Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Vania menghentikan sebuah mobil dan mengikuti Soraya dari belakang. Di rumah sakit, Vania berdiri di depan pintu ruang perawatan, menyaksikan semua yang terjadi di dalam. Seketika itu juga, dia merasakan nyeri yang menembus dadanya. Dia menggigit bibir dengan keras, menahan diri agar tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Saat ini, anak laki-laki Bastian sedang diinfus. Wajah anak itu terlihat pucat dan lemah, kondisinya sangat memprihatinkan. Bastian sangat panik, berjalan bolak-balik di ruang perawatan sambil berteriak penuh emosi, "Kalian semua nggak becus! Anak demam saja nggak bisa kalian obati!" Vania mengenali dokter yang sedang sibuk memeriksa di samping. Dokter itu adalah teman Bastian, Justin Wijaya. "Anakmu demam karena masuk angin. Kalau nggak bisa merawat sendiri, jangan luapkan emosimu pada rekan-rekan kerjaku!" "Bastian, aku nggak mengerti isi pikiranmu. Bukankah dulu kamu bilang akan mengusir dan memberi wanita itu uang setelah melahirkan? Kenapa sekarang kamu bawa anakmu yang demam ini ke sini? Bagaimana kalau sampai ketahuan oleh Vania?" Setelah terdiam lama, suara Bastian terdengar tidak berdaya. "Apa yang bisa kulakukan. Setiap kali mengusir Soraya, Nathan terus menangis. Bagaimana mungkin aku tega melihat anak ini terus menangis?" "Heh! Kamu yang paling tahu, yang nggak rela mamanya pergi itu anakmu atau justru kamu!" ujar Justin sambil mendengus sinis. Mendengar hal itu, Bastian makin gelisah. Dia mengusap dahinya yang sakit dengan keras. "Jangan bicara sembarangan! Aku hanya mencintai Vania seumur hidupku, tapi Keluarga Alvaro nggak boleh tanpa pewaris. Kamu harus membantuku merahasiakan hal ini dari Vania. Aku nggak ingin dia sedih." "Mengenai Soraya, dia telah melahirkan seorang anak untukku, tentu aku nggak boleh memperlakukan dia dengan buruk." Mendengar hal itu, Soraya masuk ke dalam sambil berurai air mata. "Bastian, semua ini salahku karena nggak merawat Nathan dengan baik. Setelah kamu pergi semalam, Nathan demam dan menangis ingin bertemu denganmu. Aku takut mengganggu kamu dan istrimu, jadi aku nggak memberitahumu ... " Bastian mengelus pipi anaknya yang panas, kemudian menghela napas, hatinya pun melunak. Dia memeluk wanita itu sambil menghiburnya, "Jangan menangis lagi, Soraya. Aku nggak bermaksud menyalahkanmu. Nathan adalah anak kita. Aku juga nggak menjalankan tanggung jawabku sebagai ayah dengan baik." Soraya menarik kerah baju Bastian, jari-jarinya menyentuh dada pria itu, lalu berkata, "Bastian, aku tahu nggak sebaik Nona Vania, tapi aku nggak mau melihat anak kita menderita ... " Dengan tatapan tajam, Bastian berkata, "Siapa yang berani membuat anakku menderita! Kamu harus perhatikan kesehatanmu juga. Lihatlah, matamu sampai sembap begini." Dia mengangkat tangannya, menghapus air mata Soraya dengan lembut. Pemandangan yang mesra itu menusuk hati Vania. Vania mengepalkan tangan dengan erat, hingga kukunya menusuk telapak tangannya dengan kuat, membiarkan kuku-kukunya menancap ke telapak tangan hingga meninggalkan bekas merah berbentuk bulan sabit, tetapi dia sama sekali tidak merasakan sakit. Sebesar apa pun rasa sakitnya, tetap tidak sebanding dengan perih di hatinya. Hujan deras kembali turun, sementara Vania meninggalkan rumah sakit. Dia berjalan di bawah guyuran air hujan dengan perasaan kosong. Hujan mengalir di pipinya, memburamkan pandangannya, tetapi tidak bisa menyingkirkan kekalutan di dalam hatinya. Saat dia tiba di Grup Mireya, pergelangan kakinya lecet akibat gesekan sepatu hak tinggi, bahkan sampai berdarah. Penampilannya membuat staf resepsionis terkejut. Staf itu segera mendekat untuk membantunya. "Nona Vania, apa yang terjadi? Perlukah saya hubungi Pak Bastian? Kalau Pak Bastian melihat Anda seperti ini, dia pasti sedih." Dada Vania terasa begitu sakit hingga mati rasa. Ya, semua orang selalu mengira Bastian sangat mencintainya. Namun, mereka tidak tahu, di balik cinta itu, betapa banyak kebohongan dan pengkhianatan yang dilakukan pria itu. Dia menolak bantuan staf itu dengan halus, kemudian berkata dengan suara serak, "Aku baik-baik saja. Tadi kehujanan di jalan. Tolong bantu kirimkan pakaian baru ke sini." Dia mengeluarkan dan menyerahkan kartu kredit hitam itu kepada staf, kemudian mengunci dirinya di dalam ruang rapat yang terdekat. Begitu pintu ruangan ditutup, Vania tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia mengira setelah melihat foto-foto itu, dia bisa lebih tegar menghadapi kenyataan. Namun, ketika melihat foto keluarga bahagia mereka, luka terdalam di hatinya kembali terkoyak berulang kali, hingga terasa perih dan berdarah lagi. Di dalam ruang rapat yang luas, terdengar suara jeritan Vania yang memilukan. Dia ingin sekali bertanya kepada Bastian, dulu pria itu bersumpah akan setia dan mencintainya selamanya, mengapa sekarang hati pria itu berpaling pada wanita lain, bahkan sampai memiliki anak ... Baru ketika suara ketukan pintu terdengar, barulah dia mampu menarik diri dari rasa sakit yang menyesakkan. Orang di depan pintu sudah pergi. Di depannya, hanya ada satu set pakaian baru dan kartu kredit hitam, di sampingnya ada segelas air hangat. Di bawah cangkir ada sebuah kartu yang bertuliskan, [Nona Vania, tenang saja, saya nggak akan menghubungi Pak Bastian. Saya tahu, Anda khawatir dia akan cemas.] Perasaan Vania menjadi campur aduk, akhirnya dia merobek kartu itu dan membuangnya ke tempat sampah. Dia membawa pakaian ke kamar mandi untuk ganti baju. Sesaat kemudian, dia kembali menjadi Nona Keluarga Mireya yang anggun dan tidak takut pada apa pun. Dia pergi ke kantor CEO dengan mengenakan sepatu hak tinggi, dan sibuk sepanjang hari. Selama itu, Bastian mengirimkan banyak pesan kepadanya, tetapi dia tidak membaca, apalagi membalasnya. Hingga sore hari, dia pulang ke vila dengan tubuh kelelahan. Dia berencana mengemasi barang-barang untuk dibawa pergi besok pagi. Tak disangka, saat dia membuka pintu, suara tawa seorang anak terdengar dari ruang tamu, Soraya juga tampak berdiri di sana!

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.