Bab 2
Marsha menutup telepon, lalu langsung pergi ke rumah sakit.
Dia mendapatkan tiga jahitan untuk luka di dahinya, dan dokter menekankan agar jangan terkena air dulu.
Dengan wajah datar, dia mengangguk, tapi saat keluar dari ruang periksa, dia melihat ada Maybach milik Hansen tak jauh dari pintu rumah sakit.
Jendela mobilnya sedikit terbuka, tampak Jessy menunduk di bahunya, menangis tersedu-sedu.
"Hansen, dulu aku memang bersalah padamu ... " Suaranya tersendat. "Aku nggak berharap kamu memaafkanku, tapi waktu itu aku pergi karena terpaksa. Orang tuaku menolak hubungan kita, mereka memaksaku pergi ke luar negeri, bahkan ponselku disita. Bukan karena aku nggak mau mencarimu ... "
Hansen duduk diam, garis wajahnya tampak tegas.
Marsha berdiri tak jauh, seolah kakinya tertancap di tanah.
"Kalau begitu, kenapa kamu kembali sekarang?" Hansen akhirnya merespons dengan suara rendah.
Jessy menengadah, air mata mengalir di pipinya. "Karena aku nggak bisa melupakanmu ... Aku tahu sekarang kamu sudah bersama Marsha, aku nggak minta lebih, hanya jangan usir aku ... Biarkan aku melihatmu dari jauh saja ... "
Marsha berdiri di tempat teduh, menatap Hansen yang diam cukup lama. Akhirnya pria itu mengulurkan tangan untuk menghapus air mata Jessy.
"Aku nggak menyalahkanmu," ujarnya. "Soal Marsha ... aku hanya menganggapnya seperti adik, bukan seperti yang kamu kira."
Mata Jessy berbinar, dia tersenyum di antara tangisnya. "Benarkah?"
Hansen mengangguk.
Jessy menangis bahagia, kembali memeluknya.
Marsha tersenyum getir, lalu berbalik pergi, menuju kantor imigrasi.
...
Di kantor imigrasi, petugas menyerahkan selembar formulir. "Visa akan keluar dalam dua minggu."
Marsha mengucapkan terima kasih, dan saat dia keluar, langit sudah gelap.
Dia kembali ke vila Hansen.
Tiga tahun terakhir, demi memudahkan perawatan Hansen, dia tinggal di sini.
Dulu, dengan polos dia menganggap tempat ini sebagai rumahnya. Di pintu masuk masih ada sandal yang dia pilih dengan cermat, di ruang tamu tertata tanaman hias yang dia rawat, di dapur masih tertempel catatan menu makanan untuk menjaga kesehatan lambung yang dia tulis sendiri.
Sekarang, dia harus menghapus semua jejak itu dengan tangannya sendiri.
Saat mengemas barang, di laci paling bawah dia menemukan sebuah foto.
Foto itu diambil pada hari Hansen berhasil pulih dari rehabilitasi. Dia jarang tersenyum ke kamera, dan Marsha berdiri di sampingnya, tersenyum hingga matanya melengkung seperti bulan sabit.
Tepi foto itu sudah agak menguning, karena terlalu sering dia sentuh.
Marsha menatap foto itu cukup lama, dan akhirnya perlahan melemparkannya ke tempat sampah.
Ada beberapa mimpi yang seharusnya sudah berakhir sejak lama.
Keesokan paginya, telepon Hansen masuk.
"Aku lupa bawa obat lambungku, tolong antar ke kantor, ya." Suaranya serak karena bangun tidur, nada bicaranya normal seolah semalam tak terjadi apa-apa.
Marsha terdiam dua detik. "Baik."
Saat tiba di kantor, pintu lift terbuka, dan dia kebetulan bertemu Jessy yang membawa kotak makanan yang indah.
"Kebetulan, ya?" Jessy tersenyum cerah. "Aku mau antar makan siang untuk Hansen, mau ikut?"
Marsha tidak berkata apa-apa, dan mengikutinya masuk ke dalam ruang kantor.
Saat itu Hansen sedang melihat dokumen. Begitu melihat keduanya masuk bersamaan, alisnya sedikit terangkat. "Kenapa kalian bisa datang bersama?"
"Kami bertemu di jalan." Jessy tersenyum membuka kotak makanan itu, aroma pedas yang kuat segera menyebar. "Aku buatkan sup pedas favoritmu!"
Wajah Marsha berubah. "Dia punya masalah lambung, nggak bisa makan makanan pedas."
Hansen menatapnya sebentar, mengambil sendok sambil berkata, "Sesekali makan nggak masalah."
Dia mengambil sepotong daging sapi berlumur minyak pedas, dan memakannya dengan wajah datar.
Marsha menggenggam obat lambung di tasnya, begitu kencang sampai jari-jarinya memutih.
Tak lama kemudian, dahi Hansen mulai berkeringat, tangannya yang memegang pena sedikit gemetar.
"Hansen? Kamu nggak enak badan?" tanya Jessy khawatir.
"Nggak apa-apa." Hansen memaksakan senyumnya. "Aku masih ada pekerjaan, kalian pulang dulu saja."
Marsha menatapnya dalam-dalam, diam-diam meletakkan obat di atas meja, lalu berbalik pergi.
Sampai di lantai bawah, Marsha tak bisa menahan diri. "Penyakit lambungnya serius, lain kali tolong perhatikan kalau mengantar makanan."
Jessy tiba-tiba tersenyum. "Marsha, sepertinya kamu belum paham posisimu, ya?"
"Bagi Hansen, kamu hanyalah seorang perawat, ingat itu. Tapi aku berbeda, dia mencintaiku, aku nggak perlu memperhatikan hal-hal itu."
Dia mendekat, bibir merahnya tersenyum tipis. "Bahkan kalau yang kuberikan adalah racun, dia tetap akan memakannya, mengerti?"
Ujung jari Marsha gemetar, hatinya seolah diremas hidup-hidup.
Dia tahu Jessy tidak salah.
Tiga tahun dia berusaha agar Hansen memberi perhatian lebih padanya.
Sementara Jessy, tanpa perlu berbuat apa-apa, Hansen bahkan rela menelan racun untuknya.