Bab 5
Hestiana tidak menyangka dia akan tiba-tiba muncul. Belum sempat dia menjawab, perawat lebih dulu bicara.
"Kamu suaminya pasien? Kemarin pasien dibawa ke sini dan diselamatkan semalaman. Kami buka kunci ponselnya dan meneleponmu berkali-kali, kenapa kamu nggak angkat? Untung pasien selamat, kalau nggak kamu mungkin bahkan nggak sempat melihatnya untuk terakhir kali. Istrimu terluka parah, kamu harus lebih peduli. Kalau nggak, nanti poinnya benaran habis."
Perawat mengomel sambil menyerahkan laporan medis.
Setelah melihat hasil diagnosis di tangannya, mata Yosfian sedikit gelap dan untuk pertama kalinya mencoba menjelaskan.
"Kemarin lampu jatuh dan melukai banyak pengunjung. Mereka marah besar. Aku takut mereka akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakan Marselia, jadi aku bawa dia pergi dulu. Kejadiannya mendadak, aku nggak tahu kamu terluka, jadi nggak bisa mengantarmu ke rumah sakit. Maaf."
Hestiana mendengarkan dengan diam, lalu balik bertanya dengan sangat tenang.
"Terus kenapa sekarang kamu punya waktu datang menjengukku?"
Sebelum datang, Yosfian sudah menyiapkan diri kalau Hestiana akan marah atau sedih.
Tapi reaksi yang di luar dugaan itu membuatnya tertegun.
"Marselia kemarin ketakutan. Aku antar dia ke psikolog. Terus aku melihat namamu di daftar pasien, jadi sekalian mampir."
Hestiana menunduk dan sebersit rasa mengejek diri sendiri melintas di matanya.
"Jadi hanya kebetulan."
Yosfian bisa mendengar nada kecewanya. Saat hendak bicara, ponselnya bergetar beberapa kali.
Begitu melihat pesan Marselia yang menanyakan keberadaannya, dia langsung melupakan semuanya.
"Iya, kebetulan. Tapi aku merasa lega karena kamu nggak apa-apa. Kamu istirahat saja. Nanti aku datang lagi."
Setelah itu, dia langsung pergi.
Hestiana tahu dia pasti menemui Marselia. Dia memaksa tubuhnya yang lemah mengikutinya dan melihat Yosfian masuk ke ruang psikolog.
Dari balik jendela, dia melihat Marselia dengan mata merah mengulurkan tangan dan Yosfian dengan alami menggenggamnya, jari mereka bertaut erat.
Dokter bertanya banyak hal tentang Marselia, pengalaman masa lalu, riwayat sakit, Yosfian menjawab semuanya dengan jelas dan rinci.
Dalam sesi konseling, beberapa kali Marselia tidak bisa menahan emosi, Yosfian yang menenangkan dengan sabar dan lembut. Itu kelembutan yang belum pernah Hestiana lihat.
Setelah sesi itu selesai, dokter memberikan hasil yang pasti.
"Pasien mengalami banyak luka batin dalam hubungan sebelumnya. Dia nggak bisa melepaskan beban di hatinya, sehingga sangat nggak punya rasa aman. Sedikit kejutan saja bisa membuatnya stres. Dia perlu ditemani keluarga dan teman dekat untuk keluar dari bayangan itu."
Mendengar hasil itu, wajah Yosfian seketika menggelap.
Setelah menenangkannya sampai tidur, dia menelepon asistennya, suaranya sedingin es.
"Selidiki apa yang sebenarnya dialami Marselia dalam pernikahan sebelumnya, laporkan semuanya ke aku. Selain itu, siapkan jet pribadi, aku mau membawanya pergi liburan."
Saat menyaksikan semuanya dengan mata kepala sendiri, rasa pahit dan getir memenuhi tubuh Hestiana.
Akhirnya dia mengerti, Yosfian bukannya tidak tahu bagaimana mengekspresikan cinta, hanya saja orang yang dicintainya bukan dirinya.
Jadi saat dia terluka, Yosfian tidak terlalu menghiraukannya. Saat dia mendapat perlakuan tidak adil dalam pernikahan, Yosfian memilih pura-pura tidak melihat. Saat dia paling rapuh dan tidak berdaya, Yosfian tidak akan menemaninya.
Hestiana mengangkat kepala, tidak membiarkan air mata jatuh dan diam-diam berkata pada dirinya sendiri.
Pernikahan ini sejak awal sampai akhir hanyalah keinginannya sendiri dan akan segera berakhir.
Dia akan mengembalikan kebebasan Yosfian.
Dia juga akan membebaskan dirinya sendiri.