Bab 6
Hestiana dirawat di rumah sakit lebih dari seminggu dan Yosfian tidak pernah datang lagi.
Yosfian hanya mengirim pesan kalau dia harus pergi dinas selama beberapa waktu, sesekali menyuruh asistennya mengirim hadiah dan suplemen.
Melihat perhiasan dan suplemen yang hampir memenuhi kamar rawat, hati Hestiana tetap tidak bergetar sedikit pun.
Dia membuka ponsel dan melihat foto-foto yang dikirim Marselia selama beberapa hari terakhir, foto dirinya bersama Yosfian.
Dalam foto, mereka duduk di atas batu karang, menatap matahari merah yang perlahan naik dari permukaan laut. Di bawah pemandangan megah gunung yang diselimuti cahaya keemasan, mereka berdiri berdampingan. Di kuil yang dipenuhi pita merah, kedua orang itu saling mengucapkan harapan indah untuk satu sama lain di hadapan para dewa ....
Di bawah foto, Marselia mengirim pesan panjang.
[Semua tempat di foto ini adalah tempat-tempat yang dulu Yosfian bawa aku pergi saat kami pacaran. Kami pernah meninggalkan kenangan terindah di sana dan pernah berjanji untuk sehidup semati. Sekarang dia bilang mau membawaku pergi liburan, tapi setiap perhentian ternyata tempat yang pernah kami datangi dulu. Menurutmu, apakah dia juga sama sepertiku yang sangat berharap bisa kembali ke masa lalu?"
Hestiana melihat pesan itu tanpa membalas.
Setelah luka-lukanya sembuh, dia pulang seorang diri, tapi di depan pintu dia mendengar suara teman-teman Yosfian.
"Yosfian, bukankah kamu sudah membuat mantan suami Marselia bangkrut? Dia nggak akan bisa bangkit lagi. Kondisi Marselia juga perlahan membaik. Kenapa begitu pulang kamu malah minum untuk melupakan kesedihan?"
Dari balik pintu yang tidak tertutup rapat, Hestiana melihat banyak botol minuman kosong berserakan di depan Yosfian.
Dia tampaknya sudah mabuk. Wajah yang biasanya dingin kini memerah, matanya berkabut.
"Aku hanya membenci diriku yang dulu, kenapa nggak bisa menurunkan gengsi yang konyol itu? Kenapa nggak berusaha untuk meminta balikan? Kenapa ... kenapa harus menyia-nyiakan lima tahun, menyiksa diri sendiri dan membiarkan Marselia disakiti orang lain?"
Melihat keadaannya itu, teman-temannya pun merasa tidak tega.
"Tapi waktu itu Marselia yang bersikeras minta putus. Dia bahkan bilang siapa yang minta balikan duluan berarti anjing. Dia juga nekat menikah ke luar negeri meski keluarga dan teman melarangnya. Itu semua bukan salahmu, kamu nggak perlu menyalahkan diri sendiri!"
"Benar. Marselia menikah dengan orang lain dan kamu juga sudah menikah dengan Kakak Ipar. Kalian berdua sudah berjalan di dua garis yang berbeda. Kenapa kamu masih harus terjerat dengannya lagi? Dia nggak pantas diperlakukan terlalu baik, kamu harus menghargai orang yang ada di depan mata. Kakak Ipar benar-benar tulus sama kamu, kamu jangan sampai melukai hatinya!"
"Selama ini, kami semua melihat sendiri betapa baiknya Kakak Ipar padamu. Kamu selalu terbang ke sana kemari, dia yang mengurus rumah, merawat paman dan bibi. Kamu kerja sampai sakit maag, dia yang berusaha keras merawatmu. Kamu pulang jam tiga atau empat pagi karena pekerjaan, dia begadang untuk menghangatkan makanan untukmu. Dia begitu baik, begitu mencintaimu, kamu nggak bisa menoleh dan melihatnya?"
Ruangan itu hening sejenak. Yosfian menenggak sisa minuman di tangannya, lalu bergumam pelan.
"Sebaik apa pun dia, dia tetap bukan orang yang tepat."
Saat mendengar kalimat itu dari mulut Yosfian sendiri, Hestiana merasa seolah dadanya disayat pisau, darah mengalir dan sakitnya tidak tertahankan.
Tangannya gemetaran, wajahnya pucat dan memejamkan mata. Di kepalanya muncul bayangan ketika Yosfian berkata bersedia menikahinya.
Saat itu Yosfian bilang, mereka sangat cocok.
Namun sekarang Yosfian bilang, dia bukan orang yang tepat.
Jika pernikahan ini di mata Yosfian adalah sebuah kesalahan, lalu apa arti waktu tiga tahun dan cinta yang sudah dia berikan?
Dia tidak tahu jawabannya.
Selain itu, jawabannya pun sudah tidak penting lagi baginya.