Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Hal pertama, Caroline pergi ke firma hukum, lalu meminta mereka untuk membuatkan surat perjanjian perceraian. Hal kedua, dia kembali ke rumah Keluarga Yesna untuk membujuk kedua orang tuanya untuk berimigrasi dan meninggalkan Kota Jurin. Marco Yesna dan Sisca terkejut saat mengetahui pikirannya. "Caroline, dulu kami punya pikiran seperti ini. Tapi waktu itu kamu sangat mencintai Paul dan nggak mau meninggalkannya, jadi kami menghilangkan pikiran ini." Setelah itu, raut wajah Marco memasa. "Kasih tahu pada Ayah, apakah Paul menindasmu?!" Caroline menahan rasa gembiranya saat melihat orang tuanya masih hidup, lalu berkata sambil menggelengkan kepala, "Bukan seperti itu, Ayah. Aku sudah memutuskan untuk cerai dengannya." Marco menatap Caroline yang terlihat seperti sudah kehilangan semua semangat hidupnya dengan ekspresi masam, lalu tidak menanyakan apa pun lagi. Sisca menggenggam tangannya, lalu berkata sambil tersenyum dengan penuh kasih, "Caroline, kami menghormati setiap keputusanmu. Kami akan segera pergi melakukan prosedur imigrasi hari ini." Proses imigrasi membutuhkan waktu selama dua minggu, jadi Caroline meminta orang tuanya untuk mengurus hal ini, sedangkan dia kembali ke Keluarga Panger. Saat kembali ke vila, pelayan sudah merapikan kekacauan di ruang tamu. Semuanya telah kembali seperti semula pada saat ini. Paul dan Lucy sedang duduk di sofa sambil mengobrol. Saat melihat Caroline, Paul berkata, "Carol, kamu habis pergi dari mana? Aku nggak lihat kamu saat pulang." Langkah kaki Caroline berhenti saat mendengar ini, lalu menjawab dengan tenang, "Hm, tadi aku pulang ke rumah untuk menemui Ayah dan ibuku." Paul sedikit mengerutkan keningnya, lalu berkata dengan sedikit tidak senang, "Lucy baru saja keluar dari rumah sakit dan harus dirawat oleh seseorang. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya saat kamu meninggalkannya sendirian di rumah?" Caroline tersenyum mengejek. Di kehidupan sebelum ini, Paul juga mengatakan hal yang sama, meminta Caroline untuk bersikap sebagai seorang kakak ipar dan merawat Lucy dengan baik. Caroline dengan bodohnya menuruti hal ini, bahkan merahasiakan niatnya untuk membantu Lucy terlepas dari narkoba tanpa memberitahu Paul karena takut pria itu merasa sedih. Hanya saja, apa akhirnya? Dia meninggal tanpa memiliki tempat makam! Di kehidupan kali ini, dia hanya ingin merawat Ayah dan ibunya dan baik. "Ada ratusan pelayan di kediaman ini, apakah ini semua masih nggak cukup baginya?" Paul tertegun sejenak, dulu Caroline tidak pernah menentangnya seperti ini. Tiba-tiba sebuah perasaan kehilangan kendali muncul di dalam hatinya. "Kakak, aku baik-baik saja ...." Lucy berkata dengan penuh bijaksana, "Nggak peduli bagaimanapun juga Kak Caroline adalah Nyonya Panger, bagaimana mungkin dia punya waktu luang untuk merawatku?" "Dia juga merupakan kakak iparmu, bukankah dia seharusnya rawat kamu?" "Selain itu kamu terluka dan dirawat di rumah sakit demi menolongku, aku harus bertanggung jawab padamu." Pria itu berkata sambil mengelus rambut Lucy, lalu menatap Caroline dengan tatapan tegas. "Lucy harus sangat memerhatikan pola makannya akhir-akhir ini, dia harus makan makanan yang ringan dan nggak berminyak. Aku ingat kamu berasal dari Kota Garlan dan tahu cara buat sup. Mulai sekarang, kamu akan bertanggung jawab buat sup untuknya. Aku khawatir para pelayan nggak bisa buat sup dengan sepenuh hati." "Selain itu, simpan semua minum beralkohol di dalam rumah. Sebelum Lucy pulih, nggak ada orang yang boleh minum alkohol di dalam rumah." Pria itu memberi perintah dengan tenang. Caroline berdiri di tempat, hatinya mati rasa seperti sehabis disambar oleh petir. Sepertinya Paul sudah melupakan hal ini. Caroline pernah membuat sup sepanjang hari untuk merawat penyakit maag Paul. Pada suatu pagi, Caroline tiba-tiba jatuh pingsan. Serpihan tajam di lantai langsung memutus meridian di tangan kanannya dan membuat tangan kanannya lumpuh! Tatapan Caroline dipenuhi dengan ejekan, saat dia hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba terdengar nada dering ponsel. Paul melihat nama yang tertera di layar, lalu berkata dengan datar, "Aku akan jawab panggilan ini, kamu bisa bersiap-siap lebih dulu." Setelah itu dia berjalan ke halaman. Caroline tidak tertarik berdiri di sini sambil menatap Lucy, jadi dia berbalik untuk meninggalkan tempat ini, tapi ditahan olehnya. "Kamu mau pergi ke mana? Kakak minta kamu buat sup untukku!" Caroline menatapnya dengan dingin. "Kamu bisa cari Bibi Ana kalau mau minum sup. Aku adalah Nyonya Panger, bukan pelayan di Keluarga Panger. Selian itu, singkirkan tanganmu dariku." Sejak kapan Lucy pernah diperlakukan seperti ini oleh seseorang, dia langsung berkata dengan ekspresi cemberut, "Nggak boleh! Kakak sudah bilang kalau kamu harus ...." Kesabaran Caroline sudah menghilang dan hendak menepis tangannya. Tapi dia mendengar suara teriakan kesakitan dari seberang. "Ah!" Kepala Lucy terbentur meja kopi, darah langsung mengalir dengan deras dari kepalanya. Begitu mendengar keributan ini, Paul langsung berjalan masuk dan melihat adegan ini. Hatinya langsung dipenuhi oleh amarah. Dia segera menggendong Lucy, lalu meneriaki Caroline dengan marah. "Caroline, kenapa kamu dorong Lucy?" "Aku nggak dorong dia," ujar Caroline dengan tenang. "Dia sendiri yang jatuh dengan sengaja." Pada saat ini, wanita di dalam pelukan Paul perlahan-lahan membuka matanya, lalu berkata dengan lemah, "Kakak, jangan marahi Kak Caroline ... akulah yang nggak seharusnya minta dibuatkan sup padanya." "Kakak, apakah keberadaanku di sini sangat ganggu kalian? Bagaimana kalau aku pindah keluar saja?" "Apa yang kamu bicarakan!" Paul menutup bagian belakang kepala Lucy yang terluka, lalu membiarkan darahnya membasahi jasnya. "Kamu adalah adikku, nggak ada orang yang bisa usir kamu." Setelah itu, Paul menatap Caroline dengan tajam dan dingin. "Dan juga nggak ada orang yang bisa tindas adikku dengan sembarangan!" Caroline dikurung di dalam aula leluhur yang gelap gulita. Orang yang tidak memiliki klaustrofobia tidak akan pernah bisa memahami rasa takut terhadap ruangan sempit yang dialami oleh Caroline. Saat pintu dikunci, dia memukul pintu dengan keras sambil berteriak, "Paul, aku nggak pernah mendorongnya! Jangan tinggalkan aku sendirian di sini!" Hanya saja, dia hanya mendengar keheningan yang mematikan. Kegelapan tidak terbatas menyelimutinya, Caroline meringkuk di sudut dengan tubuh yang gemetaran. Caroline membenamkan kepalanya di antara kedua kakinya. Dulu saat Paul pertama kali mengetahui klaustrofobia Caroline, dia memasang lampu di setiap sudut Kediaman Panger. "Carol, mulai sekarang aku akan menemanimu di setiap malam." Pada saat itu, Caroline sangat terharu sampai menangis tersedu-sedu. Dia sama sekali tidak pernah menyangka jika Paul-lah yang akan mendorongnya ke dalam kegelapan!

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.