Bab 4
"Omong kosong!" Sandra meledak, suaranya melengking seperti kucing yang ekornya terinjak. "Kalau dia tahu, dia justru akan bersyukur pengantinnya diganti denganku! Aku nggak bilang apa-apa karena ingin memberinya kejutan di hari pernikahan. Jadi, sebaiknya kamu jaga mulutmu!"
"Tenang saja. Aku nggak tertarik ikut campur urusan romansa antara kalian sebagai calon pasangan."
Di kehidupan ini, Nara hanya ingin hidup sebagai dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Nara tetap diseret ke acara pesta itu.
Di ruang pesta, tampak gaun-gaun mewah berkilauan, gelas-gelas beradu, dan suasana hiruk-pikuk penuh kemewahan.
Nara memilih gaun merah menyala dengan punggung terbuka yang berani, sangat kontras dengan gaun putih Sandra yang elegan dan sederhana.
Saat musik pembuka bergema dan sesi dansa pertama dimulai, pandangan Arkan bergeser di antara Nara dan Sandra. Pada akhirnya, dia mengulurkan tangan ke arah Sandra.
Seketika, bisik-bisik halus terdengar di sekeliling mereka.
"Bukankah Nara yang tunangan resminya? Kenapa justru adiknya yang diajak?"
"Masih belum jelas? Arkan jelas lebih suka pada Sandra."
"Wajar saja. Sandra itu anggun, sopan, dan tahu etika. Kalau Nara ... cantik sih cantik, tapi terlalu liar dan tak terkendali. Memang kurang cocok jadi nyonya rumah keluarga besar yang penuh aturan."
Arkan seolah tak mendengar semua itu. Dia menoleh pada Nara dan berkata datar, seakan sekadar menjelaskan sesuatu yang wajar, "Kamu juga nggak terbiasa menari formal begini. Sekalian saja belajar dari Sandra."
Usai berkata demikian, dia menggenggam tangan Sandra dan membawanya ke tengah lantai dansa.
Keduanya tampak serasi. Langkah mereka selaras, anggun, bak pasangan sempurna, dan langsung menjadi pusat perhatian seluruh ruangan.
Nara menatap sosok mereka yang berputar anggun di bawah cahaya lampu gemerlap. Tidak ada rasa cemburu di hatinya, yang ada hanya kejengkelan.
Dia malas menonton lebih lama. Dengan santai, dia menuju area hidangan, makan sekadarnya, lalu keluar ke teras aula untuk mencari udara segar.
Angin malam yang sejuk sedikit meredakan sesak di dadanya.
Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Sosok yang paling tidak ingin dia lihat ikut muncul.
Sandra.
Pipinya masih tampak berseri usai menari, sementara sorot matanya dipenuhi kepuasan dan kemenangan yang disengaja.
"Kak, sendirian saja di sini?" ujarnya sambil melangkah mendekat, nada suaranya penuh ejekan. "Nggak kuat ya melihat aku dan Arkan menari, sampai harus kabur keluar?" Dia tersenyum tipis, dan pamer. "Sudah kubilang, siapa pun itu, bahkan Arkan sekalipun, pria itu pasti akan memilih yang lebih pantas dan tahu aturan di antara kita berdua. Dan itu adalah aku."
Sandra berhenti sejenak, lalu menurunkan suaranya, tajam dan kejam. "Lagipula, kamu ini memang kasihan. Dulu ibumu kalah dari ibuku, sekarang kamu pun kalah dariku. Sepertinya kegagalan itu ... memang menurun lewat darah."
Jika hanya sindiran biasa, Nara mungkin tak akan menggubris.
Namun kali ini, Sandra menyentuh satu hal yang sama sekali tak boleh disentuh, yaitu menghina ibunya yang sudah lama meninggal.
Tatapan Nara yang semula datar seketika berubah dingin dan tajam. Dia menoleh cepat, dan tanpa peringatan apa pun, langsung mengayunkan tangan.
Plak! Tamparan keras mendarat di wajah Sandra. Kepalanya terhuyung ke samping, dan bekas lima jari segera tercetak jelas di pipinya.
Sandra menutup pipinya, menatap Nara dengan mata membelalak, penuh ketidakpercayaan. "Kamu ... kamu berani memukulku?"
"Iya, memangnya kenapa?" Nara melangkah maju perlahan, auranya menekan. Wajah cantiknya membeku dingin. "Bukan cuma memukul. Kalau aku mau, aku juga berani menendangmu sampai mati."
Tangannya mencengkeram kerah Sandra, menyeretnya ke tepi balkon. "Siapa yang memberimu keberanian untuk memprovokasiku saat hanya kita berdua?" suara Nara rendah dan berbahaya. "Atau kamu lupa? Sejak kecil aku belajar taekwondo. Menghadapi perempuan yang cuma pandai berpura-pura lemah sepertimu, itu perkara mudah."
Sandra melirik ke tanah yang terasa begitu jauh. Takut dan marah bercampur, suaranya melengking tak stabil. "Nara! Beraninya kamu ... !"
"Sekarang akan kuperlihatkan, berani atau nggaknya aku!"
Belum sempat gema kata-kata itu menghilang, kaki Nara yang berbalut hak tinggi terayun keras.
"Ah!"
Jeritan Sandra membelah malam. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, menghantam pagar balkon yang rapuh hingga patah, lalu terjun bebas ke bawah.