Bab 1
Saat aku dilecehkan oleh klien, Jeffry Wenarto, malah sedang asyik minum anggur bersama asisten wanitanya.
Agar tidak menyinggung klien, aku minum sampai keracunan alkohol dan hampir tak bisa bernapas.
Namun, Jeffry tetap tidak melirikku, sibuk membantu sang asisten wanita memisahkan daun ketumbar dari mangkuknya sambil menenangkannya agar mau makan.
Setelah jamuan selesai, hanya karena si asisten mengeluh bosan, dia langsung mengusirku dari mobil dan hendak mengajak wanita itu ke acara berikutnya.
"Beberapa waktu ini dia sibuk terus bekerja, jadi aku ajak dia bersantai sebentar."
"Kamu juga nggak akan mengerti proyek anak muda seperti ini, lebih baik nggak usah ikut."
"Dan lagi, malam ini aku masih mau bersenang-senang dengan si gadis kecil itu. Urusan mendaftarkan pernikahan besok, kita tunda saja lain waktu."
Upacara pernikahan kami sudah berlangsung lima tahun lalu, tapi ini sudah kali ke-99 Jeffry membatalkan jadwal pendaftaran nikah secara sepihak.
Aku mengangguk. Kalau dia selalu sibuk, sepertinya surat itu memang tak perlu diurus lagi.
...
Dari jendela mobil yang setengah terbuka, Rosa tersenyum pura-pura polos sambil meminta maaf padaku.
"Maaf ya, Kak Katya. Salahkan Kak Jeffry ini yang terlalu memanjakan aku. Nanti saat dia pulang, pasti aku suruh dia bawakan camilan malam untukmu!"
Belum sempat aku menanggapi, Jeffry sudah lebih dulu mengusap kepala gadis itu sambil tersenyum.
"Dasar anak kecil, kamu yang rakus, memangnya kamu pikir semua orang sama kayak kamu?"
"Biar saja, jangan sampai nanti dia makan lalu bilang keracunan atau alergi lagi. Aku nggak punya waktu menghadapi drama kayak begitu."
Ternyata tadi dia bukannya tidak melihat aku kesakitan, tetapi mengira aku sedang pura-pura karena cemburu.
Biasanya dalam situasi seperti ini, aku pasti sudah menangis sambil menjelaskan dan bertengkar dengannya.
Namun kali ini, aku tidak berkata apa pun, hanya berpesan ...
"Baiklah, semoga kalian bersenang-senang."
Mendengarnya, Jeffry tertegun sejenak, lalu kembali bersikap sinis. "Kalau kamu nggak membuat keributan, itu lebih baik."
Mobil itu melaju pergi. Sebelum berangkat, Jeffry bahkan sempat menurunkan seluruh jendela mobil, takut Rosa merasa pengap.
Aku mudah mabuk kendaraan, terutama ketika naik mobil Jeffry.
Namun, dia tak pernah mau menurunkan kaca untukku.
"Kalau kena angin, debunya masuk semua. Bisa nggak kamu jangan manja?"
Aku sudah paham semuanya, melepaskan cincin kawin dari jariku, dan melemparkannya ke dalam derasnya arus sungai malam itu.
Keesokan paginya, aku datang lebih awal untuk menyelesaikan serah terima pekerjaan di orkestra.
Sejak debut sebagai pianis genius, akulah yang selalu menjadi manajer Jeffry.
"Kamu mau mengundurkan diri? Apa Jeffry sudah tahu?" tanya Bos dengan kaget.
"Kalau manajer baru sudah datang, dia akan tahu sendiri."
Setelah itu, aku keluar dari kantor, menuju ruang pertunjukan.
Kebetulan aku berpapasan dengan Jeffry yang memakai kemeja baru, tubuhnya masih beraroma sabun mandi.
Dia memutar pergelangan tangan sambil menunduk sedikit untuk melihatku.
"Tadi malam aku terlalu banyak minum, jadi nggak berani menyetir. Aku buka kamar sendiri untuk istirahat, makanya nggak pulang."
Sepuluh tahun sejak kami bersama, ini pertama kalinya Jeffry berinisiatif menjelaskan sesuatu padaku.
Aku hanya mengangguk, tidak berkata apa pun.
"Pagi ini kamu ada tugas mendadak?" tanyanya lagi.
Aku menatapnya, teringat setiap kali ada jamuan, keesokan subuhnya aku selalu bangun jam lima atau enam untuk menyiapkan sup penawar alkohol dan makanan hangat untuknya.
Sejak Jeffry debut di usia delapan belas tahun, semuanya selalu begitu. Jadi ketika pagi tadi dia pulang dan tidak melihat apa pun, wajar bila dia bingung.
Aku kembali mengangguk. "Bisa dibilang begitu."
Baru saja hendak pergi, Jeffry, yang sejak tadi sedikit mengernyit, menarik tanganku dengan wajah masam.
"Katya, sudahlah."
"Hanya mengganti tanggal pendaftaran nikah, bukan berarti nggak jadi. Kalau kamu terus berulah, jadinya nggak lucu lagi!"