Bab 4
Jeffry berkata dengan nada meremehkan, "Sampai saat ini aku selalu mengandalkan kemampuanku sendiri."
"Dia paling-paling hanya menumpang nama besarku. Sekarang usianya juga makin tua, aku malah nggak bisa membawanya tampil di depan umum!"
Pandangan kembali ke arah panggung. Rosa berdiri di sisi Jeffry dengan senyum yang cerah.
Sorotan lampu jatuh pada keduanya, memang terlihat cukup serasi.
Tepat pada saat itu nada notifikasi ponsel berbunyi, aku menerima pesan bahwa pengajuan visaku sudah disetujui.
Ketika aku sedang membereskan barang-barang di rumah, Jeffry pulang.
Dia melemparkan botol obat berwarna cokelat ke arahku.
"Ini aku bawakan obat untukmu."
Aku mengambil botol itu, botol yodium yang baru saja kulihat.
Dalam unggahan Rosa, Jeffry menggunakannya untuk mengoleskan obat padanya.
Namun, aku alergi terhadap yodium.
Jeffry baru memulai kariernya pada usia delapan belas tahun, dan dengan bakat luar biasanya, dia sudah menunjukkan aura seorang maestro. Namanya langsung melesat dan tidak tertandingi.
Seorang musisi berpengaruh di dalam industri itu tidak senang, lalu sengaja menyuruh orang untuk melukai tangannya.
Saat itu aku nekat berdiri mengadang di depan Jeffry.
Meski hanya terluka ringan, rekan di orkestra tanpa sengaja mengoleskan yodium untuk mensterilkan lukaku.
Aku langsung mengalami syok alergi parah, hingga dilarikan ke rumah sakit darurat dan menjalani operasi hampir sehari semalam sebelum berhasil diselamatkan.
Kudengar dari rekan-rekan, selama aku berada dalam kondisi kritis itu, Jeffry terus menangis di depan ruang operasi.
Setelah kembali ke orkestra, dia bahkan sangat marah, membuang semua yodium dan membuat aturan bahwa benda itu tidak boleh ada lagi di situ.
Tak kusangka sekarang justru dia sendiri yang melanggar aturan itu.
Aku menunduk dan membuang yodium itu ke tong sampah.
Melihat tindakanku, Jeffry hanya mendengus dingin tanpa emosi.
"Mau pakai ya silakan, nggak mau ya terserah!"
Suara notifikasi pesan masuk berbunyi. Jeffry melirik ponselnya, ekspresinya kembali melunak.
Dia berkata dengan lembut ...
"Anak manis, ingat ya, luka itu jangan sampai kena air."
"Sementara ini kamu harus jaga makananmu, nanti setelah sembuh Kakak bawa kamu makan yang enak."
Mungkin karena terkejut melihat aku terlalu diam, Jeffry melirikku beberapa kali dari ekor matanya.
Akhirnya dia tidak tahan lagi dan membuka percakapan.
"Apa yang terjadi hari ini hanya sebagai peringatan. Bagaimanapun kamu tahu, ada banyak permainan kotor di orkestra ini."
"Aku menghukummu seperti itu juga untuk memberi pelajaran bagi yang lain."
"Sekarang aku memperhatikan Rosa pun supaya kamu nggak dijadikan bahan gunjingan."
Aku mengangguk, tidak membantah dan tidak berusaha menjelaskan lagi.
"Aku bisa memahaminya."
Jeffry jelas tertegun, perasaan aneh merayap di hatinya.
Dia masih ingin mengatakan sesuatu, tapi aku sudah masuk ke kamar mandi untuk membereskan perlengkapan.
Di sudut wastafel yang mencolok, tergeletak sehelai celana dalam renda warna merah muda yang bukan milikku.
Di luar pintu, terdengar pesan suara dari ponsel Jeffry.
[Kak Jeffry, celanaku yang tadi pagi kupakai, tertinggal di kamar mandimu, lupa aku bawa pulang, hiks ... ]
[Bisa tolong antarkan nggak? Dan aku suka sekali aroma sabun mandimu itu, bisa kamu bawakan satu botol juga untukku?]
Pantas saja, pagi tadi Jeffry memakai kemeja dengan warna yang tidak biasanya dia pilih.
Aroma sabun mandinya juga aroma yang berbeda dari yang biasa dia gunakan di rumah.
Ternyata dia benar-benar menuruti perkataan gadis itu.
Sambil mendengarkan pesan suara itu, Jeffry bergegas berjalan ke arah sini.
Begitu masuk, dia langsung melihat aku dan pakaian dalam merah muda yang ada di tanganku.