Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

"Katya, di mana cincinmu!?" "Jangan bilang kamu nggak sengaja meninggalkannya di rumah!" Aku tahu kenapa dia bereaksi seperti itu. Selama delapan tahun pernikahan, cincinku tak pernah lepas dari jariku. Tapi cincinnya, justru tidak pernah dia pakai saat berada di luar. Dengan melihat keadaan sebelumnya, jelas ada sedikit rasa tak tenang di mata Jeffry. Dia menggenggam tanganku erat-erat, menatapku tanpa berkedip. "Ayo, bicara!" Aku berniat untuk jujur, namun saat itu Rosa tiba-tiba menjerit sambil menangis. "Ah! Sakit sekali, Kak Jeffry ... huhuhu ... " Semua orang mengikuti arah suara itu, dan melihat Rosa terjatuh di lantai dekat grand piano, telapak tangannya terbuka dengan luka goresan yang berdarah. Jeffry mendorongku menjauh, lalu buru-buru berlari dan merangkulnya. "Kenapa bisa begitu ceroboh!" Air mata Rosa membasahi seluruh wajahnya, tubuhnya bersembunyi di pelukan Jeffry. Dia menoleh ke arahku beberapa kali, tampak takut dan merasa tersakiti. "Aku juga nggak tahu ... huhuhu ... padahal Kak Katya seharusnya sudah memeriksanya tadi malam. Aku benar-benar nggak mengerti kenapa ada pecahan kaca sebesar itu di atas penutup piano ... " "Hu ... Kak Jeffry, aku benar-benar kesakitan ... " Pandangan Jeffry jatuh pada pecahan kaca berlumur darah di atas penutup grand piano, dan jelas tampak kemarahan di wajahnya. Detik berikutnya, dia menatapku tajam dan membentak. "Katya, sekarang kamu sudah sejahat itu, sampai ingin mencelakai orang lain!?" "Cepat ke sini dan minta maaf!" Sambil mengabaikan tatapan meremehkan dari orang-orang di sekitar, aku berjalan mendekati mereka. "Bukan aku yang melakukannya." "Kalau bukan kamu, siapa lagi! Semua orang di orkestra tahu kamu tukang ngatur, dan piano itu selalu kamu sendiri yang periksa!" Setelah memarahiku, tanpa banyak bicara, Jeffry mengambil sebuah ornamen kecil dari keramik di samping piano dan membantingnya ke lantai. Lalu dia menarik tanganku dan menekannya ke pecahan keramik yang berserakan. Kedua tanganku langsung berlumuran darah, dengan banyak pecahan kecil menancap di kulitku. "Ini hukuman dariku! Nggak ada yang boleh membantunya membersihkan!" "Aku akan menunggumu merenungkan semuanya, dan datang minta maaf!" Setelah berkata begitu, Jeffry mengangkat Rosa dan pergi tanpa menoleh. Mataku terasa panas dan pedih, penglihatanku menjadi kabur. Air mataku jatuh satu per satu ke atas pecahan keramik yang hancur. Luka itu sangat sakit, tapi rasa di hatiku jauh lebih menyiksa sampai nyaris membuatku sulit bernapas. Dua figur kecil dalam ornamen keramik itu sudah hancur, dan kantung jimat di dalamnya pun terjatuh keluar. Ornamen itu adalah benda yang Jeffry pesan khusus dari sebuah kuil ketika melamarku. Saat itu, mata pemuda itu hanya tertuju padaku, sambil berkata ... "Katya, aku sudah buat nazar. Kita harus bersama seumur hidup." Namun sekarang, justru dia sendiri yang mengingkari sumpah itu. Aku mengumpulkan seluruh pecahan itu, lalu bersama sisa kenangan dan rasa enggan yang masih tertinggal, semuanya kubuang ke tempat sampah. Saat aku melewati aula utama, Jeffry baru saja selesai tampil. Tepuk tangan menggema di seluruh gedung, Jeffry tampak penuh percaya diri, turun panggung lalu menggandeng tangan Rosa untuk naik bersama memberikan hormat. Momen puncak seorang seniman seperti ini sudah sering dia lalui. Tak lama sebelumnya, aku sempat tak sengaja mendengar sang Bos bertanya padanya, "Katya sudah bekerja keras sebagai manajermu selama bertahun-tahun. Kalian pasangan sekaligus rekan kerja, kenapa nggak pernah mengajaknya naik untuk memberi salam bersama?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.