Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Seorang wanita mengenakan pakaian pelayan kediaman lama Keluarga Alvaro, tidak jauh dari sana, ada seorang anak laki-laki kecil yang membuat ruang tamu berantakan. Saat melihat Vania masuk, Soraya berdiri dari samping Bastian, kemudian menyapa sambil tersenyum lembut, "Nyonya sudah pulang. Saya adalah pelayan dari kediaman lama Keluarga Alvaro yang diminta untuk mengurus Tuan Muda Nathan." Vania tanpa sadar menggigit bibir, napasnya terasa sesak. Bastian, teganya kamu! Tega sekali dia membawa wanita dan anak itu ke rumah! Melihat ekspresi aneh Vania, Bastian segera menjelaskan, "Sayang, tadi sore aku sudah kirim pesan ke kamu, mungkin kamu belum lihat. Nathan adalah anak yang dibawa pulang Ibu dari panti asuhan, katanya anak itu berjodoh dengan kita." Semua emosi yang telah Vania luapkan di ruang rapat, kini kembali memenuhi hati Vania. Mereka mengira dia bodoh! "Bastian, kamu sengaja ingin menyakiti hatiku?" tanya Vania dengan suara bergetar, terdengar jelas Vania sangat marah. Mendengar itu, Bastian agak mengerutkan kening, dia tidak menyangka Vania akan bereaksi seperti ini. Bastian menjelaskan dengan panik, "Sayang, jangan marah!" "Kamu tahu sendiri kita nggak bisa punya anak untuk menjadi penerus Keluarga Alvaro. Aku nggak ingin kamu terus menangisi kematian anak kita, jadi aku menyetujui permintaan Ibu." "Kalau kamu nggak suka, aku akan usir anak ini!" Semua orang tahu, Bastian sangat mencintai Vania. Bagi Bastian, Vania selalu menjadi prioritas utama. Sama seperti sekarang, kalau Vania tidak menyukai anak itu, dia rela mengusir anak kandungnya sendiri. Namun, perhatian semacam ini justru membuat Vania muak. Saat Vania ingin mengatakan sesuatu, anak bernama Nathan itu tiba-tiba menangis keras. "Dasar wanita jahat! Papa, kenapa mau tinggal sama wanita jahat ini? Papa sudah nggak menginginkan Nathan lagi?" Tangisan anak itu nyaring sekali, membuat kepala Bastian sakit, lalu Bastian membentaknya, "Nathan, siapa yang mengajarimu bicara nggak sopan seperti itu!" "Kalian semua tuli ya? Cepat bawa Tuan Muda Nathan kembali ke kamarnya!" Beberapa pelayan buru-buru maju, lalu dengan panik membawa Nathan yang terus menangis ke dalam kamar. Soraya juga terlihat panik, dan terus meminta maaf. "Tuan Bastian, semua salah saya, jangan salahkan Tuan Muda Nathan." Sambil berbicara, Soraya menatap Bastian dengan penuh perasaan, membuat pria itu iba. Bastian menghela napas, kemudian berkata dengan suara lembut, "Aku nggak menyalahkannya. Dia masih kecil, nggak mengerti apa-apa. Cepat pergi urus dia." Vania menyaksikan semuanya, hatinya makin dingin. Dia meninggalkan Bastian dan langsung naik ke atas, menutup pintu tepat di depan Bastian yang menyusulnya di belakang. Bastian berdiri di depan pintu. Dia merasa frustrasi, tetapi dia tetap bersabar. "Sayang, semua salahku. Besok pagi aku akan usir anak itu." "Kalau kamu nggak mau kutemani, juga nggak apa-apa. Istirahatlah dulu. Kalau ada masalah yang mengganjal di hatimu, kita bicarakan lagi besok." Vania duduk bersandar di pintu, mendengarkan suara langkah kaki pria itu menjauh, rasa sakit di dadanya sudah begitu dalam sampai mati rasa. Anak itu diusir atau tidak, tetap saja itu anak kandungnya. Pada akhirnya, yang seharusnya pergi adalah dirinya! Vania tidak mengatakan apa-apa, hanya mengurung diri di dalam kamar. Dia bersandar di pintu yang dingin. Setelah mendengar suara langkah kaki pria itu makin menjauh, dia jatuh terduduk di lantai. Tubuh dan jiwanya lelah. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, suara notifikasi ponsel tiba-tiba berbunyi. Dengan gerakan yang kaku, dia menggeser layar, lalu mendapati sebuah permintaan pertemanan dari orang asing. Dari Soraya. [Nyonya Vania, kamu sudah menolak Tuan Bastian masuk kamar, jangan marah kalau dia datang mencariku ya.] Vania terkejut, matanya terbelalak, kemudian berdiri dan keluar kamar. Begitu keluar kamar, dia melihat lampu redup dari ruang kerja di ujung lantai dua. Pintu sedikit terbuka, dari celah pintu terdengar suara manja seorang wanita. "Bastian, sakit." Pria itu mendengus, kemudian berkata dengan kasar, "Sudah tahu sakit, tapi masih berani menggodaku? Setelah punya anak, kamu jadi suka berbuat seenaknya." Seketika itu juga, Vania seolah jatuh ke gua es, darah di sekujur tubuhnya membeku. Dia tidak menyangka, Bastian akan senafsu ini! Di dalam kamar, suara mesra mereka masih berlanjut. Sambil menahan desahan, Soraya berkata, "Bastian, tadi aku lihat wajahmu murung melihat sikap Nyonya, makanya aku datang untuk menghiburmu." "Kamu ke sini menggodaku karena kamu genit, jangan cari alasan lain. Ingat ya, kalau kamu mau Nathan tinggal di rumah Keluarga Alvaro, jangan buat Nyonya marah." Vania tidak sanggup mendengarnya lagi. Dia bahkan tidak sadar telah beranjak dari tempatnya. Sesampainya di kamar, dia berlari ke kamar mandi, berpegangan pada wastafel dan muntah. Setelah perutnya terasa keram, dia perlahan berdiri, lalu menatap wajahnya yang lusuh di cermin. Air matanya sudah kering. Bagaimanapun juga, dia adalah putri Keluarga Mireya yang bermartabat, tidak seharusnya terpuruk begini. Entah sudah berapa lama dia berdiam diri di dalam kamar mandi, tanpa terasa langit mulai terang, akhirnya dia berbaring di tempat tidur. Kali ini, dia memutuskan untuk meninggalkan pria itu.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.