Bab 7
Setelah duduk sendirian di taman sampai matahari terbenam, Hestiana akhirnya bisa menenangkan diri.
Dia masuk ke vila, melihat Yosfian berbaring sendirian di sofa, sementara teman-temannya sudah pulang.
Yosfian mabuk berat, dalam mimpi pun terus memanggil nama Marselia.
Hestiana diam-diam mendengarnya, lalu mengambil tabel poin itu dan mengurangi lima poin lagi.
Dia tidak lagi merawatnya seperti biasa, tapi mulai membereskan barang-barangnya.
Hadiah dari Yosfian, foto-foto Yosfian yang dia simpan, gelas dan sandal pasangan ....
Segala hal yang berhubungan dengan Yosfian, dia kumpulkan dan buang ke tempat sampah.
Dia beres-beres semalaman. Saat Yosfian bangun keesokan harinya, dia melihat separuh ruang tamu kosong.
"Kapan kamu keluar dari rumah sakit? Kenapa banyak barang yang hilang?"
"Tadi malam. Nggak bisa tidur, jadi aku buang barang-barang yang nggak terpakai."
Mendengar jawabannya, Yosfian melihat sekeliling, merasa ada yang tidak beres. "Nggak terpakai? Barang sebanyak itu, mana mungkin nggak terpakai?"
Saat Hestiana hendak bicara, ponsel Yosfian berbunyi.
"Yosfian, hari ini kamu ada waktu menemaniku kontrol ulang?"
Yosfian mengiyakan, lalu buru-buru mencuci muka dan langsung pergi.
Saat melihatnya mendorong pintu dan keluar, Hestiana menjawab pelan.
"Karena aku sebentar lagi mau pergi. Jadi semua barang itu nggak terpakai lagi."
Beberapa hari berikutnya, Yosfian tetap tidak ada kabar.
Tapi dari pesan yang dikirim Marselia, Hestiana tahu kalau mereka pergi jalan-jalan, makan bersama, dan menonton film.
Dia tidak memedulikannya, hanya sibuk membereskan koper dan mengirim semua barangnya ke Kota Selatan.
Pada hari peringatan wafat ayahnya, Hestiana mengenakan pakaian serba hitam, memesan rangkaian bunga dan bersiap pergi, namun dihentikan oleh Yosfian yang kebetulan baru pulang.
"Hari ini hari peringatan wafat guru. Aku temani kamu ke makam."
Selama beberapa tahun terakhir, mereka selalu pergi berziarah berdua. Hestiana juga tidak menolak dan naik mobil Yosfian.
Sepanjang jalan, suasana di dalam mobil sangat tenang, tidak ada yang bicara.
Setibanya di pemakaman, mereka berdiri di depan batu nisan dan memberi penghormatan bergantian.
Menatap foto hitam putih ayahnya yang sedang tersenyum, Hestiana bersujud beberapa kali dengan kuat.
"Ayah, aku sudah memutuskan untuk bercerai dengan Yosfian dan pergi ke Kota Selatan mengejar mimpiku. Kalau Ayah tahu, Ayah pasti akan senang untukku, 'kan? Sebelum pergi, yang paling Ayah khawatirkan adalah aku, makanya Ayah menitipkanku pada Yosfian. Tapi sekarang aku sudah dewasa, sudah bisa hidup sendiri. Jadi aku memutuskan memulai hidupku dari awal, nggak bergantung pada siapa pun lagi."
Setelah mengucapkan semua isi hatinya pada sang ayah, hujan mulai turun.
Keduanya tidak lagi berlama-lama dan turun gunung bersama.
Dalam perjalanan pulang, mungkin karena melihatnya sangat diam, Yosfian mencoba menenangkannya.
"Aku tahu kamu sangat kangen dengan guru, tapi dia sudah pergi. Aku akan selalu menemanimu. Kalau kamu sedih, kamu bisa mengobrol denganku."
Hestiana memang ingin mengobrol dengannya.
Tapi bukan tentang ayahnya yang sudah tiada melainkan tentang perceraian.
Dia menarik napas panjang, masih menyusun kata-kata, tapi telepon Yosfian tiba-tiba berdering.
"Pak Yosfian, ada masalah! Sesuatu terjadi pada Nona Marselia dan sekarang sedang dalam penanganan darurat di rumah sakit!"
Begitu mendengar kabar itu, Yosfian langsung menginjak rem, lalu menoleh ke arah Hestiana.
"Hestiana, kamu pulang naik taksi saja."
Mendengar nada paniknya yang begitu terburu-buru, Hestiana menunduk dan diam-diam membuka pintu mobil.
Dia berdiri di tengah hujan sambil memegang payung, melihat mobil sport itu melaju pergi. Dia membuka ponsel, bersiap memesan taksi.
Angin semakin kencang, membuat payungnya bergoyang dan hampir lepas dari genggamannya.
Dia menundukkan kepala, berusaha menghindari hujan yang menghantam wajahnya, tidak menyadari ada mobil yang melaju pelan dari depan.
Suara kencang terdengar, mobil itu menabraknya, membuatnya jatuh ke tanah.
Hujan mengguyur wajahnya tanpa ampun, darah mengalir seperti mata air deras.
Dia memegangi perutnya yang terasa sakit, wajahnya sepucat kertas dan kesadarannya semakin memudar ....