Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Gambar itu seperti jarum beracun yang ditusukkan ke mata Evita, sakit sampai pandangannya menggelap. Dia segera mematikan ponsel, berlari ke kamar mandi, dan muntah di kloset, tidak ada yang keluar, hanya air mata yang mengalir tanpa kendali. Dia mulai mengemasi barangnya dan satu per satu dimasukkan ke dalam koper. Gerakannya cepat dan panik, seolah jika tinggal lebih lama satu detik saja, sisa aroma Primus di rumah ini akan membuatnya sesak. Setelah selesai mengemasi semuanya, suara pintu depan terbuka. Primus pulang. Primus membawa beberapa tas belanjaan barang bermerek, wajahnya memancarkan senyum lembut yang hanya ditujukan padanya. "Evita, aku pulang. Hari ini ada sosialisasi, jadi pulang agak telat. Lihat, aku bawakan kamu tas dan kalung keluaran terbaru, suka nggak?" Jika ini dulu, Evita akan segera menghampirinya, menerima tas belanja dan memeluknya. Tapi sekarang, dia tahu kalau pria ini baru saja turun dari ranjang Dominic. Tubuhnya mungkin masih membawa aroma wanita itu. Evita menatapnya dengan pandangan kosong. Primus langsung menyadari ada yang tidak beres. Dia meletakkan barang-barang itu, berjalan mendekat dan memeluknya. Lalu bertanya penuh perhatian, "Ada apa? Kenapa mukamu begitu pucat? Nggak enak badan, ya?" Evita tidak ingin membuatnya curiga. Dia menekan gejolak yang meledak di hatinya, memalingkan wajah dan berkata pelan, "Nggak apa-apa, hanya datang bulan, agak sakit." Primus langsung panik. "Kenapa nggak bilang dari tadi? Tunggu, aku buatkan air jahe." Dia mengenakan celemek dengan cekatan, lalu sibuk di dapur. Tak lama kemudian, semangkuk air jahe panas disodorkan pada Evita dan seperti biasanya, Primus duduk di sampingnya dan memijat perutnya dengan lembut. "Masih sakit? Sayang, habis minum tidur, nanti pasti akan sembuh." Suaranya sangat lembut. Melihat wajahnya yang penuh perhatian, hati Evita sakit sampai ke tulang. Aktingnya sungguh luar biasa, Primus. Kalau bukan karena melihatnya dengan mata kepala sendiri dan dengar dengan telinganya sendiri, bagaimana mungkin dia percaya kalau pria yang selama ini begitu melindunginya, ternyata menganggap dirinya kotor? Air mata kembali menetes tanpa bisa ditahan. Primus mengira dia menangis karena sakit, sehingga semakin tidak tega. Dia memeluknya erat dan terus menenangkannya, "Jangan menangis lagi, aku di sini." Namun setelah memeluknya, Evita jelas melihat bagaimana dia diam-diam mengambil jas mahal yang baru dipakai sekali itu, menyerahkannya pada pembantu dan berkata pelan, "Buang." Pembantu itu tampak terkejut. "Tuan, jas ini sangat mahal dan baru dipakai satu kali ...." Primus berbicara tegas, dengan sedikit kejengkelan yang tersembunyi. "Kotor, buang saja." Kotor. Kata itu lagi! Kata itu seperti anak panah beracun yang sekali lagi menembus hati Evita yang sudah penuh luka! Primus hanya memeluknya sebentar, tapi jas itu sudah dianggap kotor. Lalu selama bertahun-tahun mereka tidur di ranjang yang sama, bukankah setiap detik baginya terasa menyiksa? Evita menggigit bibir sekuat mungkin agar tidak kehilangan kendali. Dia menatap Primus yang berjalan kembali seakan tak terjadi apa-apa, hatinya terasa hampa. Primus, kemampuan aktingmu benar-benar sudah mencapai puncak. Baiklah. Kalau kamu merasa aku kotor, maka mulai sekarang aku tidak akan lagi ada di depanmu agar tidak menusuk matamu! Mungkin karena melihat kondisinya masih kurang baik, keesokan harinya Primus sengaja membatalkan semua urusan perusahaan dan menemaninya menghadiri sebuah acara lelang kelas atas. Sepanjang perjamuan itu, Evita tidak berselera makan. Primus yang melihatnya tidak makan, dia menelepon sekretaris dan meminta dibelikan kue tradisional dari toko favorit Evita. Namun orang yang bergegas datang membawa kue itu adalah Dominic. Ekspresi Primus berubah sedikit dan memelankan suaranya. "Aku memanggil Sekretaris Frica. Kenapa kamu yang datang?" Dominic mengenakan setelan kerja, menunduk dan menjelaskan dengan takut, "Sekretaris Frica mendadak ada urusan di rumah. Kebetulan aku ada di dekat situ, jadi ... aku yang antar." Primus melirik Evita, seakan takut dia curiga, sehingga tidak berkata lebih banyak. Dia hanya berkata datar, "Letakkan saja." Lalu dia berbalik ke arah Evita dan berkata dengan suara lembut, "Evita, makan sedikit, ini favoritmu." Evita menatap kotak kue itu, lalu memandang Primus. Dia melihat kilatan rasa kasihan di mata Primus. Primus merasa kasihan pada Dominic. Kasihan karena Dominic harus antre lama di toko yang lokasinya terpencil untuk membeli kue itu untuk Evita. Betapa lucunya. Dulu, pemuda yang demi satu kalimat "aku ingin makan", memanjat pagar tengah malam, mengantre berjam-jam hanya untuk menyodorkan kue hangat ke tangannya ... kini, di depan matanya, dia justru merasa kasihan pada wanita lain yang melakukan hal yang dulu dia lakukan. Hatinya sakit sampai mati rasa. Evita tidak berkata apa pun. Dia mengambil sepotong kue, tapi rasanya hambar. Setelah acara makan malam, lelang resmi dimulai. Dominic berdiri di samping, menemani sebagai sekretaris. Saat memberikan minuman pada seorang anak orang kaya, Dominic tidak sengaja menumpahkan minuman ke gaun mahal nona itu. Dominic langsung panik dan terus membungkuk meminta maaf. Nona itu mengangkat alisnya dengan marah, lalu menampar Dominic! "Kamu buta? Nggak melihatku berdiri di sini? Gaun ini edisi terbatas di dunia. Meski kamu dijual pun nggak sampai enam ratus ribu, kamu bisa ganti?" Dominic menutupi pipinya yang memerah. Air matanya menggenang dan terus minta maaf, tapi tidak mampu mengganti gaun itu. Nona itu mengumpat, kemudian pergi dengan marah tanpa memperpanjang masalah. Evita melihat semua itu, lalu refleks menoleh ke arah Primus. Primus berdiri diam, tidak membela Dominic, tapi pandangannya terus mengikuti Dominic. Matanya gelap, garis rahangnya tegang. Primus sedang menahan diri.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.