Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Pada tahun ketujuh pernikahan, Vania baru mengetahui bahwa suaminya memiliki seorang putra berusia enam tahun. Vania bersembunyi di belakang perosotan TK, memperhatikan Bastian yang sedang membungkuk dan menggendong seorang anak laki-laki sambil bercanda. "Papa, sudah lama Papa nggak datang mengunjungiku." Pria itu mengelus kepala sang anak, lalu berkata, "Nathan, Papa masih sibuk kerja, jadi kamu harus patuh sama Mama ya." "Deg!" Vania yang mendengar itu pun membeku di tempat, pikirannya seketika kosong. Papa? Mama? Pria dan anak laki-laki itu terlihat sangat mirip. Semua orang memberitahunya bahwa pria yang dulu bersumpah akan mencintainya selamanya, sebenarnya sudah berselingkuh! Mereka adalah teman masa kecil yang saling mencintai selama bertahun-tahun. Vania pernah ditusuk di perut saat berusaha menyelamatkan Bastian. Akibatnya, dia bukan hanya mengalami keguguran, tetapi juga tidak bisa hamil lagi seumur hidup. Saat itu, Bastian berlutut di sampingnya, kemudian berkata dengan mata memerah, "Nggak masalah kalau kita nggak punya anak. Asal bersamamu itu sudah cukup bagiku!" Suara Bastian yang bergetar waktu itu masih terngiang di telinganya. Namun, pemandangan di depan mata sekarang menghancurkan sumpah itu! Vania mundur dengan langkah terhuyung-huyung, dadanya terasa perih seolah ditusuk pisau berkali-kali. Dia tidak berani menatap ke arah sana lagi, takutnya dirinya akan menghampiri Bastian dan menuntut penjelasan darinya. Yang paling dia takutkan adalah mempermalukan dirinya sendiri, dengan menangis, sementara orang-orang mencibirnya. Dia berbalik dan segera meninggalkan tempat itu. Di depan gerbang sekolah TK, Helga Santoso, sahabatnya sudah menunggu cukup lama. Melihat wajah Vania yang pucat, Helga segera turun dari mobil dan bertanya, "Vania, ada apa denganmu?" "Rio bilang, kamu pergi mengambil barangmu yang tertinggal, sebenarnya apa yang terjadi?" Rio adalah putra Helga. Hari ini, Helga yang memaksa Vania ikut menemaninya menghadiri rapat orang tua. Dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca, Vania berkata, "Helga, bantu aku menyelidiki seseorang." "Siapa?" "Bastian ... " Sambil menelan ludah, Vania menjawab dengan suara serak, "Dia punya anak laki-laki." ... [Sayang, aku baru bisa pulang minggu depan, apa kamu merindukanku?] Vania membaca pesan yang dikirim oleh Bastian, air mata berlinang deras di wajahnya. Setiap bulan Juli, Bastian harus melakukan perjalanan dinas selama dua minggu, katanya dia pergi untuk mengawasi kantor cabang di luar. Selama enam tahun berturut-turut, Vania tidak pernah mencurigainya. Namun, fakta yang terjadi justru menamparnya. Vania bahkan mentertawakan kebodohannya. Ternyata Bastian bukan pergi dinas, melainkan pergi menemani selingkuhannya dan anak mereka! Jika bukan karena insiden hari ini, mungkin dia akan terus hidup dalam kebohongan suaminya. Seolah sedang menyiksa dirinya sendiri, Vania terus membolak-balik foto di tangannya. Di luar jendela, terlihat hujan turun sangat deras tanpa henti, sesekali kilat menyambar, menerangi wajahnya yang pucat seperti selembar kertas. Mungkin seharusnya sejak awal dia sudah bisa menduga hal seperti ini akan terjadi. Keluarga Alvaro termasuk keluarga kolot. Bagaimana mungkin mereka diam saja setelah mengetahui Nyonya Alvaro tidak bisa memiliki anak. Mereka sudah mengatur segalanya sebelumnya! Lalu, apa peran Bastian, pria yang katanya sangat mencintainya dalam semua ini? Vania merasa hatinya seperti teriris pisau. Dia dan Bastian adalah teman masa kecil. Semua orang mengatakan bahwa Vania dan Bastian akan selamanya bersama. Saat berusia delapan tahun, Vania jatuh dari pohon saat bermain. Tanpa menghiraukan bahaya, Bastian melindungi Vania dengan tubuhnya, sehingga mengalami patah tulang di lengan. Namun, Bastian masih bisa tersenyum dan berkata bahwa itu tidak sakit sama sekali. Pada usia dua belas tahun, saat menstruasi pertamanya membuat rok Vania menjadi kotor, jelas-jelas tahu apa yang terjadi, Bastian tetap ketakutan dan menangis sambil mengatakan bahwa pria itu rela mati demi dirinya. Pada usia delapan belas tahun, Bastian diam-diam pergi untuk ikut balapan. Pria itu mempertaruhkan nyawa demi memenangkan cincin untuk menyatakan cinta kepada Vania. Pria itu berkata, "Vania, aku akan mencintaimu selamanya." Cinta remaja yang menggebu-gebu telah berhasil menaklukkan hati Vania. Kemudian, pada malam sebelum pernikahan, Vania diculik oleh musuh Bastian dan dikurung selama tiga hari tiga malam. Ketika ditemukan, kondisi Vania sudah sekarat. Demi menyelamatkannya, Bastian dipukuli sampai tiga tulang rusuknya patah. Saat itu pula, Vania yang berusaha melindungi Bastian justru tertusuk, akibatnya dia tidak bisa memiliki anak lagi. Setelah mengetahui hal itu, bukannya Ellen, ibunya Bastian, tidak ingin memisahkan mereka. Ellen terpaksa merestui hubungan mereka karena Bastian berlutut selama tiga hari di aula rumah Keluarga Alvaro dengan tubuh penuh luka, tanpa makan maupun minum, bersikeras berkata, "Aku bersedia meninggalkan rumah Keluarga Alvaro asalkan bisa bersama Vania." Setelah sembuh, Bastian dan Vania segera melangsungkan pernikahan. Seluruh Kota Cemandi telah menyaksikan cinta mereka yang mengharukan. Namun, pada akhirnya, pria itu tetap mengkhianatinya. Ponsel Vania berbunyi. Muncul nama "suami" di layar ponsel, seolah menyindir dirinya. Vania mengangkat telepon dengan ekspresi datar. Begitu telepon diangkat, terdengar suara lembut Bastian. [Sayang, kamu sendirian di rumah, makan teratur nggak? Kangen aku nggak?] Kalau ini terjadi di masa lalu, Vania pasti terharu dengan kata-kata manis suaminya, dan menunjukkan perhatian yang sama tanpa ragu. Namun, sekarang ... Vania takut untuk berbicara. Jika dia berbicara, dia pasti akan meluapkan emosi kepada suaminya. [Sayang? Apa terjadi sesuatu? Jangan takut, aku pulang sekarang untuk menemanimu.] Suara Bastian terdengar cemas. Pria itu segera berdiri dan berniat untuk pulang. Sayangnya, Vania tidak ingin bertemu dengannya sekarang. "Aku baik-baik saja." Vania sudah berusaha menahan perasaannya, tetapi suaranya tetap serak. "Aku baik-baik saja, pekerjaanmu jauh lebih penting, nggak usah pulang sekarang. Aku hanya sedikit flu." Ini adalah pertama kalinya dia berbohong kepada Bastian. Pria itu sama sekali tidak menyadari apa pun, seolah perhatiannya teralihkan oleh sesuatu. Sebelum menutup panggilan, Bastian tetap dengan berpesan dengan cemas, [Kalau begitu, tidurlah lebih awal, jangan lupa telepon aku, ya. Jangan bikin aku khawatir.] Vania mengangguk. Ketika akan menutup telepon, Vania mendengar suara manja seorang wanita di telepon. [Bastian, Nathan sudah tidur, kita bisa ... ] Dia bisa mendengar suara napas pria itu menjadi lebih berat, kemudian telepon terputus. Vania tiba-tiba menggenggam ponselnya dengan erat, jari-jarinya menegang hingga memutih, tetapi tetap tidak mampu menahan rasa dingin yang menjalar dari dalam hatinya. Bastian dan wanita itu sedang bersama ... Vania tidak berani membayangkan lebih jauh! Vania mulai mengeluarkan suara isakan yang tidak terkendali, seolah ada sepasang tangan besar yang mencengkeram jantungnya erat-erat, membuatnya nyaris mati karena rasa sakit yang tidak tertahankan. Dia pernah terpikir Bastian tidak bisa meninggalkan wanita itu karena anak. Namun, sekarang tampaknya pria itu yang tidak rela meninggalkan wanita itu. Helga merasakan ada yang tidak beres, maka dia segera masuk ke dalam. Namun, saat melihat wajah Vania yang dipenuhi keputusasaan, Helga yang tadinya panik, sekarang tidak berani mendekat. "Vania, pria itu nggak pantas kamu tangisi." Suara tetesan air mata di atas foto terdengar jelas. Helga merasa kasihan, dia langsung memeluk Vania dengan erat, lalu memaki, "Vania, Bastian itu memang pria bajingan!" "Waktu dia melamarmu dulu, dia selalu mengucapkan janji-janji manis. Ternyata sekarang dia berani berselingkuh di belakangmu, bahkan memiliki anak!" Vania memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir tanpa henti, dia sudah membuat keputusan ...
Bab Sebelumnya
1/19Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.