Bab 2 Konfrontasi Pertama
Setelah itu, aku masuk ke dalam mobil dan melaju pergi dari rumah sakit.
Pesan si selingkuhan terus masuk ke ponsel Randy.
Sebenarnya, aku juga kenal selingkuhan Randy itu.
Pertemuanku dan Randy diawali dari kencan buta.
Walaupun tidak ada kisah cinta yang indah dan terkenang selamanya, tetap saja kami cukup bahagia.
Kami menikah, berbulan madu, lalu aku akhirnya hamil.
Aku juga mendambakan memiliki keluarga yang sederhana dan bahagia, yang terdiri dari kami bertiga.
Hingga akhirnya cinta pertama Randy, Tasya Ramona, kembali ke Indona.
Tasya juga membawa seorang anak laki-laki yang dia akui sebagai putranya Randy.
Saat itu, aku tidak tahu kutukan macam apa yang dijatuhkan kepadaku.
Padahal aku tahu Randy si bajingan itu punya maksud lain, tetapi aku tetap saja berdoa semoga dia bisa menjaga keutuhan keluarga kami dan calon anak kami.
Hingga pada suatu hari, Randy mendorongku dengan tidak sabar karena Tasya meneleponnya.
Perutku membentur dinding sehingga terjadi pembengkakan dan air ketubanku keluar.
Aku memohon kepada Randy untuk membawaku ke rumah sakit, tetapi dia langsung pergi tanpa memedulikan nyawaku saking tidak sabarnya ingin mencicipi sup yang Tasya buat untuknya.
Malam itu terjadi badai petir. Saat ambulans tiba, waktu terbaik untuk menyelamatkan bayi dalam perutku sudah berlalu.
Bahkan saat dokter berhasil menyelamatkanku, aku sebenarnya sudah berada di ambang kematian.
Setelah itu, Randy malah berujar dengan acuh tak acuh.
"Kamu ribut apa sih? Masih hidup, 'kan? Melindungi anak sendiri saja nggak bisa, dasar payah."
Setelah hari itu, aku akhirnya sadar betul bahwa Randy adalah pria yang bahkan lebih buruk daripada binatang.
Dia ingin kembali bersama cinta pertamanya, tetapi aku menolak menceraikannya dan memberikannya kesempatan untuk menikah lagi.
Jika aku membiarkan pria bajingan itu hidup bahagia seperti yang dia inginkan, kurasa hidupku akan menjadi lebih menyesakkan dan menyedihkan.
Untung saja karma bajingan satu itu datang dengan begitu cepat.
Aku pun tiba di sebuah restoran yang alamatnya tertera di dalam pesan, lalu langsung melihat sosok Tasya.
Wanita yang sok polos itu tampak sedang mengernyit sambil sesekali memandangi ponselnya.
Putranya yang terlihat imut dan menggemaskan duduk di sampingnya dengan patuh. Siapa pun yang melihat mereka berdua pasti akan ikut merasa senang.
Aku berjalan menghampiri mereka dengan kepala tegak. Begitu Tasya melihatku, ekspresinya langsung menjadi lebih muram.
"Kok kamu yang datang? Terus, kenapa kamu memegang ponsel Randy?"
"Rania, Randy itu ingin bercerai darimu! Bisa nggak sih kamu nggak usah keras kepala?"
"Kuharap kamu tahu malu sedikit. Di mana Randy?"
Serentetan pertanyaan Tasya itu membuat luka di kepalaku jadi terasa agak sakit.
Aku duduk dengan asal sehingga anak kecil itu terdorong ke bagian dalam.
Siapa sangka, anak laki-laki yang terlihat sangat penurut itu mulai mencakarku.
"Jangan menindas ibuku!"
Aku pun menyandarkan punggungku sehingga anak laki-laki itu terjatuh ke atas meja.
Bunyi denting piring dan cangkir yang terjatuh ke atas lantai dengan lantang pun sontak menarik perhatian orang-orang di sekitar.
"Rania! Bisa-bisanya kamu melibatkan anak kecil dalam masalah orang dewasa!"
Tasya langsung memeluk putranya dengan cemas, matanya tampak memerah.
Anak laki-laki itu meringkuk dan membenamkan kepalanya dalam pelukan Tasya, tetapi dia tersenyum menantang ke arahku. Punggungnya menghadap ke kerumunan orang.
"Kamu bahkan tega memukul anak kecil! Kamu ini manusia bukan sih!"
Mereka berdua bekerja sama dengan sangat baik. Aku langsung tahu bahwa mereka sering melakukan hal semacam ini.
Sekumpulan anak muda di dekat situ tampak sangat marah, mereka bersiap untuk berdiri dan menelepon polisi.
Aku pun bangkit berdiri, lalu membungkuk dan menepuk bahu Tasya yang matanya tampak berkaca-kaca itu.
Kemudian, kutarik keluar anak laki-laki yang bersembunyi dalam pelukannya dan menampar pipi Tasya.
"Maaf, aku lupa kalau tamparan ini harusnya ditujukan buat si selingkuhan."