Bab 4
"Nggak ada apa-apa, Yanne sedang sibuk kerja, dia harus pergi dulu." Marsha menundukkan matanya, menghindari tatapan ingin tahu Hansen.
Yanne menatapnya sebentar, ingin bicara tapi menahan diri, dan akhirnya tidak mengungkapkan apa-apa, hanya menatap Hansen dengan tajam. "Marsha, kalau ada apa-apa, panggil saja aku."
Setelah pintu ruang rawat tertutup, Hansen baru berjalan ke sisi tempat tidur, dengan nada agak menyesal. "Waktu itu terlalu ramai, aku nggak melihatmu ... "
"Nggak apa-apa." Marsha memotong ucapannya dengan tenang, meraih gelas air di meja samping tempat tidur.
Dia bangkit sedikit, kerah baju rumah sakitnya agak terbuka, menyingkapkan bekas luka bakar yang mengerikan di bawah tulang selangkanya.
Mata Hansen memicing tajam. "Kenapa lukamu parah sekali? Bukankah katanya kamu hanya terkena asap ringan?"
Marsha menunduk menatapnya sebentar, lalu dengan tenang menutup kerah bajunya. "Nggak apa-apa, nggak ada yang serius."
Hansen mengerutkan alis. "Aku nggak tahu lukamu separah ini ... Aku pikir kamu hanya pingsan karena asap."
Marsha menarik sudut bibirnya.
Bagaimana mungkin dia tahu?
Mata pria itu hanya tertuju pada Jessy, bagaimana mungkin pria itu memperhatikan seberapa parah lukanya?
Marsha tidak berkata apa-apa, hanya menunduk meminum air.
"Aku akan merawatmu beberapa hari ini," kata Hansen tiba-tiba.
"Nggak perlu." Marsha menggeleng. "Kamu sibuk bekerja, nggak usah repot-repot."
Hansen masih ingin mengatakan sesuatu, tapi ponselnya tiba-tiba berdering.
[Hansen ... ] Di ujung telepon terdengar suara Jessy, seperti sedang menangis. [Tanganku sangat sakit ... Dokter bilang lukanya mungkin terinfeksi ... ]
Wajah Hansen seketika berubah ragu.
Marsha menatapnya, sudut bibirnya terangkat sedikit. "Pergilah."
"Aku ... " Hansen masih memegang ponselnya, alisnya berkerut. "Aku juga nggak pandai merawat orang, aku akan mencari perawat untuk menjagamu."
Marsha mengangguk. "Baiklah."
Setelah Hansen pergi tergesa-gesa, ruang rawat itu akhirnya kembali tenang.
Marsha menatap langit-langit, tiba-tiba tersenyum.
Dia bilang akan merawat Marsha, tapi hanya dengan satu panggilan dari Jessy, dia pergi tanpa ragu.
Sama seperti saat kebakaran itu, pria itu berlari menuju Jessy tanpa menoleh sedikit pun kepadanya.
Dia perlahan menutup mata, dadanya terasa sakit sampai sesak.
Ada janji-janji yang sejak awal tidak seharusnya dipercaya.
...
Pada hari dia keluar rumah sakit, Hansen datang menjemputnya sendiri.
"Malam ini ada pelelangan, ikutlah denganku." Dia menyerahkan mantel kasmir yang baru dibelinya.
Marsha refleks menolak. "Nggak perlu ... "
"Masih marah?" Mengira dia masih merajuk, Hansen mengernyit. "Aku benar-benar nggak melihatmu saat itu. Begitu sadar kamu belum keluar, aku langsung menyuruh orang masuk untuk mencarimu."
Marsha membuka mulutnya, tapi akhirnya diam dan menerima mantel itu.
Setelah masuk mobil, Marsha baru menyadari bahwa Jessy juga ikut.
"Jessy juga mau ikut, jadi kubawa saja sama-sama," jelas Hansen dengan santai.
Marsha tidak berkata apa-apa, hanya duduk tenang di kursi belakang.
Sepanjang perjalanan, Jessy dengan semangat bercerita pada Hansen, dari kenangan masa kecil hingga pengalaman belajar di luar negeri.
Hansen memang tidak banyak bicara, tapi setiap kalimatnya dijawab dengan wajar dan alami.
Marsha menatap pemandangan di luar jendela, diam seperti seorang pengamat dari luar.
Di lokasi pelelangan, setiap barang yang dilirik sedikit oleh Jessy, langsung Hansen tawar dan belikan untuknya. Sikap royal ini cepat menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
"Itu 'kan Pak Hansen? Murah hati sekali pada teman wanitanya."
"Dengar-dengar pacarnya merawatnya selama tiga tahun, memang pantas dimanjakan."
"Nggak, sepertinya itu bukan Marsha yang diberitakan di media, tapi yang pernah meninggalkan Pak Hansen ... "
Di tengah bisik-bisik, ada yang salah mengira Jessy sebagai Marsha.
Hansen terkejut sebentar, lalu seolah teringat sesuatu, dia menoleh pada Marsha. "Kamu mau apa?"
Tepat saat itu, di atas panggung dipamerkan kalung safir, berkilau seperti laut dalam di bawah cahaya lampu.
Pandangan Marsha tak sengaja berhenti sejenak.
Hansen segera menawar. "Dua puluh miliar!"
"Kalung ini punya sejarah," kata Jessy tiba-tiba. "Dulu diberikan seorang raja kepada permaisurinya sebagai tanda cinta, melambangkan kesetiaan dan cinta abadi."
Dia menatap Marsha dengan penuh makna. "Cocok diberikan untuk Marsha."
Jari Hansen berhenti sejenak.
Setelah kalung itu dibeli, dia langsung menyerahkannya kepada Jessy. "Ini lebih cocok untukmu."
"Sepertinya nggak baik begitu." Jessy berpura-pura ragu, "Bukankah ini yang diincar Marsha tadi?"
"Aku akan belikan dia yang lain." Hansen menatap Marsha. "Kamu mau apa?"
Marsha menundukkan mata, di sudut bibirnya tersungging senyum sinis.
Hadiah yang melambangkan kesetiaan tidak bisa diberikan padanya, tapi bisa untuk Jessy.
Perbedaan antara dicintai dan tidak, ternyata begitu jelas.
"Nggak perlu," katanya pelan.