Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Keesokan paginya, hujan telah reda dan langit cerah. Vania tidak tidur semalaman. Semua sudah dia pikirkan semalaman. Dia sudah pernah merasakan cinta yang tulus, tetapi mana mungkin dia sanggup menerima hati yang telah berubah? Wanita yang sangat mencintai Bastian, juga merupakan putri Keluarga Mireya. Dia tidak bisa menoleransi kebohongan sekecil apa pun. Setelah berpikir cukup lama, Vania menghubungi rumah Keluarga Mireya. "Ayah, seingatku, Keluarga Mireya ingin memperluas bisnis di Negara Caldera. Kebetulan suami Helga berasal dari Negara Caldera. Helga akan membawa anaknya kembali ke sana enam bulan lagi. Aku ingin ikut Helga ke sana." Rudi bingung. [Bastian yang menyuruhmu tanya?] "Nggak, kali ini keinginanku sendiri pergi ke sana." Vania tersenyum pahit. Semua orang mengira dia dan Bastian tidak terpisahkan, termasuk ayahnya. Rudi terkejut. Putrinya biasanya tidak mau jauh-jauh dari Bastian, mengapa tiba-tiba ingin pergi ke tempat yang begitu jauh? [Vania, Bastian melakukan kesalahan apa sama kamu?] tanya Rudi dengan serius. Vania menggigit bibir, akhirnya dia memutuskan untuk menyembunyikan kebohongan suaminya. "Ayah, jangan tanya sekarang. Setelah aku pergi ke Negara Caldera, aku akan cerita semuanya kepada Ayah." Keluarga Mireya dan Keluarga Alvaro adalah teman lama. Selama bertahun-tahun, hubungan mereka jadi makin erat berkat pernikahan Vania dan Bastian. Oleh karena itu, Vania tidak ingin masalahnya berdampak buruk bagi Keluarga Mireya. Akhirnya, Rudi tidak bisa menolak permintaan putrinya, dia pun setuju. [Baiklah, nanti datanglah ke Grup Mireya. Pelajari dulu pekerjaan yang akan kamu tangani.] Vania mengangguk. Setelah menutup telepon, dia beranjak dari tempatnya untuk mencuci muka, dia melihat bayangannya di cermin, matanya bengkak, hatinya rasanya pedih. Pengacara sudah mengirimkan surat cerai, tetapi dia masih belum memikirkan bagaimana cara memberi tahu Bastian. Mereka telah menikah selama bertahun-tahun, tidak semudah itu untuk melepaskannya. Dia merias wajah untuk menutupi mata sembapnya. Kemudian, dia mengenakan pakaian kerja yang rapi sebelum meninggalkan ruangan. Di lantai bawah, Helga sedang menemani putranya sarapan, sepertinya penampilannya kemarin telah membuat Rio ketakutan. "Tante sudah bangun!" Rio berlari ke samping Vania. Rio menarik tangan Vania, kemudian meniupi tangannya. "Mama bilang kemarin hati Tante lagi sedih, jadi aku tiupkan supaya Tante nggak sakit lagi." Anak kecil berusia enam tahun memang sangat polos dan tidak bersalah. Vania mengusap wajahnya sambil berkata, "Anak baik, Tante sudah nggak sakit kok, pergilah ke mamamu." Rio mengangguk dengan bingung, lalu berlari dengan ceria ke pelukan Helga. Vania teringat tawa dan canda Bastian dengan anaknya kemarin. Dia berpikir andai anak mereka masih hidup, seharusnya anak mereka usianya lebih besar sedikit dibandingkan anak itu. Vania menarik napas dalam-dalam, menekan rasa pedih di dalam hatinya, memberikan penjelasan singkat sebelum keluar. Namun, saat baru saja keluar dari pintu vila, dia melihat seorang pria yang berdiri di dekat Maybach tidak jauh darinya. Bastian tampak kelelahan. Sebatang rokok terselip di antara bibirnya, diisap pelan. Asap yang mengepul di sekeliling tubuhnya membuat wajahnya tidak terlihat jelas. Vania terkejut. Dari hasil laporan yang dia dapat, ulang tahun Soraya dan anaknya jatuh pada bulan Juli. Ulang tahun Soraya sudah lewat, tetapi ulang tahun anaknya belum tiba. Kenapa pria itu tiba-tiba kembali? Mungkin karena tatapannya terlalu tajam, pria itu refleks menoleh dengan pandangan rasa ingin tahu. Namun, saat melihat bahwa itu adalah Vania, tatapan pria itu yang semula redup itu tiba-tiba berbinar-binar. Dia melangkah cepat ke arah Vania dan memeluknya. Pelukan pria itu masih hangat, tetapi saat ini terasa panas dan membuat tubuhnya bergetar. "Apa flumu sudah membaik? Suaramu terdengar aneh, jadi semalam aku langsung pulang." "Sesampainya di rumah, ternyata kamu nggak ada. Jadi, kupikir kamu pasti ada di rumah Helga." Suara Bastian terdengar khawatir, ekspresinya tampak tidak sedang berpura-pura. Vania sampai sekarang masih tidak mengerti, mengapa pria yang mencintainya bisa dengan tenang menjalin cinta dan memiliki anak dengan wanita lain. Bibir Vania bergetar, berusaha menelan rasa sakit di tenggorokannya. Vania ingin bertanya, tetapi akhirnya hanya bisa berkata dengan ragu, "Aku baik-baik saja, aku baru mau pulang." Bastian menghela napas, kemudian berkata, "Lain kali, jangan lupa kasih tahu aku kalau kamu lagi sakit. Kalau nggak, aku cemas." Suara pria itu lembut dan berat. Untuk sesaat, Vania merasa seolah segalanya baik-baik saja, padahal itu hanya ilusi. Namun, di sudut matanya, dia melihat seorang wanita bertubuh ramping berdiri tidak jauh dari situ. Soraya berdiri di bawah pohon sambil memegang ponsel. Tidak lama kemudian, ponsel Bastian berbunyi ... Bastian menunduk dan melihat ponselnya, ekspresinya langsung berubah suram. "Ada urusan mendesak yang harus kutangani, aku harus segera ke kantor." Vania tertegun sejenak. Dia tidak buta, dia bisa melihat jelas nama "Soraya" muncul di layar ponsel Bastian. Rasa pedih menyelimuti hati Vania. Vania menahan perasaannya, kemudian berkata, "Baiklah, cepatlah pergi ke kantor, pekerjaan lebih penting." Bastian merasa bersalah, lalu mencium kening Vania sebelum buru-buru naik mobil dan pergi. Soraya memutuskan sambungan telepon setelah Bastian masuk ke dalam mobil. Dengan gaya lemah gemulai, Soraya menghampiri dan menyapa Vania, "Halo, Nona Vania, namaku Soraya Santoso. Aku adalah ... " Wanita itu tiba-tiba terdiam. Saat melihat bibir Vania terkatup rapat, akhirnya Soraya pun mengerti. "Sepertinya, Nona Vania sudah tahu tentangku dan Nathan. Kalau begitu, bersiaplah melihat pertunjukan seru."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.