Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Tubuh Nia sontak kaku, wajahnya juga langsung memucat. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mendorong Satya, lalu bersandar ke kepala kasur. Satya mengerutkan kening dan menatapnya sejenak. Dia menaikkan alis sambil berkata, "Masih marah?" Dia mengusap alisnya sama seperti yang Toni biasa lakukan. Bahkan suaranya juga terdengar mirip suara Toni. Kalau bukan karena Nia mendengar sendiri bagaimana Toni rela jadi perjaka demi menjaga kesucian Winda, Nia sama sekali tidak akan bisa membedakan Satya dan Toni. Satya kembali mendekati Nia, kedua tangannya sudah memegang belakang kepala wanita itu, ujung hidung mereka juga sudah bersentuhan. "Aku kan sudah menjelaskannya ke kamu hari ini. Cuma kamu yang ada di hatiku, aku nggak akan menikah kalau bukan denganmu." Satya mencoba menciumnya. Nia membelalakkan mata dan refleks menghindar. Dia bahkan sampai mual. Dia benar-benar mual sampai kedua matanya memerah. Dia mendorong Satya dan langsung lari ke kamar mandi. Satya menatap punggung Nia sambil mengerutkan kening, dari sorot matanya, dia sepertinya terpikirkan sesuatu. Sementara itu, Nia yang ada di dalam kamar mandi pun langsung bersandar ke dinding. Dia berjongkok pelan di lantai. Suara Satya di luar kamar mandi tiba-tiba saja terdengar sampai ke dalam. Pria itu berkata, "Kalian dengar nggak? Nia tadi mual-mual, masa dia hamil?" Segera setelah itu, terdengar suara orang-orang ribut sekaligus kaget. Salah satu teman Satya bahkan berkata, [Jangan kebablasan, Satya! Bagaimana kalau dia malah jadi mengejarmu setelah kebenaran terbongkar?] Punggung Nia sontak menegang, hawa dingin terasa menyapu tubuhnya. Dia sadar bahwa panggilan telepon di ponsel Satya masih terus tersambung. Suara Winda kemudian terdengar di telinga, [Toni, Satya, jangan keterlaluan ... ] [Keterlaluan?] Toni berkata dengan sinis, [Dia sudah menargetkanmu dari dulu, dia pantas dihukum begini.] Winda berkata dengan cemas, [Tapi bagaimana kalau Nia memang hamil?] Setelah hening sejenak, kedua pria itu kompak berkata, "Nggak mungkin!" Dari seberang telepon, Toni terdengar berkata dengan sinis, [Kalau memang dia hamil, janinnya harus segera digugurkan. Kamu setuju kan, Satya?] Satya menelan ludah, baru menjawab, "Te ... tentu saja." Entah kenapa dia sedikit tidak tega. Detik berikutnya, dia melihat Nia membuka pintu. Wanita itu menatapnya tajam dengan wajah yang pucat. Jantung Satya seolah berhenti sesaat saking kagetnya. Dia segera mengakhiri panggilan telepon, lalu menghampiri Nia. "Kamu kenapa, Nia? Wajahmu pucat sekali? Kamu nggak enak badan? Jangan-jangan ... kamu hamil?" Nia menatapnya serius, lalu tersenyum dan menjawab, "Nggak, cuma mag kambuh saja." Keesokan harinya, Nia pergi ke rumah sakit untuk melakukan aborsi sesuai jadwal. Dokter yang melakukan tindakan kebetulan mengenalnya, kemudian menasihatinya, "Nia, janinmu sudah tujuh minggu, dan kondisinya juga sehat, kamu yakin mau menggugurkannya?" Nia mengangguk, dia terlihat sudah bertekad. "Akan tetap kugugurkan." Hari sudah siang saat Nia keluar dari rumah sakit. Toni meneleponnya, tidak lama kemudian, mobil pria itu sudah berhenti tepat di depan pintu rumah sakit. Pria itu bergegas turun dari mobil dan membukakan pintu penumpang di depan. "Ayo, kita pergi makan." Dua orang itu hanya diam di sepanjang perjalanan, tapi senyuman di sudut bibir Toni tidak pernah sirna. Lagu yang terputar di dalam mobil merupakan lagu kesukaan Winda semasa kuliah. Lagu ini juga lagu yang paling Nia benci. Begitu sampai di restoran, dia langsung melihat Winda dan Satya sudah menunggu di sana. Winda menunjuk kue di atas meja dan berkata, "Nia, kemarin aku sudah kelewatan. Ini kue yang sedang viral di internet, aku sengaja membawakannya sebagai bentuk permintaan maaf. Kamu harus mencobanya." Selama makan, Winda terus membicarakan masa kecilnya bersama Toni dan Satya. "Toni dan Satya sangat peduli padaku sejak kami kecil. Waktu main rumah-rumahan dulu, mereka sampai rebutan mau jadi suamiku." "Pernah suatu kali, aku naik ke pohon dan nggak bisa turun. Toni rela tengkurap di tanah dan jadi pijakanku." "Waktu SMP, ada cowok-cowok yang mencoba mengintimidasiku, Toni dan Satya sampai terluka parah demi melindungiku. Mereka bahkan harus dirawat di rumah sakit lumayan lama." Toni dan Satya tersenyum sambil mengiakan. Mereka bertiga mengobrol hangat, hanya Nia yang sedari tadi diam. Winda lalu tiba-tiba menatapnya. "Nia, kenapa diam saja? Kamu masih marah padaku?" "Aku tahu dulu kita sempat salah paham waktu masih kuliah. Tapi sekarang kamu kan sudah mau nikah sama Toni, kuharap kita bisa jadi sahabat juga." Winda mengangkat gelas anggur sambil tersenyum menatap Nia. Nia terdiam lama dan tidak menatap balik Winda. Dia tiba-tiba mencengkeram dadanya, napasnya jadi berat. Dia kesulitan bernapas. Bercak merah berukuran besar juga mulai muncul di lengan Nia. Dia pun segera mengambil obat alergi dari dalam tas. "Kamu alergi?" Toni tiba-tiba berdiri dan mencoba mengambil tasnya. Nia alergi kacang. Dia biasanya sangat berhati-hati, bahkan selalu membawa obat alergi untuk jaga-jaga kalau suatu saat tidak sengaja memakan kacang. Obat alergi itu akan menyelamatkan nyawanya di saat genting. Nia sudah berhasil mengambil obat itu. Tepat saat itu, Winda terdengar berkata, "Toni ... aku ... nggak enak badan ... " Winda juga mencengkeram dadanya, wajahnya memucat dan akhirnya jatuh pingsan ke belakang.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.