yang memalukan? Pikiranmu itu sangat menjijikkan dan konyol. Kalau Clara datang dan melihat ini semua, dia nggak akan merasa iba atau berubah pikiran sedikit pun. Yang ada, dia akan semakin membencimu! Axel, apa kamu masih belum sadar? Sekarang ini, kamu sama sekali nggak pantas untuk Clara, nggak pantas!" Kata-katanya menusuk seperti pisau. Jelas-jelas mereka yang tidak tahu berterima kasih, kejam dan tak punya hati, tapi kini seolah-olah merekalah yang paling benar, sementara orang lain yang bodoh. Axel ingin tertawa. Bagaimana bisa ada orang begitu tidak tahu malu? Mereka memutarbalikkan fakta dan mengaburkan mana yang benar dan salah. Apakah begitu jadinya kalau seseorang punya uang dan kekuasaan? "Jessi, untuk apa kamu bicara panjang lebar begitu? Kalau kalian semua menganggap aku sengaja cari masalah, ya sudah, anggap saja begitu." "Pergilah, beri tahu Clara. Kalau dia mau menjemput adiknya, suruh dia datang sendiri." Melihat Axel tetap tak terpengaruh meski dia sudah bicara panjang lebar, Jessi pun mulai kesal. Dia menunjuk ke arah Kevin sambil tersenyum sinis dan berkata, "Axel, kamu mungkin mengira aku sedang mengejekmu, tapi kamu salah. Sebenarnya aku sedang menyelamatkanmu." "Apa kamu tahu, siapa orang yang sekarang kamu injak ini?" "Kamu pikir, dia cuma adik Clara? Atau masih anak kecil? Nggak! Aku beritahu kamu, sekarang dia adalah orang yang terkenal di dunia gelap Kota Jermada. Bos besar di belakangnya adalah Pak Bima yang bisa mengguncang seluruh tatanan kota ini. Kamu tahu siapa Pak Bima itu?" "Dia adalah bos mafia yang sekali melambaikan tangan, ratusan anak buah akan berlari untuk mengorbankan diri demi dia. Jujur saja, dengan tubuh kecilmu ini, kalau kamu dibunuh dan dibuang ke sungai, nggak akan ada tahu. Mengerti?" "Oh, kalau kamu nggak mengerti siapa Pak Bima itu, aku beritahu kamu. Pendukung di belakangnya adalah konglomerat terbesar sekaligus orang terkaya di Kota Jermada, Ari Warsana dari Keluarga Warsana. Sekarang, kamu tahu siapa musuh yang akan kamu hadapi, 'kan?" Jessi menyebutkan serangkaian gelar hanya untuk menekankan bahwa Kevin sekarang bukan lagi Kevin yang dulu. Ucapannya itu bukan cuma untuk meninggikan posisi Kevin, tapi juga sebagai peringatan bagi Axel. Kalau dia berani menyinggung Kevin, maka tak akan ada tempat bagi dirinya di seluruh Kota Jermada. Namun, yang tidak disadari Jessi adalah saat dia menyebut nama Bima dan Ari, alis Axel justru sedikit terangkat. Ada kesan terkejut di matanya, tapi juga terselip senyum mengejek. Andai saja Jessi tahu bahwa sebelum mereka datang, orang yang disebutnya "konglomerat besar" itu justru menelepon Axel dengan nada merendah, memohon agar Axel mau turun tangan membantunya, mungkin Jessi akan benar-benar kehilangan kata-kata. Kalau saja Jessi dan yang lain tahu, bahkan Pak Cahya, orang yang Ari sendiri pun tidak berani ganggu, ternyata sangat menghormati Axel, sampai berutang budi dan bahkan nyawa padanya, mungkin mereka akan terkejut bukan main, sampai mau menangis pun tidak bisa. "Terlalu banyak omong. Kamu bicara sepanjang itu hanya ingin menakut-nakutiku, 'kan?" Axel melambaikan tangan dan berkata dengan tenang, "Kamu berhasil, aku sangat takut. Sekarang, suruh Clara datang untuk bertanggung jawab. Kalau kamu berani mengoceh lagi, aku akan menamparmu. Nggak percaya? Coba saja." Melihat sudah bicara panjang lebar tapi Axel tak bergeming, Jessi langsung naik darah. Dia sebenarnya enggan menelepon Clara. Bagaimanapun, jika Kevin celaka karena dia tak berhasil mencegahnya, dia tetap harus bertanggung jawab. "Axel, kamu benar-benar nggak tahu diri!" Setelah mengucapkan kalimat itu, Jessi langsung menyesal. Sebab dia melihat, Axel langsung mendekatinya dengan tatapan penuh bahaya. "Kamu mau apa, Axel? Apa kamu gila? Kamu berani memukulku?" Kenapa tidak berani? Axel bahkan malas membuang waktu untuk bicara. Dia langsung mengayunkan tangan dan menampar keras wajah Jessi yang anggun itu. Seketika, bekas telapak tangan berwarna merah terang muncul di pipinya. Rasa sakit itu belum apa-apa. Yang membuat Jessi terkejut adalah Axel benar-benar berani bertindak, dan bahkan memukul wanita. "Aku sudah memperingatkanmu. Kalau kamu masih bicara satu kata lagi, aku akan memukulmu. Dan aku juga bilang, di mataku, begitu wanita menjadi musuh, dia nggak ada bedanya dengan laki-laki. Tua, muda, sama saja. Kalau harus dipukul ya dipukul, kalau harus dibunuh ya dibunuh!" "Sekarang, kalau kamu berani bicara satu kata lagi, aku akan mematahkan kakimu. Kalau kamu nggak percaya, buktikan saja!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.