Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Di bawah sana, jeritan panik dan kekacauan langsung pecah bersamaan. Nara berdiri di tepi balkon, menatap dingin kerumunan yang mendadak berdesakan, juga sosok Sandra yang tergeletak di atas rumput, entah hidup atau mati. Namun hatinya sama sekali tidak terusik. Tidak ada rasa takut, tidak ada penyesalan. Dengan tenang, Nara merapikan ujung gaunnya yang sedikit kusut, membetulkan rambutnya, lalu mengambil selendang yang tadi disampirkan di pagar balkon. Ekspresinya tetap datar. Dia berbalik, berniat meninggalkan tempat penuh keributan itu. Namun baru saja melangkah keluar dari pintu besar berukir, pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram keras dari belakang. Nara menoleh. Tatapannya langsung beradu dengan sepasang mata Arkan yang dipenuhi amarah dan keterkejutan. Jelas terlihat dia datang terburu-buru, dan napasnya masih sedikit tersengal. Pandangannya mengunci Nara erat-erat, suaranya dingin seperti ditarik dari dasar es. "Sandra jatuh dari balkon ... apa ini perbuatanmu?" Nara menepis tangannya tanpa ragu, ekspresinya tenang nyaris acuh. "Iya. Kenapa?" Wajah Arkan seketika menggelap, amarah bergulung di matanya. "Aku menyuruhmu belajar tata krama dari adikmu, dan ini yang kamu sebut belajar? Kamu benar-benar keterlaluan. Ikut aku dan minta maaf padanya. Sekarang." "Minta maaf?" Nara mencibir, seolah baru saja mendengar lelucon paling konyol. "Dia pantas mendapatkannya! Suruh aku minta maaf padanya? Tunggu kehidupan berikutnya saja!" "Kamu benar-benar nggak bisa dikasih tahu, Nara!" Amarah Arkan meledak. Dia tak lagi mau berdebat. Dengan wajah dingin, Arkan langsung memberi perintah pada para pengawal di belakangnya, "Karena dia nggak mau minta maaf, biar dia belajar dengan cara lain. Bawa dia ke kolam taman itu dan lemparkan ke dalam. Tanpa izinku, jangan biarkan dia keluar sampai pesta ini berakhir!" "Arkan! Kamu pikir kamu siapa? Atas dasar apa kamu berani menyentuhku!" Nara meronta keras, berusaha melepaskan diri. Namun Arkan justru mencengkeram pergelangan tangannya lebih kuat. Rasa nyeri menjalar hingga ke tulang. Tatapannya menusuk lurus ke mata Nara, suaranya dingin dan tegas, kata demi kata jatuh seperti palu. "Karena aku tunangan*mu! Apa kamu sadar Sandra hampir mati karena ulahmu? Kalau aku nggak menghukummu sekarang, begitu kita pulang, ayahmu akan menghukummu jauh lebih keras. Kamu harus diberi pelajaran, supaya ke depannya nggak lagi bertindak sembarangan!" "Tunangan apaan!" Nara berteriak marah, "Kita sudah ... " Dia hendak meneriakkan kebenaran bahwa calon wanita telah diganti. Namun para pengawal sudah keburu maju. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun, mereka menahan tubuhnya. Di tengah umpatan dan perlawanan sengitnya, Nara dilempar begitu saja. Tubuhnya jatuh menghantam kolam taman yang dingin membeku. Malam ini cuaca terasa menusuk tulang. Air kolam sedingin es merayap ke kulit hingga ke sumsum. Nara tersedak beberapa kali, terbatuk hebat sebelum akhirnya muncul ke permukaan dalam keadaan basah kuyup dan berantakan. Dengan susah payah, dia berusaha meraih tepi kolam, hendak memanjat keluar. Namun begitu Nara berhasil mencengkeram tepi kolam, pengawal yang berjaga langsung menekannya turun tanpa belas kasihan. Setiap kali dia berusaha bangkit, tubuhnya kembali dihantam ke dalam air dingin. "Arkan! Bajingan! Lepaskan aku! Biarkan aku naik!" Teriakannya yang parau hanya dibalas dengan sensasi dicekik air yang kembali menelan wajahnya. Napasnya tercerabut, dada terasa hendak meledak. Perlawanan demi perlawanan akhirnya menguras seluruh tenaganya. Dingin yang menusuk membuat tubuhnya perlahan mati rasa, gerakannya makin lambat, kesadarannya mulai kabur. Yang lebih buruk lagi, Nara tiba-tiba merasakan nyeri yang begitu familiar di perut bagian bawahnya. Dia sedang datang bulan. Darah merah segar segera merembes dari tubuhnya, menyebar cepat di air kolam yang semula jernih. Warna merah itu tampak mencolok, perlahan meluas, hampir mewarnai separuh kolam. Wajah Nara memucat drastis. Bukan hanya karena dingin yang menggigit, tetapi juga karena rasa sakit yang menusuk. Dalam kesadarannya yang mulai kabur, dia samar-samar mendengar salah satu pengawal menelepon seseorang, suaranya terdengar ragu dan cemas. Sepertinya ditujukan pada Arkan. "Tuan Arkan ... Nona Nara ... sepertinya sedang datang bulan. Darahnya banyak sekali ... masih perlu dilanjutkan?" Di ujung telepon, suasana tampak hening beberapa saat. Lalu suara Arkan yang dingin, tegas, tanpa sedikit pun keraguan terdengar menembus gemericik air dan masuk jelas ke telinga Nara. "Lanjutkan. Kalau nggak, dia nggak akan pernah kapok." Tidak akan pernah kapok? Di mata Arkan, semua perlawanan Nara, semua rasa sakit yang dia tanggung, semua alasan yang dia miliki, tidak ada artinya sama sekali. Yang dia inginkan hanya satu, yaitu kepatuhan. Air kolam yang sedingin es seolah seketika berubah menjadi magma mendidih, membakar kulit Nara dan membakar jantungnya. Keputusasaan yang jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik apa pun mengalir deras, menenggelamkannya sepenuhnya. Air mata bercampur dengan air kolam, mengalir tanpa suara di pipinya. Akhirnya, Nara tak mampu bertahan lagi. Pandangannya menghitam, kesadarannya runtuh sepenuhnya. Tubuhnya perlahan tenggelam, menyusup ke dalam air yang telah ternoda merah oleh darah.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.