Bab 1
Evita Guistine dan Primus Agora sudah menikah lima tahun ketika dia menerima sebuah foto dari sahabatnya.
Latar belakang foto itu adalah pesta kembang api yang megah, Primus dan sekretarisnya, Dominic Nasdiya, berdiri berdampingan, sama-sama menatap langit malam.
Sahabatnya menambahkan catatan, [Evita, perhatikan Dominic ini.]
Evita menatap foto itu beberapa detik, lalu tertawa. Dia membalas dengan santai, [Tenang saja, seluruh pria di dunia mungkin saja berselingkuh, tapi Primus nggak akan.]
Evita sangat yakin dengan hal itu.
Seluruh Kota Jibertus tahu, tuan muda Keluarga Agora, Primus sangat mencintainya. Lagi pula Dominic, baik dari segi wajah, aura, maupun latar belakang keluarga, bahkan tidak mencapai sepersepuluh dirinya, sehingga sama sekali tidak bisa menjadi ancaman.
Dia meletakkan ponsel dan melanjutkan merangkai bunga, sama sekali tidak memikirkan kejadian kecil itu.
Sampai tiga malam kemudian, ketika Primus sedang mandi di kamar mandi, layar ponselnya yang diletakkan di nakas tiba-tiba menyala. Ada pesan WhatsApp masuk.
Evita sebenarnya tidak bermaksud mengintip, tapi pandangannya tanpa sengaja melintas ke layar dan seketika membeku.
Dia melihat catatan kontak Primus untuk Dominic.
Primus memanggilnya "Sayang."
...
Kata itu seperti duri beracun dengan kaitan tajam, menancap ke dalam daging, seketika menimbulkan rasa sakit hebat seperti mati rasa.
Darah di seluruh tubuh Evita seakan membeku. Dia duduk kaku di tepi ranjang, ujung jarinya dingin.
Bagaimana mungkin?
Dia tidak berani memercayai apa yang dilihatnya.
Seluruh lingkaran pergaulan mereka tahu, Evita dan Primus adalah pasangan sejak kecil. Dari belajar berjalan, masa remaja, hingga melangkah ke jenjang pernikahan. Setiap langkah dalam hidup Primus selalu ada kehadirannya.
Saat berusia enam belas tahun, di hadapan seluruh murid dan guru saat upacara bendera, Primus yang sedang berpidato tiba-tiba melempar naskahnya. Dia berteriak ke arah Evita yang berada di antara kerumunan di bawah panggung. "Evita, aku suka padamu! Jadi pacarku, ya!"
Saat ulang tahun ke delapan belas Evita, Primus menyewa seluruh taman hiburan. Saat bianglala mencapai puncak tertinggi, dia mengeluarkan cincin dengan wajah memerah dan berkata dengan suara bergetar. "Evita, menikahlah denganku. Tunggu sampai aku cukup umur secara hukum, hal pertama yang akan kulakukan adalah menikahimu."
Primus mencintai Evita sampai tingkat obsesi yang membuat orang geleng kepala.
Dia tidak mengizinkan pria mana pun mendekatinya dalam jarak tiga meter. Evita menatap pria lain sedikit lebih lama saja, dia akan cemburu tiga hari. Lalu menghukumnya dengan berbagai cara, sampai Evita tertawa dan memohon ampun, sambil berulang kali mengatakan kalau dia hanya mencintainya seorang.
Evita selalu mengira hubungan mereka adalah wujud paling indah dari cinta.
Dia percaya, sekalipun seluruh dunia mengkhianatinya, Primus akan tetap berdiri di sisinya tanpa ragu.
Namun sekarang, kata "Sayang" yang menyilaukan itu seperti tamparan keras, menghancurkan seluruh keyakinan dan kepercayaannya.
Dia segera tersadar. Jantungnya serasa dicengkeram tangan tak kasat mata, sakitnya merambat sampai membuatnya sulit bernapas.
Evita menatap nomor WhatsApp itu dengan tajam, jarinya gemetar. Dia berusaha sekuat tenaga mengingat nomor itu.
Malam itu juga, dia menggunakan ponselnya sendiri untuk mengirim permintaan pertemanan.
Permintaan itu disetujui dengan cepat.
Pihak sana seolah sudah menunggunya dan segera mengirimkan pesan, [Nona Evita, aku tahu tujuanmu menambahkan aku. Besok jam tiga sore, di Kafe Neo. Aku akan memberitahumu semua kebenarannya.]
Evita menatap pesan itu, merasakan jantungnya jatuh ke dasar jurang.
Keesokan harinya, Kafe Neo.
Dominic sudah tiba terlebih dulu dan terlihat tenang.
Begitu Evita duduk, Dominic langsung ke inti masalah. Dia mendorong sebuah ponsel ke hadapan Evita. Di layar terlihat sebuah video yang sedang dijeda.
"Semua yang kamu ingin tahu ada di dalamnya." Suara Dominic terdengar sedikit rasa puas dan provokasi.
Jari Evita bergetar. Ada firasat kuat yang memberitahunya jika dia membuka video itu, dunia indah yang dia bangun bertahun-tahun akan runtuh sepenuhnya.
Namun kebenaran seperti kotak Pandora, meski tahu isinya adalah kehancuran, tetap tidak bisa ditolak.
Dia menarik napas panjang dan menekan tombol putar.
Latar video itu sebuah pesta malam pribadi, lampu remang dan suara bising manusia.
Di tengah layar, Primus dan Dominic sedang berciuman panas, tanpa peduli sekitarnya. Gerakan mereka penuh semangat dan sungguh-sungguh.
Teman-teman mereka bersorak dan bersiul.
Setelah ciuman, seseorang tertawa keras dan bertanya lantang,
"Kak Primus, bagaimana rasanya mencium Sekretaris Dominic? Dibanding mencium Kakak Ipar, mana yang lebih mantap?"
Primus menerima rokok yang diberikan dan menjepitnya di bibir. Tatapannya datar, mengembuskan asap dan suaranya sangat tenang. "Nggak ada yang bisa dibandingkan."
Primus berhenti sebentar, lalu di tengah tatapan penasaran orang-orang di sekitarnya, dia perlahan berkata.
"Aku nggak pernah mencium Evita, juga nggak pernah tidur dengannya."
Ucapan itu membuat suasana seketika hening, lalu suara kaget yang lebih besar pun meledak.
"Apa? Bagaimana mungkin? Kak Primus, dulu kamu mati-matian mengejar Kakak Ipar. Pada hari dia setuju jadi pacarmu, kamu mabuk berat dan memeluk kami sambil menangis hingga tengah malam. Kamu mencintainya sampai seperti itu, mana mungkin nggak pernah menyentuhnya?"
Primus menjentikkan abu rokok, wajahnya tampak muram. Dia terdiam beberapa detik, lalu berbicara dengan suara rendah. Setiap katanya seperti pisau yang menembus jantung Evita di balik layar.
"Aku memang nggak pernah menyentuhnya. Dulu aku sangat mencintainya, setiap saat ingin menjadikannya milikku. Tapi sejak kasus penculikan itu ...."
Ketika menyebut kata penculikan, keningnya mengerut kencang.
"Aku selalu merasa dia kotor."
"Kalian tahu aku punya obsesi pada kebersihan. Setiap kali ingin mencium dan bermesraan dengannya, aku nggak bisa menahan diri dan berkata ... apakah para penculik juga menyentuhnya seperti itu? Apakah mereka juga ...."
Primus berhenti sejenak, seolah bayangan itu membuatnya sangat muak, lalu menyimpulkan.
"Kotor, terlalu kotor. Aku nggak bisa menerimanya."
Dia memandang Dominic yang berada dalam pelukannya dan nada suaranya lebih lembut. "Kalian pakai wanita simpanan karena bosan, karena nggak cinta lagi. Aku beda, aku masih mencintai Evita, tapi dia terlalu kotor. Meski Dominic kalah dari Evita dalam segala hal, tapi dia bersih. Ciuman pertama dan malam pertama, semuanya hanya buat aku."
Kalimat terakhir itu seperti vonis final, menjatuhkan Evita ke neraka tanpa akhir.
"Jauh lebih baik daripada Evita yang sudah kotor."