Bab 4
Sebelum sosok di dalam video selesai berbicara, Lindro sudah lebih dulu bergegas ke depan dengan wajah kelam dan mencabut kaset itu.
"Enyah!"
Bocah itu terkejut, menangis keras sambil berlari keluar.
Rivano merasa bersalah.
"Kak, aku ...."
Lindro melemparkan kaset itu ke arah Rivano, napasnya memburu, dadanya naik turun hebat.
"Rivano, kenapa masih membawa pulang barang-barangnya?!"
"Sudah hilang akal ya? Dia menyebabkan ayah dan ibu meninggal, membuat kita dipenjara sepuluh tahun, tapi kamu malah masih belum bisa melepaskannya!"
Rivano menekan bibir, wajahnya sedikit memucat.
Ritno menghela napas pelan. Bahkan hakim yang paling adil pun sulit mengurus urusan keluarga orang.
Dia melangkah maju dan menepuk bahu Lindro.
"Lindro, aku tetap percaya pada perasaanku. Kalau Linza benar sekejam seperti yang kamu katakan ...."
"Kalau kesedihan yang begitu memilukan di penjara hari itu hanyalah sandiwara, maka kemampuan aktingnya sungguh terlalu hebat."
"Kamu nggak tahu, hari itu gadis itu menangis begitu keras hingga memuntahkan darah."
Tubuh mereka menegang seketika.
Di mata mereka terselip kilatan keterkejutan dan kebingungan.
Mataku bergetar halus.
Hari itu, aku menukar kesempatan untuk melihat mereka untuk terakhir kalinya dengan nyawaku.
Mati pun aku sudah tidak menyesal.
Wajah Lindro menegang kaku, dia memaksa menekan kembali kepanikan yang mendadak melonjak di dalam dadanya.
Dalam sekejap, seluruh ruangan diliputi keheningan.
Setelah lama terdiam, Lindro yang menunduk akhirnya menatap Ritno. "Kamu selalu merasa Linza orang baik bukan?"
Dia terkekeh sinis, mengabaikan nyeri yang menusuk di hatinya.
"Bukan hal aneh kamu tertipu olehnya. Bukankah kami juga sudah ditipunya selama lebih dari dua puluh tahun?"
Sambil berbicara, dia masuk ke kamar dan membawa keluar sembilan kaset.
"Tonton saja. Setelah menontonnya, kamu akan tahu persis makhluk seperti apa Linza itu."
"Kakak ..." bisik Rivano pelan.
"Nggak masalah. Lagi pula besok sudah pergi dan nggak akan kembali lagi. Semua hal di sini tak ada hubungannya lagi dengan kita."
Ritno secara refleks duduk tegak, menatap layar televisi tanpa berkedip.
Krak.
Kaset pertama mulai diputar.
"Lindro, Rivano, apakah kalian sangat menderita di penjara? Biar kuberi tahu kalian, rahasia perusahaan itu aku yang membocorkannya. Kalian nggak perlu bertanya kenapa, karena aku membenci kalian, aku muak pada kalian! Di Keluarga Gunawan, aku hanyalah orang bodoh!"
Mata Ritno penuh dengan keterkejutan.
Lindro menarik sudut bibirnya, menampilkan senyum yang begitu pahit.
"Keadaan aku dan Rivano saat pertama kali dipenjara, kamu juga tahu. Setelah ayah dan ibu meninggal, kami sama sekali nggak ingin hidup lagi."
"Itu karena kekejamannya, untuk pertama kalinya aku merasa harus tetap hidup demi membunuhnya."
Kaset kedua mulai diputar.
"Kedua kakak ipar sudah kulempar ke daerah kumuh di luar negeri. Entah mereka masih bisa hidup atau nggak. Saat kalian keluar nanti, kalian pasti akan dijauhi semua orang. Jangan bermimpi menemukan aku, hidupku pasti jauh lebih bahagia daripada bayangan kalian."
Lindro memejamkan mata, remote di tangannya hampir hancur karena diremas terlalu kuat.
"Sudah lihat bukan? Linza yang kamu sebut-sebut baik hati itu bahkan nggak melepaskan dua wanita yang nggak bersalah."
"Aku bahkan nggak berani membayangkan seperti apa kehidupan yang harus mereka jalani selama bertahun-tahun ini!"
Rivano menundukkan kepala, kedua tangannya terkepal erat.
Dia menekan kebencian di hatinya dan juga sebersit kesedihan yang enggan dia akui.
"Kak Ritno, mulai sekarang jangan membelanya lagi. Dia nggak pantas."
"Tapi ..." Ritno ragu sejenak dan terdiam sejenak. "Aku tetap percaya pada apa yang kulihat sendiri."
Aku berjongkok di samping, sudah sejak tadi menangis tersedu-sedu.
Bukan begitu ....
Maaf ... sungguh maaf ....
Namun, aku tidak tahu harus berbuat apa, yang bisa kulakukan hanyalah membiarkan kepedihan di dada ini mengamuk sesukanya.
Pada saat ini, cucu pemilik rumah yang nakal itu kembali berlari masuk.
Sebelum ada yang bereaksi, dia menekan tombol putar pada kaset terakhir, menyeringai nakal dengan ekspresi penuh tantangan.
"Hentikan!"
Lindro membentak marah dan baru hendak melangkah maju untuk mematikan rekaman itu.
Namun, yang terdengar adalah helaan napas yang sangat lemah.
"Kak Lindro, Kak Rivano, saat kalian melihat ini, pergilah ke pemakaman Jayatama, nomor 19."
Mereka semua membeku bersamaan, lalu refleks menoleh ke layar.
Tampak orang di dalam rekaman itu tersenyum tipis, tatapannya dipenuhi kepahitan.
"Itu ... adalah makamku."