Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Saat Caroline dibebaskan, kedua matanya memerah, seluruh tubuhnya basah kuyup seperti sehabis ditarik keluar dari air. Lucy berdiri di depannya dengan ekspresi puas, lalu berkata dengan sombong, "Kak Caroline, Kakak berharap kamu bisa tahu apa kesalahanmu dengan hukuman ini. Kalau kamu menindasku lagi, dia nggak akan mengampunimu begitu saja!" Caroline perlahan-lahan mengangkat tatapannya untuk meliriknya dengan tenang, lalu berbalik dan pergi. Tidak akan ada lain kali. Dia akan meninggalkan sepasang kakak beradik yang gila ini jauh-jauh. Sehabis melakukan pengobatan di klinik terdekat, Caroline melihat Lucy berjalan keluar dari kamar tidur utama sambil berjingkat-jingkat. Setelah itu, Caroline memeriksa kamar dengan saksama. Surat perjanjian perceraian dan dokumen imigrasi masih tersimpan dengan rapi di laci meja samping tempat tidur. Kata sandi brankas di dalam kamar hanya diketahui olehnya dan Paul. Untuk berjaga-jaga, dia memasang kamera tersembunyi di dalam kediaman ini. Proses imigrasi membutuhkan banyak dokumen, Caroline terus bepergian ke berbagai kantor selama beberapa hari ini untuk mengurus semua dokumen yang diperlukan. Kalau bukan karena terdapat acara pesta ulang tahun Grup Panger, dia mungkin baru akan kembali pada tengah malam. Caroline telah selesai berganti pakaian dan hendak mengeluarkan perhiasannya dari kotak perhiasan, tapi dia tiba-tiba menemukan jika terdapat banyak perhiasan berharganya yang menghilang. Pada saat ini pintu tiba-tiba terbuka. Paul yang sudah mengenakan tuksedo menatapnya. "Carol, di mana cincin giokku?" Nada suaranya sedikit kesal. Cincin giok adalah pusaka keluarga yang biasanya disimpan di dalam brankas dan hanya dikeluarkan saat menghadiri acara besar. Ini adalah simbol seorang kepala Keluarga Panger. Caroline memeriksa brankas. Tapi tidak hanya cincin giok, bahkan beberapa emas batangan yang dia simpan semuanya telah menghilang! Keributan ini sangat besar dan langsung menarik perhatian Lucy. "Kakak, apa yang sedang kalian cari?" Pada saat ini Lucy telah mengenakan gaun kuning pucatnya dengan kalung berlian yang besar, hal ini membuatnya terlihat sangat segar dan cerah. Terdapat tatapan terkejut yang melintas di mata Paul, lalu dia berkata sambil tersenyum dengan lembut, "Lucy, kenapa kamu datang ke sini?" Saat melihat wanita ini, Caroline langsung teringat dengan sikap mencurigakannya sebelum ini. "Lucy, cincin giok Paul hilang, emas batangan dan perhiasanku juga menghilang dengan misterius. Aku ingat kamu pernah diam-diam masuk ke dalam kamar kami." Mata Lucy langsung berkaca-kaca setelah mendengar ini, dia berkata dengan sedih, "Kak Caroline, apakah kamu sedang mencurigaiku?!" "Carol!" Paul berkata dengan ekspresi serius, "Jangan sembarangan tuduh Lucy tanpa bukti yang jelas." "Kakak, awalnya aku mau bantu Kak Caroline sembunyikan hal ini, tapi nggak disangka dia malah menuduhku!" Saat sedang berbicara, air mata Lucy mengalir tanpa henti. Suaranya juga tercekat oleh isak tangis. "Akhir-akhir ini Kak Caroline selalu bepergian keluar, lalu aku mengikutinya dengan penasaran, tapi aku lihat kalau dia curi cincin giok Kakak! Aku nggak mau rusak hubungan kalian, jadi aku merahasiakan hal ini ...." Lucy menatap Paul dengan mata yang berkaca-kaca dan terlihat sangat sedih. "Aku nggak nyangka dia malah akan tuduh aku, jadi aku terpaksa kasih tahu padamu. Kakak, kamu nggak akan menyalahkanku, 'kan?" Caroline menatap mereka berdua sambil berkata dengan tenang, "Aku pernah lihat tindakanmu yang mencurigakan, jadi aku bersikap lebih waspada." Dia berjalan ke arah bingkai foto pernikahan mereka, lalu mengeluarkan sebuah kamera tersembunyi. "Semuanya akan terungkap dengan jelas selama kamu periksa kamera ini." Raut wajah Lucy tiba-tiba berubah, dia meringkuk di dalam pelukan Paul dengan tatapan panik. "Kakak, apakah kamu juga nggak percaya denganku? Aku sendiri lihat kalau Kak Caroline menyembunyikan cincin giok di dalam aula leluhur!" "Kamu nggak perlu khawatir, aku memercayaimu." Paul menenangkan suasana hati Lucy dengan lembut, lalu menatap Caroline dengan dingin. Pria itu merebut kamera kecil itu, lalu melemparnya ke lantai dan menginjaknya sampai hancur. "Caroline, Lucy punya kartu nggak terbatas yang kukasih padanya, dia bisa pakai kartu itu untuk beli apa saja! Dia sama sekali nggak tertarik dengan barang-barangmu! Selain itu, siapa yang mengizinkanmu pasang kamera di kediaman ini!" Pada saat ini, pelayan yang ditugaskan untuk mencari telah kembali sambil membawa cincin giok dan emas batang. "Pak Paul, ucapan Nona Lucy benar. Kami menemukan benda ini di dalam aula leluhur." Saat mendengar ini, raut wajah Paul semakin memasam. Dia melangkah maju dengan cepat, lalu menampar Caroline. "Kenapa kamu berubah jadi seperti ini? Aku benar-benar kecewa denganmu!" Tamparan ini langsung membuat telinga Caroline berdengung, seolah-olah selaput tipis menyelimuti daun telinganya. Kekuatan yang sangat besar membuat tubuhnya terpental. Caroline menabrak vas bunga, lalu tersandung dan terjatuh di atas pecahan vas itu. Pecahan vas itu langsung menusuk punggungnya yang halus dan membuatnya mengerang kesakitan. Lucy sedikit mengangkat sudut bibirnya saat melihat hal ini. "Kakak, lupakan saja. Aku nggak mau rusak hubungan kalian. Sebenarnya ini semua adalah salahku! Sebaiknya aku ... pindah saja." Setelah mengatakan ini, dia berbalik, lalu pergi sambil menangis. Paul berjalan ke sisi Caroline, lalu menjambak rambutnya dan berkata sambil menggertakkan giginya, "Aku sudah pernah bilang kalau Lucy adalah adikku. Kenapa kamu harus paksa dia pergi?" Caroline mencibir. Adik? Apakah dia adalah adik yang bisa kamu tiduri?! Caroline berusaha keras menelan darah di tenggorokannya, lalu berkata sambil menatap mata pria itu, "Aku nggak berniat mengincarnya. Aku sudah bilang kalau semuanya akan terungkap setelah kamu periksa kamera itu." "Kamu masih saja keras kepala!" Paul menghempaskan kepalanya dengan kuat, membiarkan kepala Caroline terbentur sudut meja, lalu darah mengalir dengan deras. Setelah itu, Paul pergi tanpa menoleh ke belakang. Caroline menatap pria itu sambil mengerutkan bibirnya. Dia merapikan dirinya sebelum pergi ke perjamuan. Pada saat ini, tatapan semua orang tertuju padanya. Saat melihat bekas luka di sudut bibir dan luka di punggungnya, semua orang menatap Caroline dengan tatapan iba dan mengejek. Hanya saja Caroline tetap berdiri dengan tegak, seolah-olah tidak memedulikan tatapan aneh mereka. Sebentar lagi dia akan pergi. Hanya saja, kedua polisi memasuki aula perjamuan. "Kami menerima laporan pencurian di sini dan tersangkanya adalah ...." Polisi menunduk untuk melihat surat perintah penahanan di tangannya. "Caroline Yesna!" Semua orang langsung gempar. Tubuh Caroline menegang, dia menatap Paul dengan tatapan tidak percaya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.