Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Saat Nara kembali sadar, aroma khas cairan antiseptik menyelinap ke indera penciumannya. Dia membuka mata dan mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit. Seseorang sedang menggenggam tangannya. Nara menoleh dan melihat Arkan duduk di sisi tempat tidur, memegang salah satu tangannya. Matanya terpejam, bayangan gelap samar tampak di bawah kelopak mata, tanda kelelahan yang tak sempat dia sembunyikan. Seolah merasakan gerakan, Arkan segera membuka mata. Tatapan mereka bertemu. Arkan langsung melepaskan genggamannya. Keletihan dan secercah emosi yang nyaris menyerupai rasa iba di matanya lenyap seketika, digantikan kembali oleh sikap dingin dan terkendali yang biasa. "Aku sudah menemui ayahmu dan meminta maaf," ucap Arkan dengan nada datar, nyaris tanpa emosi. "Dia setuju nggak akan lagi mempersulitmu. Tapi Nara, kamu juga harus berjanji padaku, mulai sekarang jangan lagi menyakiti Sandra. Bagaimanapun, dia adikmu." "Apa aku pernah minta kamu minta maaf atas namaku?" Suara Nara serak, penuh sindiran. "Dan satu lagi, anak haram yang keberadaannya saja memalukan, pantas jadi adikku? Kalau ini zaman dulu, status seperti dia bahkan tidak layak membantuku mengenakan sepatu." Kening Arkan berkerut tipis, seolah hendak membalas. Namun pada saat itu, pintu kamar rawat didorong pelan. Seorang perawat menyembulkan kepala. "Tuan Arkan, kondisi emosi Nona Sandra di kamar sebelah kurang stabil," katanya hati-hati. "Dia terus memanggil Anda, berharap Anda bisa segera ke sana." Arkan berdiri, merapikan manset jasnya yang tetap rapi tanpa cela, lalu berkata pada Nara dengan nada datar, "Aku akan melihat Sandra. Dia terluka karena kamu. Sebagai tunanganmu, secara moral maupun logika, aku memang harus menenangkannya." Sudut bibir Nara terangkat tipis. Dia memalingkan wajah ke arah jendela. "Pergilah. Dia memang tunanganmu yang sebenarnya." Langkah Arkan terhenti. Dia menoleh, alisnya berkerut. "Apa maksudmu?" Nara malas mengulang. Dia menarik selimut lebih tinggi, menutupi kepalanya, jelas menolak berbicara lebih lanjut. Melihat sikapnya yang tertutup dan enggan berkomunikasi, Arkan menghela napas pelan, menekan keningnya sejenak. Pada akhirnya, dia tetap berbalik dan mengikuti perawat keluar dari kamar. Beberapa hari berikutnya, Nara menjalani pemulihan di rumah sakit. Dari perawat yang silih berganti masuk untuk mengganti infus atau memeriksa kondisinya, dia kerap mendengar potongan kabar tentang Arkan dan Sandra. "Tuan Arkan benar-benar perhatian pada Nona Sandra. Setiap hari selalu datang menemani." "Iya, katanya Nona Sandra nggak tahan rasa pahit. Tuan Arkan sampai menyuruh orang membawakan manisan impor khusus untuknya." "Menurutku, kalau Tuan Arkan berdiri di samping Nona Sandra, barulah pantas disebut pasangan serasi. Benar-benar cocok satu sama lain ... " Di mata mereka, Sandra yang lembut dan selalu tahu aturan seolah-olah sudah menjadi tunangan Arkan yang sebenarnya. Mendengar itu semua, Nara sama sekali tidak terusik. Bahkan, ada dorongan kecil untuk tertawa. Dia justru berharap semua orang berpikir demikian. Hari dia keluar dari rumah sakit, Arkan datang menjemput. Dia menerima berkas kepulangan dari perawat, lalu menoleh pada Nara yang bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponselnya. "Bereskan barangmu. Aku antar kamu pulang." "Aku nggak mau kembali ke rumah," jawab Nara tanpa mengangkat kepala. Raut wajah Arkan mengeras. Nada bicaranya tegas, tak memberi ruang untuk membantah. "Nara, hentikan sikap keras kepalamu." Dia tidak lagi memberinya kesempatan menolak. Dia melangkah maju, mencengkeram pergelangan tangan Nara. Tenaganya tidak kasar, namun sarat dengan dominasi yang memaksa. Dia menarik Nara bangkit dari ranjang, setengah menopang setengah menyeret, membawanya keluar dari kamar perawatan, lalu memasukkannya ke dalam mobil. Mobil melaju kembali menuju rumah Keluarga Yalvaro. Begitu tiba, Nara langsung melepaskan genggaman Arkan dan tanpa menoleh sedikit pun, dia naik ke lantai atas menuju kamarnya sendiri. Namun saat pintu kamar itu terbuka, darahnya seketika terasa membeku. Sandra duduk di depan meja rias Nara, jemarinya memegang sebuah kalung safir biru yang berkilau indah. Dia mengangkatnya ke leher sendiri, menilainya lewat pantulan cermin. Itu adalah satu-satunya peninggalan ibunda Nara. "Siapa yang mengizinkanmu menyentuh barangku?" suara Nara dingin seperti es. "Letakkan. Keluar dari kamarku." Sandra sempat terkejut dengan kemunculannya, namun detik berikutnya senyum puas terbit di bibirnya. Alih-alih menuruti, dia malah sengaja mengayun-ayunkan kalung itu di ujung jarinya. "Punyamu? Nara, dengar baik-baik. Seluruh rumah ini, cepat atau lambat, akan jadi milikku." "Sepertinya jatuh dari atas waktu itu belum cukup memberimu pelajaran," Nara melangkah mendekat, tatapannya berbahaya. "Itu cuma karena aku lengah!" Sandra mendengus penuh percaya diri. "Sekarang kamu kira aku masih takut padamu?" Belum selesai kalimatnya, sorot mata Sandra berubah tajam. Dia tiba-tiba meraih sebuah vas antik di atas meja rias dan menghantamkannya ke lantai. "Ah!" Di saat yang sama, dia menjatuhkan diri ke antara pecahan keramik sambil menjerit pelan. Suara keras itu segera mengundang perhatian Hendra dan Wina. "Ada apa ini?" Hendra menerobos masuk. Saat melihat kamar berantakan dan Sandra terduduk di tengah pecahan vas dengan mata berkaca-kaca, wajahnya langsung menggelap. Sandra segera mengangkat wajahnya yang basah air mata, menunjuk ke arah Nara sambil terisak. "Ayah ... aku cuma ... cuma ingin melihat kalung Kakak. Tapi Kak Nara malah ... malah mendorongku ... " "Nara!" Hendra murka. Tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan, dia melangkah maju dan menampar wajah Nara dengan keras. Suara tamparan menggema di dalam kamar. Pipi Nara langsung memerah dan membengkak, rasa perih menyengat tajam. Kepalanya miring ke samping. Dia menjilat sisi dalam bibirnya yang robek, mengecap rasa darah yang amis, dan alih-alih menangis, dia justru tertawa lirih.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.