Bab 1 Menjemput Selingkuhan
Demi bercerai denganku, suami bajinganku menyewa orang untuk mendatangiku ke rumah dan menghajarku habis-habisan sampai-sampai aku harus dibawa ke UGD.
Akan tetapi, dia malah mengalami kecelakaan mobil saat hendak menjemput selingkuhannya. Saat si dokter menyerahkan ponselnya kepadaku, ternyata si wanita jalang itu sedang menelepon suami bajinganku dengan ekspresi sedih.
Dia bertanya kenapa suamiku belum juga menjemputnya.
Aku langsung menghentikan si dokter dan berkata, "Tunda operasinya, dia harus menjemput selingkuhannya."
...
"Nyonya Rania, suami Nyonya dalam kondisi kritis. Nyawanya berada dalam bahaya."
Si dokter menarikku keluar dari UGD dengan gugup.
Dia segera menyerahkan ponsel dan KTP Randy Utomo kepadaku, tetapi ponsel Randy tiba-tiba berdering.
Nama "Sayang" muncul dengan sangat mencolok di layarnya.
"Randy, kapan kamu bakal menjemput kami? Hadi terus mengatakan betapa dia merindukan ayahnya."
Aku hanya balas tersenyum dengan dingin, lalu menutup telepon itu.
Si dokter muda hendak berujar menghiburku, tetapi aku segera menoleh dan menyelanya.
"Apa operasinya bisa ditunda? Suamiku nggak sempat operasi, dia masih harus menjemput selingkuhannya."
Dokter itu pasti belum pernah melihat sesuatu seperti ini.
"Hah? .... Eh, tapi ... ini masalah hidup dan mati, Nyonya Rania."
Tentu saja aku tahu ini masalah hidup dan mati.
Sayangnya, bukan nyawaku yang sedang dipertaruhkan saat ini. Kenapa juga aku harus ambil pusing dengan hidup matinya seorang pria bajingan?
Akan tetapi, ibu mertuaku yang menunggu di luar ruang operasi dalam kondisi diperban tidak berpikir demikian.
"Dasar wanita jahat! Kenapa pagi ini Randy nggak menghajarmu sampai mati, sih!"
Kami berada di rumah sakit yang sama, tetapi suami bajinganku dan ibu mertuaku dirawat karena mereka mengalami kecelakaan mobil saat hendak menjemput selingkuhan Randy.
Suami bajinganku itu menyuruh bawahannya untuk mendatangiku di rumah dan menghajarku hingga aku terpaksa dibawa ke rumah sakit.
Aku sempat bertanya kenapa Randy mendadak jadi gila seperti ini.
Ternyata suami bajinganku itu akhirnya tidak tahan lagi ingin membawa selingkuhannya pulang.
Aku segera melangkah mundur dan menghindari tamparan dari ibu mertuaku dengan mudah.
Lalu, aku mencengkeram tangannya dan balas menampar pipinya dua kali.
"Beraninya kamu menyumpahiku? Siapa suruh kamu melahirkan anak pecundang seperti itu? Baru ditabrak mobil saja sudah nyaris mati!"
Ucapanku membuat mata ibu mertuaku terbelalak, napasnya juga terengah-engah.
Aku menunjuk dahiku yang diperban.
"Nggak usah memelototiku, kepalaku lagi sakit sekarang. Bisa saja habis itu pikiranku terganggu dan akhirnya selang oksigen Randy harus dilepas."
Ibu mertuaku itu merasa sangat marah. Dia hendak menyerangku lagi, tetapi tentu saja aku tidak akan diam saja.
Aku langsung menampar ibu mertuaku bertubi-tubi dengan sekuat tenaga.
Padahal pasien yang berada di ruang operasi belum keluar, tetapi aku sudah akan mengirim pasien lain masuk. Para dokter dan perawat di sekitar kami bergegas melerai kami.
"Suami istri itu nggak boleh mendadak saling mendendam. Lagi pula, si suami juga masih terbaring di dalam sana ...."
"Ya, Nona. Nona kejam sekali."
"Memang nggak mendadak!" sahutku sambil menggertakkan gigi. "Pagi tadi, dia membuatku masuk ke rumah sakit demi bisa menikahi selingkuhannya. Tapi takdir memang adil, dia sekarang malah tertabrak mobil!"
Awalnya, ada beberapa orang yang lewat berusaha menenangkanku. Namun, mereka sontak terdiam dan justru sesekali melirik ibu mertuaku dengan kesan menghina.
Tertabrak karena selingkuh? Rasakan itu.
Si sopir yang hanya berdiri diam di dekat situ semenjak aku tiba pun sekarang tampak memukuli tembok dengan marah.
"Sial banget malah menabrak pria bajingan seperti itu."
Sorot tatapanku sontak berbinar. Aku bergegas menghampiri sopir itu, lalu menjabat tangannya dengan gembira.
"Aku minta maaf atas nama suamiku. Dia cari mati, tapi malah nggak memilih tempat yang seharusnya. Gara-gara dia, kamu jadi sial karena menabraknya."
Lama sekali sopir itu terdiam sebelum akhirnya bisa menjawab, sepertinya dia juga merasa takut dengan betapa bersemangatnya aku.
"Oh, ya sama-sama."
Ucapanku yang sangat lugas itu membuat ibu mertuaku yang berada di samping itu menjadi sangat marah. Bola matanya berputar ke belakang dan dia jatuh pingsan.
Para dokter saling berpandangan, lalu langsung mengirim pasien ke UGD dalam diam.
Tepat pada saat itu, lampu ruang operasi pun padam. Dokter yang mengoperasi melepas maskernya, ekspresinya tampak khawatir.
Aku menyeringai dan memegang tangan dokter itu dengan senang hati.
"Dokter nggak usah menyalahkan diri sendiri. Mereka yang sudah mati memang nggak bisa hidup lagi. Pokoknya, yang penting sudah mengusahakan yang terbaik."
Dokter itu menarik tangannya.
"Pasien dalam kondisi stabil untuk saat ini."
Aku pun menarik tanganku dalam diam. Kenapa bajingan satu itu bisa bertahan hidup?
"Tapi, aku nggak yakin nantinya pasien bisa siuman. Dia butuh perawatan yang cermat dari pihak keluarga ...."
Aku langsung berbalik badan dan berjalan pergi walaupun dokter itu belum selesai bicara.
Begitu melihatku hendak pergi, dokter itu segera menghentikanku. "Nyonya mau ke mana?"
"Mau menjemput selingkuhan itu biar dia bisa merawat si pasien dengan cermat."