Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Keesokan paginya. Lindro dan Rivano pergi ke makam ayah dan ibu. "Ayah, Ibu, aku dan Vano datang menjenguk kalian." Dia meletakkan bunga di tanah, lalu mengusap dua foto yang telah menguning itu. Suaranya parau dan bergetar. "Maaf, butuh sepuluh tahun bagiku untuk datang. Sudah lama kalian menunggu bukan? Aku tahu apa yang ingin kalian tanyakan, kalian ingin tahu di mana Linza bukan?" Rivano menyambung perkataan itu. "Linza baik-baik saja. Kalian nggak perlu khawatir. Dia menikah dan punya keluarganya sendiri." Lindro terdiam beberapa saat dan tidak membantah. Aku mendongak dengan terkejut, dan seketika hidungku terasa perih. Mereka tetap menjaga martabatku. Rivano berjongkok, menyembunyikan wajahnya di lengan seperti seorang anak kecil, menangis hingga tak sanggup bersuara. Sepulang dari pemakaman, keduanya kembali berpapasan dengan Ritno. "Kak Ritno," sapa Rivano. "Aku akan pergi ke luar negeri lusa untuk menjemput orang." "Menjemput orang? Siapa?" Keduanya ragu sejenak. "Istri-istri kami." Ritno mengangguk, lalu teringat sesuatu. "Oh iya, aku baru pulang. Aku melihat seseorang yang mengikuti kalian dari belakang dengan sangat mencurigakan. Kalian kenal orang itu?" Keduanya membelalakkan mata dan menoleh ke arah yang dimaksud. Mereka melihat ujung pakaian seseorang yang belum sempat ditarik kembali. "Berhenti!" Lindro berteriak marah, ketangguhan fisik yang ditempa bertahun-tahun kerja paksa di penjara langsung menunjukkan hasilnya. Dalam sekejap, dia sudah menekan seorang pria berbaju hitam hingga tersungkur ke tanah. Rivano dan Ritno segera berlari menghampiri. Aku menatap pria yang berlutut di tanah itu, pupil mataku mengecil seketika. Itu dia! "Lepaskan aku!" Dia meronta, wajahnya memerah. Ritno menatap pria itu selama dua detik, merasa wajahnya begitu familier, seolah pernah melihatnya di suatu tempat. Belum sempat mengingat, sebuah mobil polisi menyusul dari belakang. "Terima kasih. Dia buronan, di tangannya sudah banyak nyawa melayang. Kami akhirnya berhasil menangkapnya. Terima kasih banyak!" Setelah mobil polisi pergi, Ritno tiba-tiba tersentak seolah mendapat pencerahan. "Aku ingat sekarang. Aku pernah melihatnya." Di bawah tatapan bingung dua orang, ekspresinya berubah serius. "Sepuluh tahun lalu, saat Linza datang mengantar kaset rekaman, dia duduk di mobil pria itu!" Langkah Lindro terhenti, badai langsung muncul di matanya. "Benar saja! Saat itu, Linza sudah bergaul dengan penjahat berbahaya!" "Entah keuntungan apa yang ditawarkan padanya, sampai-sampai dia tega mengkhianati kami dan membuat ayah-ibu mati, perbuatan yang bahkan lebih hina daripada binatang!" Rivano menarik napas panjang, menekan sesak di dadanya. "Lalu kenapa dia mengikuti kita? Jangan-jangan Linza tahu kita bebas dan nggak terima." "Apa dia juga ingin membunuh kita seperti dia membunuh ayah dan ibu?!" Karena marah, dia menendang tong sampah di sebelahnya. Tidak tahu apakah kemarahannya muncul karena diikuti atau karena terus dikhianati oleh orang yang dicintainya. "Linza! Ternyata kamu masih belum mau berhenti juga!" Bukan begitu! Aku berdiri di samping, panik dan tak tahu harus berbuat apa, melambai-lambaikan tangan berulang kali. Aku juga tidak tahu kenapa pria itu muncul! Namun semua penjelasanku sia-sia. Pada saat ini, Ritno yang sejak tadi diam bergumam pelan. "Bukan, menurutku, waktu itu Linza nggak terlihat dekat dengan pria itu." "Justru lebih terlihat seperti ...." Dia terdiam sejenak, lalu membuka mulut di tengah tatapan memerah kedua pria itu. "Disandera." Seluruh tubuhku bergetar, aku mendongak dengan terkejut. Bagaimana dia bisa tahu? "Disandera?" Lindro dan Rivano saling bertatapan. Keduanya melihat keterkejutan serta keraguan yang tak kunjung mereda dari mata masing-masing. Rasa gelisah melintas di hati mereka begitu cepat hingga keduanya tak sempat menangkapnya. "Kamu pasti salah lihat!" Entah kenapa dia secara naluriah membantah, "Di rekaman itu, Linza hidup bebas dan santai. Disandera? Hehe!" Ritno tidak berkata apa-apa, dia juga tidak yakin perasaannya itu benar atau tidak. Rivano mengernyitkan kening. "Kak Ritno, apakah kamu punya kontak Linza?" Ritno menggeleng. "Nggak ada. Aku hanya melihatnya sekali, sepuluh tahun yang lalu. Setelah menyerahkan kaset-kaset itu padaku, aku tak pernah melihatnya lagi." Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan berbicara ragu-ragu. "Kaset rekaman yang ke-sepuluh itu, bagaimana kalau kalian melihatnya? Aku selalu merasa ada sesuatu yang nggak kita ketahui." Lindro menolak tanpa perlu berpikir panjang. "Vano, untuk apa kau mencari perempuan biadab itu? Jangan-jangan kamu masih ingin bertanya kenapa dia mengkhianati Keluarga Gunawan?" "Jangan bodoh. Perempuan berhati sekejam ular seperti dia mana mungkin tahu apa artinya berbuat salah!" "Adapun kaset rekaman itu, sudah kubuang. Nggak akan ketemu, dan nggak perlu dilihat." Rivano menundukkan kepala, menekan bibirnya rapat-rapat. Dia tidak mengatakan apa pun, dia telah mengambil kembali kaset rekaman itu. Saat ini, istri Ritno tergesa-gesa turun dari lantai atas sambil terengah-engah. Dia berkata pada Lindro dan Rivano. "Kalian cepat pulang. Cucu pemilik rumah menerobos masuk, mengubrak-abrik kotak besi kalian, lalu memutar isinya." Jantung Rivano mencelos. Kotak besi itu! Dia menaruh kaset yang dia ambil diam-diam di dalam kotak besi itu! Mereka berdua buru-buru kembali ke rumah. Kebetulan melihat bocah nakal itu mengutak-atik kaset rekaman dan menekannya untuk diputar. Sosok yang familier tiba-tiba muncul dari layar. "Kak Lindro, Kak Rivano, saat kalian melihat ini ...."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.