Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Hansen Dhuarta, pewaris paling berpengaruh di lingkaran elite Kota Jingga, akhirnya sembuh setelah tiga tahun terbaring lumpuh. Untuk merayakannya, para sahabatnya sengaja mengadakan pesta di klub pribadi. Marsha Widodo berdiri di pintu klub, memegang hadiah yang telah dia persiapkan dengan baik. Saat hendak mendorong pintu, dia mendengar suara percakapan Hansen dan teman-temannya dari dalam. "Hansen, Marsha itu benar-benar tulus padamu. Kalau bukan karena dia selama tiga tahun ini, mana mungkin kondisimu bisa pulih sebaik ini?" "Betul. Gadis itu setiap hari memijatmu, menemanimu rehabilitasi, bahkan tidur pun nggak berani terlalu lelap, takut kalau kondisi mentalmu tiba-tiba memburuk di tengah malam. Utang budi sebesar ini, harus kamu ingat seumur hidup." "Dia memang orang yang sangat baik." Suara Hansen terdengar rendah dan hangat. Ujung jari Marsha sedikit bergetar, sekilas kehangatan muncul di hatinya. Detik berikutnya, dia mendengar seseorang lainnya bertanya, "Lalu kapan rencananya kamu mau menikahi dia?" Ruang VIP tiba-tiba sunyi hingga terasa menakutkan. Tangan Marsha terhenti di udara, jantungnya tanpa sadar berdetak lebih kencang. Dia menahan napas, seolah menunggu sebuah putusan. Setelah beberapa saat, suara Hansen terdengar datar, "Aku menganggapnya sebagai adik." "Adik?!" Suara teman-temannya tiba-tiba meninggi. "Dia sudah mendampingimu tiga tahun, kamu hanya menganggapnya adik? Hansen, jangan-jangan kamu masih memikirkan Jessy? Ingat, saat kamu ditimpa musibah dulu, dia pergi tanpa sepatah kata pun. Sekarang kamu sudah sembuh, dia muncul lagi. Kamu boleh jatuh cinta pada siapa saja, asal bukan dia." Hansen tetap diam. Marsha masih berdiri di luar pintu, hatinya seperti diremas keras. Diam itu sendiri sudah menjadi jawaban paling jelas. Dia berpikir, tiga tahun kebersamaan bisa menukar hati yang tulus, ternyata dalam hati Hansen hanya ada orang yang pernah meninggalkannya. Tiga tahun lalu, Hansen masih menjadi putra kesayangan yang berdiri di puncak dunia. Lulusan universitas ternama, pewaris perusahaan keluarga, mahir ski dan berkuda, bahkan wajahnya seakan merupakan karya seni yang dipahat Tuhan dengan cermat. Sementara Marsha hanyalah mahasiswa miskin yang ditanggung Keluarga Dhuarta. Pertama kali dia bertemu dengan Hansen adalah pada upacara penghargaan di sekolah. Hansen berdiri di podium, wajah dan tatapannya dingin, tubuhnya tegap, seperti pohon cemara yang tak bisa dipanjat. Sedangkan Marsha duduk di barisan paling belakang, menggenggam amplop beasiswa, bahkan bertepuk tangan pun tidak berani terlalu keras. Saat itu, di sampingnya berdiri Jessy, mahasiswi cantik dengan latar belakang keluarga yang sepadan. Semua orang mengatakan mereka serasi, seperti pangeran dan putri dalam dongeng. Hingga terjadilah kecelakaan mobil itu. Hansen mengalami cedera tulang belakang, dan dokter menyatakan dia mungkin tidak akan bisa berdiri lagi seumur hidup. Saat itu, Jessy bahkan tidak menjenguk ke rumah sakit. Dia hanya mengirim pesan singkat untuk putus, lalu lenyap tanpa jejak. Dulu, Hansen adalah putra sulung Keluarga Dhuarta yang selalu menjadi pusat perhatian. Namun dalam semalam, dia jatuh ke titik terendah. Dia menjadi mudah marah, murung, bahkan sempat mencoba bunuh diri. Ayah dan ibunya menangis tanpa henti, namun tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya, Marsha-lah yang maju membantu. Dia berjongkok di depan kursi roda pria itu, berkata dengan lembut, "Hansen, semuanya akan baik-baik saja, aku akan mendampingimu." Selama tiga tahun selanjutnya, dia belajar berbagai teknik pijat. Dia hanya tidur dua jam setiap hari, takut kalau-kalau Hansen berbuat nekat di tengah malam Saat emosi Hansen lepas kendali dan dia memukul kakinya sendiri dengan kursi, tanpa ragu Marsha menahan pukulan itu. Dia mendampingi Hansen tahun demi tahun, dan menjadi orang terpenting dalam hidup pria itu. Semua orang mengatakan, Hansen hanya bisa tidur dengan tenang setelah melihat Marsha. Kini dia telah pulih, semua orang mengira dia akan segera menikahi Marsha. Marsha juga pernah membayangkannya demikian. Namun kini, dia sudah mengerti maksud hati Hansen. Sekarang Hansen sudah pulih, Jessy kembali, dan dia, sang "adik", harus mundur. Dia menarik napas dalam-dalam dan mendorong pintu. Tawa dan percakapan di ruang VIP langsung terhenti, semua orang menoleh ke arahnya. Sekelompok sahabat itu menatapnya dengan rasa bersalah. "Marsha? Sejak kapan kamu di sini?" Seseorang bertanya dengan hati-hati. "Baru saja sampai." Marsha tersenyum, pura-pura tak mendengar apa pun, lalu menyerahkan hadiahnya kepada Hansen, "Selamat atas kesembuhanmu." Hansen baru saja hendak menerimanya, namun pintu ruang VIP kembali didorong terbuka. Jessy berdiri di pintu, matanya berkaca-kaca. "Hansen, aku dengar kamu sudah pulih, aku datang untuk mengucapkan selamat." Suasana di ruangan langsung membeku. "Untuk apa kamu datang?" Wajah sahabat Hansen berubah masam. "Dulu saat Hansen celaka, kamu yang paling duluan pergi, dan sekarang kamu masih berani kembali?" Jessy tersipu malu, matanya memerah. Setelah menyerahkan hadiah pada Hansen, dia berbalik hendak pergi. Namun, Hansen tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. "Kalau sudah datang, tinggallah dulu di sini." Semua terdiam, serentak menatap Marsha. Dia berdiri di situ, senyum di wajahnya tak berubah sama sekali, hanya kukunya yang menekan telapak tangannya dengan lebih dalam. Ternyata, tiga tahun kebersamaan itu tak sebanding dengan setetes air mata Jessy. Acara berikutnya berlangsung dengan suasana aneh yang membuat sesak. Sahabat-sahabat Hansen sengaja mengabaikan Jessy, dan terus menggoda Marsha dan Hansen. "Marsha, waktu Hansen menjalani rehabilitasi, kamu memijatnya setiap hari, 'kan?" "Tentu, tekniknya profesional sekali, Hansen hanya percaya padanya. Kalau orang lain menyentuhnya sedikit saja, dia marah!" Marsha menunduk, pura-pura tak melihat tatapan cemburu Jessy. Sementara Hansen terlihat diam, tapi Marsha bisa merasakan perhatian pria itu tertuju sepenuhnya pada Jessy. Di tengah acara, seseorang mengusulkan sebuah permainan, dan Jessy yang pertama kalah. Hukumannya adalah meminta nomor kontak lawan jenis. Jessy otomatis menatap Hansen, matanya memohon pertolongan. Hansen menunduk memainkan ponsel, pura-pura tidak melihat. Jessy menggigit bibirnya, lalu berdiri dengan kesal. "Ya sudah, aku pergi saja." Marsha melihatnya berjalan ke tempat duduk di sebelah, dan segera dikerumuni beberapa pria. Salah satu dari mereka yang sedang mabuk menarik pergelangan tangannya. "Cantik, boleh minta nomor WhatsApp-nya? Boleh juga aku sentuh sedikit?" "Lepaskan aku!" teriak Jessy tiba-tiba. Hansen menatap tajam, detik berikutnya dia langsung melesat. Satu pukulan mengenai wajah pria itu. "Kamu cari mati?" Suasana langsung kacau. "Hansen! Berhenti memukul!" Teman-temannya segera maju untuk melerai. Marsha yang takut tubuhnya yang baru sembuh kenapa-kenapa, juga berlari menahannya, "Hansen, jangan ... " Sebelum kata-katanya selesai, Hansen mendorong dengan tangan, "Menjauhlah!" "Bam ... " Marsha tidak sempat menghindar. Kakinya terpeleset, tubuhnya terguling menuruni tangga. Bagian belakang kepalanya terbentur keras ke lantai, dan seketika pandangannya menggelap. Darah hangat mengalir dari pelipis, mewarnai penglihatannya jadi merah. Dia bangkit dengan susah payah, tapi kemudian melihat Hansen merangkul Jessy pergi. Pria itu bahkan tidak menoleh ke arahnya. Hatinya seperti disobek, sakitnya hampir membuatnya tak bisa bernapas. Tiba-tiba dia teringat masa lalu ... Saat itu, kaki Hansen lumpuh, dengan putus asa dia memukul kakinya sendiri dengan kursi. Marsha berlari menahan pria itu, tiga tulang rusuknya sendiri patah akibat kekuatan yang tak terkendali itu. Dengan mata memerah, Hansen berteriak marah, "Kakiku sudah nggak berguna! Dihancurkan pun nggak masalah! Kamu ini mau mati, hah? Mana yang lebih penting saja nggak bisa kamu bedakan?!" Meski kesakitan hingga berkeringat dingin, Marsha tetap memeluk kakinya, sambil berkata lembut, "Aku tahu mana yang lebih penting." "Justru karena kakimu sangat penting, aku harus menghalangimu." "Karena suatu hari nanti, aku pasti akan membuatmu berdiri lagi." Pada saat itu, Hansen yang selalu begitu angkuh, gemetar sambil menarik Marsha ke dalam pelukannya. Suaranya bergetar, "Marsha ... jangan tinggalkan aku ... " Semua orang mengatakan, bisa berdiri kembali adalah keajaiban bagi Hansen. Namun, mereka juga tahu, mana ada yang namanya keajaiban di dunia ini? Semuanya karena Marsha yang berjuang sekuat tenaga, sedikit demi sedikit menarik Hansen keluar dari jurang keputusasaannya. Dan kini ... Hansen keluar dari jurang, namun tidak lagi membutuhkan Marsha. Tiba-tiba, ponsel Marsha berdering. Dengan gemetar dia mengambil ponselnya. Tulisan "Nyonya Dhuarta" di layar ponselnya, membuat matanya sakit. Dia sangat tahu apa arti panggilan itu. Tak salah, begitu diangkat, terdengar suara Bu Vera, ibunda Hansen dengan nada halus. [Marsha, Hansen kini presdir grup yang sudah terdaftar. Nggak mungkin kalau istrinya hanya orang biasa yang nggak punya pengaruh dan nggak bisa memberikan dukungan untuk kariernya.] [Aku sangat berterima kasih atas perawatanmu yang nggak pernah berhenti selama tiga tahun ini. Tapi kamu harus mengerti, kalau bukan karena bantuan Keluarga Dhuarta, kamu bahkan nggak akan bisa kuliah. Anggap saja semua kebaikan itu sudah lunas sekarang, bagaimana?] Di ujung telepon ada jeda sejenak, seolah menunggu pertanyaan histerisnya, atau permohonan yang memelas. Marsha menatap ke arah Hansen yang pergi, koridor kosong seolah mentertawakan pengorbanan tiga tahunnya yang sia-sia. "Baik." Dia mendengar suaranya yang tenang hingga menakutkan. "Aku akan pergi dan nggak akan muncul di hadapannya lagi."
Bab Sebelumnya
1/23Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.